Judul: Memandang Perempuan Jawa, Sehimpun Esai Sastra
Penulis: Harjito
Penyunting: M. Yunan Setiawan
Penyelaras: Widyanuari Eko Putro
Penerbit: Beruang Cipta Literasi
Tahun: Cetakan Pertama, Maret, 2020
Tebal: ix + 190 halaman
ISBN: 978-623-92691-6-6
Bentangan tema semacam serpihan kota atau sungai termasuk wilayah imajinatif yang mengundang integrasi pemikiran menjadi wacana utuh – agaknya sudah sering ditulis para esais. Tugas apresian menjadi lebih mudah dalam memberi apresiasi karena sudah mendapat bandingan secara langsung dari teks-teks yang diposisikan sebagai kajian.
Paling tidak akan segera ada catatan secara telanjang: Mana respon proses kreatif yang mampu menyeruak ke dalam, menawarkan ketajaman pemikiran dan mana yang mengapung pada permukaan. Meski sama-sama mengurai objek persoalan yang sama.
Buku karya Harjito, “Memandang Perempuan Jawa” yang memiliki sampul memikat ini, mampu mengimajinasikan gambaran wanita tempo dulu. Dandanan terforsir ala kadarnya namun menggoda eksotisme. Sekilas, buku ini tidak jauh beranjak dari kajian serupa. Keunggulannya, mampu mencakup kompleksitas persoalan yang lebih luas.
Harap maklum, penulis sudah membatasi kajian pada perempuan Jawa – sehingga kita tidak memiliki hak lebih makro, semisal keterkaitan kisah hebat Malin Kundang. Penulisnya sudah berusaha mengumpulkan sejumlah dongeng, cerpen, hingga puisi sebagai kajian.Tentu termasuk sederet buku sebagai pisau bedah analisisnya.
Pemikiran Harjito terasa melaju kencang dalam sehimpun esai ini. “Dari Perempuan Jawa: Kesetiaan dan Kematian” hingga “Perlawanan Atas Modernisme” terkurung dalam sebelas bab yang tertata rapi. Bahasan pertama menyodorkan bagaimanan perempuan – utamanya di Jawa – mewujudkan kesetiaan.
Menjawab persoalan ini dia mengambil tiga teks cerita, yakni “Dongeng Kali Blorong” (Yudiono KS), “Asal Mula Desa Gunem (Kusaeri), dan “Rara Mendut (Daryatun). Secara preventif penulis menegaskan bahwa perlunya sidang pembaca tidak sekadar terbatas memosisikan teks sebagai cerminan terhadap hal-hal yang berkubang di masyarakat, tetapi menembus tataran sarana refleksi.
Pada bahasan terakhir “Perlawanan Atas Modernisme”, saya tak hendak bergairah dalam lontaran judul gagah. Percikan-percikan modernitas dia berfokus pada cerpen “Traktor” karya Adi Zamzam, “Pelajaran Berladang Kol” karya Alizar Tanjung, dan “Lebih Kuat dari Mati” karya Mardi Luhung. Meski deretan cerpen ini memiliki kekuatan moral, namun kutipan greget sepak terjang perempuan Jawa belum terasa menyembul kuat.
Cerpen Adi Zamzam (Jawa Pos, 27 November 2011) merefleksikan garangnya modernisasi yang menghadirkan traktor sebagai penggilas nasib wong cilik sekaliber Wo Rikan. Kengerian rerasan terhadap sosok Wo Rikan terungkap demikian keji:
“Kalau dengan traktor, dua kotak cuma butuh setengah hari. Biaya per kotaknya pun cuma seratus ribu. Coba bandingkan jika aku menyewa bajaknya Wo Rikan. Sehari cuma mampu menyelesaikan satu kotak, itu pun lebih mahal dua puluh ribu. Jadi ya,” begitu kata mereka”. Interpretasi yang hampir sama terkait dengan tema buku Harjito, juga terasa pada nukilan cerpen kuat milik Alizar Tanjung dan karya Mardi Luhung.
Kalau ingin berasyik-asyik menikmati relevansi sosok perempuan (Jawa), saya lebih nyaman membaca kajian Harjito yang ditebar pada bab 7 (tujuh). Kita bisa terhibur dengan judul cerpen Mas Wendo yang terkesan menjungkirbalikkan realitas dengan judul “Nenek Grendi Punya HP, tapi Berharap Sungai”.
Biar tidak penasaran, kita kutip gaya pengarang dari Solo yang khas itu:
“Hanya ada empat nama anaknya dalam hp, dan Nenek selalu minta tolong tetangga yang rumahnya agak jauh. ‘Pencetkan yang nomor dua’. Kalau sudah disambungkan, ada suara halo, Nenek mematikan. Itulah cara nenek memghubungi anaknya yang nomer dua, dari empat anaknya, semua perempuan (Atmowiloto,2014:188 via Harjito,2020: 94).
Menguatkan daya telusurnya terhadap karya sastra, tidak lupa Harjito juga mampir ke penggalan puisi karya penyair yang terus bersinar, Joko Pinurbo yang berjudul “Telepon Genggam”. Kita cicipi kutipannya: “Di engah hingar mereka berjabat tangan,/berdebar-debar,/bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke/telepon/genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya/Sungguh lho.Awas kalau tidak”(Pinurbo, 2003; 1 VIA Harjito 99).
Kelengkapan teks yang ditebarkan dalam buku ini menunjukkan ketekunan yang relevan dengan kapasitasnya sebagai pengajar di magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebuah universitas di Semarang. Hanya – kalau mau menukik lebih dalam dan kontekstual – sebetulnya masih banyak teks karya sastra yang menawarkan peran perempuan lebih representatif. Lebih beragam jejak sepak terjangnya jika dikorelasikan dengan konteks zaman. Lengkap dengan kecenderungan makna interpretatifnya.
Pergulatan tokoh-tokoh dalam teks milik Umar Kayam, NH Dini, Oka Rusmini hingga intensitas penyair Umbu Landu Paranggi, D. Zawawi Imron, dan Wowok Hestri Prabowo ketika menebus peran sentral ibu (sekadar menyebut) – layak memggenapi kajian ini.
Teks-teks yang baru saja disebut saya pikir makin memberi peluang pembedahan lebih jauh. Dengan demikian pembedahan tidak hanya berhenti pada lembar rubrik sastra koran yang kian dipangkas kehadirannya, dalam kajian karya ilmiah sebagai syarat kelulusan di perguruan tinggi — tetapi juga buku-buku berbobot semacam ini. Upaya ini untuk meraih wilayah segmentasi agar bisa menjangkau lapisan pembaca dengan pemilikan ragam disiplin ilmu.
Mengokohkan kualitas bukunya, agar lebih bernuansa akademik, Harjito juga banyak memberi keluwesan sikap. Saya tertarik dengan jitunya kutipan terkait hubungan peran strategis ibu dengan keberadaan anak.
Sehingga – sebagaimana dikutip dari (Geertz, 1985:89): “Pentingnya anak bagi sebuah keluarga Jawa membuat pasangan yang tidak subur akan mencari petuah dukun.” Juga kutipan lain, “Ketiadaan anak dapat dijadikan sebab bagi suami untuk menceraikan istri. Kesalahan sering ditujukan pada istri, bukan suami. Perkawinan yang tidak menghasilkan anak sering menyebabkan seorang lelaki menikah lagi” (Koentjaraningrat, 1994:99,142).
Pendapat-pendapat yang memberi kesan menguak masa lalu menjadi referensi penting ketika ditarungkan dengan pendapat yang lebih kekinian. Dinamika lengkap dengan argumentasinya akan menguak paradigma berpikir pembacanya.
Bandingkan dengan pandangan kritis Blackburn (2009): Perempuan memiliki peran bukan hanya merawat anak-anak, suami dan keluarga, tetapi juga menghidupi keluarga. Perempuan dikontruksikan sebagai penopang ekonomi yang memiliki penghasilan dalam keluarga. Meskipun memiliki penghasilan dan menopang ekonomi keluarga, perempuan dikonstruksi untuk mengabdi kepada suami dan anak-anak (hlm. 41).
Pembicaraan dalam buku ini terasa proporsional dinikmati, saat mobilitas kaum perempuan secara massal lebih terlihat pada peran mereka secara global. Buruh migran perempuan yang mengalir ke luar negeri disebabkan oleh terbatasnya lapangan kerja – di samping persoalan kemiskinan, pendidikan dan keterampilan yang rendah. Persoalan ini akan membuka wawasan kita manakala detail menyimak memoar buruh perempuan yang juga menyanggah gambaran atas novel Indonesia periode 1900-2000.
Kejelian yang sulit dihindari dan tentu juga dikupas dalam buku ini adalah kemandirian perempaun Jawa. Kemandirian perempuan memiliki relasi dengan kelas sosial. Mengutip pendapat Wilkes (2005:139) kelas sosial mempunyai jangkauan lebih luas, dalam arti tidak sekadar mengacu pada kepemilikan modal ekonomi, tetapi juga praktik-praktik kelas yang meliputi selera makan, cara berpaiaan, disposisi tubuh, model rumah dan beragam pilihan sosial dalam kehidupan sehar-hari.
Buku ini tearas memiliki magnet empati bagi kita untuk menambah wawasan yang lebih luas. Kalaupun ada satu dua huruf yang tercecer – dengan mudah pembaca akan menginterpretasinya. Toh tidak ada karya yang sempurna, termasuk urusan ejaan.
Editor: M. Rizqy Rosi M.