“Negeri yang begini kaya diubah menjadi negara pengemis, karena tidak adanya karakter pada elit (para aparatus negaranya),” begitu kutipan pernyataan Pramoedya Ananta Toer dalam film dokumenter The New Rules of The World (2001) karya John Pilger. Film tersebut lebih umumnya menggambarkan bagaimana globalisasi menguasai dunia dan mempengaruhi negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun diterbitkan pada tahun 2001, agaknya film ini masih relevan untuk dijadikan renungan rakyat Indonesia yang hari ini merayakan kemerdekaan bangsanya ke 71.
Globalisasi atau disebutkan sebagai tata ekonomi dunia baru, seperti yang digadangkan Adam Smith, merupakan puncak dari kapitalisme, dia menyebutnya Welfare State. Globalisasi ini oleh banyak ekonom penganut pemikiran Adam Smith dianggap sebagai pembawa kemakmuran serta pengentas kemiskinan bahkan ke seluruh dunia. Kenyataanya adalah sebaliknya, yang terjadi malah makin memperjauh jarak antara yang kaya dan yang miskin. Proses menuju kemajuan semakin menyudutkan mereka (kelas menengah ke bawah) yang tidak bisa bertahan karena desakan kebijakan yang malah memberatkan dan menyengsarakan.
Jean P Bausrillard dalam bukunya La Societe De Consommation (1970), menyebutkan bahwa globalisasi seperti sekarang merupakan masa masyarakat pertumbuhan. Pertumbuhan ini tidak mengarahkan kita kepada masyarakat berkecukupan, yang ada malah memproduksi kemakmuran dan kemiskinan. Pertumbuhan ini digunakan untuk membatasi gerak orang miskin dan memelihara sistem. Pada hakikatnya, Jean Baudrillard ingin menyebutkan, bahwa pertumbuhan masyarakat merupakan lawan dari berkecukupan.
Seperti yang diungkapkan Pram, ketidakadaannya karakter pada elit kita membuat negara kita mudah terpengaruh, utamanya dalam pengambilan kebijakan terkait ekonomi, politik, bahkan pendidikan yang semakin liberal dan mengarahkan rakyatnya masuk dalam arus globalisasi. Ironisnya, ini semakin kencang setelah era reformasi, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang pembelian saham bank, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan masih banyak lagi peraturan yang malah lebih menguntungkan asing ketimbang rakyat Indonesia sendiri. Semakin liberalnya sistem ini berdampak pula pada sistem pendidikan kita, yang mana makin menjauhkan dari keterjangkauan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sejatinya, Indonesia, negara kita hanya merdeka secara bangsa. Masih banyak rakyat yang terjajah oleh sistem yang ada. Sistem yang berorientasi bukan untuk rakyat sendiri, sistem yang katanya bertujuan membangun. Jika kita menengok bagaimana para petani di pegunungan Kendeng yang masih berjuang mempertahankan lahan pertaniannya, petani Urutsewu yang harus bersiteru dengan militer, para nelayan pesisir Jakarta yang harus menghadapi proyek pembangunan pulau dan berpotensi menghilangkan mata pencahariannya atau daerah lain yang mengalami kasus serupa. Pastinya sekarang ini, mereka tidak benar-benar menikmati kemerdekaan. Belum lagi kelompok masyarakat yang tersingkirkan oleh sistem karena faktor ekonomi, mereka yang masuk dalam kelas menengah ke bawah. Jangankan untuk memperoleh pendidikan tinggi, mencukupi hidupnya pun masih banyak kekurangan, belum berbicara politik yang terkesan rumit, pastinya jauh dari pikiran.
Indonesia sekarang ini memang tidak lagi dijajah oleh imperialis barat. Sebagaimana keadaan di atas, kita malah dijajah oleh bangsa sendiri. Para elit yang memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri ataupun golongan. Masih teringat di kepala, kasus papa minta saham yang menjerat Setya Novanto, ketua DPR waktu. Dari kasus ini seharusnya kita belajar banyak bahwa ada oknum dalam aparatus negara kita yang malah memanfaatkan negaranya sendiri untuk kepentingan sendiri. Karakter seperti ini yang sudah seharusnya disingkirkan.
Sudah seharunya kita menghentikan eksploitasi seperti ini. Benar adanya apa yang dikatakan Pram. Seharusnya elit kita bisa lebih bijak melihat keadaan rakyatnya. Sebenar-benarnya menjadikan Indonesia terlepas dari jerat imperialisme baru ini. Hal ini bisa diawali dengan membangun karakter kerakyatan dalam berkembangsaan. Lepas ketergantungan terhadap sistem yang menyengsarakan rakyat ini. Belajarlah dari para pahlawan kita yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini untuk rakyat Indonesia.
Sudah saatnya seluruh rakyat Indonesia untuk bangun dan sadar. Kawal terus pembangunan negeri ini. Untuk para pejabat jadilah aparatus yang solutif dan tanggap terkait permasalahan baik untuk negara maupun rakyatnya. Jika elitnya rusak, maka saatnyalah rakyat bertindak. Wujudkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Isi kemerdekaan ini dengan kritis, berjuanglah bersama mereka yang masih belum merdeka secara sistem. Bangun juga karakter warga negara yang partisipatif. Semoga Indonesia benar-benar menjadi negara yang berdaulat, baik dari segi ekonomi, politik, serta sosial-budaya dan pada akhirnya kemerdekaan yang hakiki bisa kita peroleh. (Kholid Anwar*)
***
*Penulis adalah mahasiwa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia angkatan 2012 dan Pemimpin Umum LPM Himmah UII 2015/2016