Pers Mahasiswa (Persma) berperan dalam mengawal isu-isu yang ada di dalam maupun di luar kampus. Para jurnalis kampus ini tak jarang memberitakan isu-isu sensitif atau tak disenangi oleh pihak yang diberitakan. Namun, tidak semua menerima kritikan yang diberikan oleh Persma. Persma dianggap pencari masalah di kampus. Bahkan, tak jarang muncul pertanyaan “Kenapa Persma selalu memberitakan hal yang jelek-jelek?” Atau karena tidak percaya dengan kinerja Persma, maka muncul pertanyaan berikutnya, “Bagaimana menilai objektivitas suatu pemberitaan?”.
Pertanyaan pertama lazim dilontarkan melihat pemberitaan mayoritas Persma yang sepengetahuan penulis lebih mengutamakan kekritisan (bukan kejelekan). Terkait itu, untuk memberikan sedikit gambaran, saya kembali membuka buku jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme yang diterbitkan oleh Pantau. Bill Kovach merupakan mantan kepala Biro The New York Times dan mantan editor Atlanta Journal-Constitution, sementara Tom Rosenstiel merupakan mantan Direktur Eksekutif American Press Institute dan kritikus media. Dalam bukunya, mereka memaparkan apa yang seharusnya diketahui wartawan dan diharapkan publik. Berdasarkan sembilan elemen tersebut, ada satu poin yang menyebutkan bahwa pers sebagai pemantau kekuasaan dan penyambung lidah tertindas.
Dalam hal pemantau kekuasaan, Philadelphia Bulletin pada tahun 1964 tidak akan mendapat penghargaan Pulitzer Prize (Sebuah penghargaan prestisius untuk dunia jurnalistik di Amerika Serikat) apabila mereka tidak memberitakan “kejelekan” dari kepolisian Philadelphia yang melakukan pengundian lotere ilegal. Selain itu, tim investigasi Spotlight dari Boston Globe atas usahanya yang panjang membongkar “kejelekan” para pastur yang sering melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Namun, yang lebih penting dari penghargaan tersebut adalah bahwa pers selalu berusaha memantau agar para pemimpin politik atau pemegang kekuasaan tidak melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Pemantauan tidak hanya pada pemimpin politik atau pemegang kekuasaan di pemerintahan, tetapi juga dilakukan pada lembaga masyarakat.
Apabila dikontekskan dengan kampus, Persma berkewajiban untuk memantau para pemegang kekuasaan seperti Yayasan, Rektorat, Wakil Mahasiswa serta lembaga dan organisasi kemahasiswaan yang lain. Jika diamati sebenarnya kampus adalah sebuah miniatur dari negara. Maka, tak jarang apabila kita sering mendengar adanya Persma yang diberedel karena pemberitaannya. Pemberedelan yang kebanyakan dilakukan oleh birokrat kampus disebabkan oleh pemberitaan yang tidak benar atau merugikan pihak kampus. Kalau memeng pemberitaan tersebut tidak benar, dalam dunia jurnalisme terdapat hak jawab. Jadi, pihak yang merasa dirugikan bisa menuliskan keberatan akan suatu pemberitaan. Namun, diperlukan alasan yang jelas mengenai apa yang dipermasalahkan.
Kembali dalam menjalankan fungsi pemantau kekuasaan dan penyambung lidah tertindas, jurnalisme adalah kartografi modern. Ia menghasilkan sebuah peta bagi warga untuk mengarahkan persoalan masyarakat. Maka dari itu, nilai dari jurnalisme tergantung pada kelengkapan dan proporsional. Kemudian muncul pertanyaan mengenai bagaimana menilai kelengkapan, proporsional atau objektivitas suatu pemberitaan seperti pada pertanyaan di awal?
Objektivitas suatu pemberitaan memang berawal dari subjektivitas jurnalis itu sendiri. Namun, untuk mengukur atau menganalisis suatu pemberitaan bisa dilihat melalui keselarasan narasumber yang ditampilkan. Idealnya dalam satu pemberitaan ada informasi dari dua pihak yang terkait. Jumlah dan lingkaran kedekatan narasumber dengan kejadian yang sedang diberitakan juga menjadi indikator seberapa proporsional atau lengkap atau objektif suatu pemberitaan. Selain itu kejujuran, fakta dan verifikasi juga hal yang tidak bisa terlepas dalam jurnalisme.
Kemudian pertanyaan lain yang akan muncul adalah “Apakah pers atau pemberitaan itu netral?” Jawabannya adalah tidak. Pers tidak netral, Pers itu memihak. Pers memihak kepada kebenaran dan kepentingan masyarakat. Memang, kebenaran itu bukan hal yang tunggal atau absolut. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang berasal dari fakta, verifikasi, dan klarifikasi. Tidak menutup kemungkinan bahwa kebenaran yang sudah ada diperkuat atau dibantah dengan kebenaran-kebenaran yang muncul berikutnya.
Pada akhirnya, Pers pada umunya serta Persma pada khususnya bukanlah Tuhan yang tidak mungkin salah dalam pekerjaannya. Menurut data Dewan Pers, ada sekitar 3.000 media online saat ini, dari yang terpercaya sampai yang abal-abal. Di sinilah peran masyarakat dalam menyaring informasi yang disuguhkan media dengan analisis kritisnya. Apabila semua informasi itu ditelan mentah-mentah, bukan tidak mungkin terjadi kekacauan di masyarakat akibat pemberitaan yang tidak benar dan menyesatkan. Bahkan, di era sekarang ini semua orang bisa menjadi jurnalis. Jangan ragu mengkritik Persma apabila mereka memang salah dalam memberitakan. Saya kira Persma akan sangat terbuka terhadap kritik. Masa lembaga pengkritik tidak mau dikritik.
Persma pada dasarnya bukan menjelekkan tetapi mengkritik dan mengontrol. Sehingga, ketika menilai sebuah pemberitaan, diperlukan pemahaman terhadap esensi berita secara lebih mendalam. Selain itu, pengetahuan masyarakat terkait media juga menjadi penting. Hal ini agar masyarakat tidak mudah diarahkan oleh media yang menyesatkan. Terlebih di lingkungan kampus. Hidup Mahasiswa.