Judul : Diary of Void
Penulis : Emi Yagi
Penerjemah : David Boyd dan Lucy North
Penerbit : Viking
Terbit : 2022
Tebal : 213 Halaman
ISBN : 9780143136873
Ada hal menarik yang bisa kita cermati dalam karya penulis Jepang kontemporer. Suara marginal, seperti ketimpangan relasi gender dan isu-isu keperempuanan mengemuka dengan dihadirkannya karya oleh, tentang, dan dari penulis perempuan. Pembaca global tentu sudah tak asing dengan sejumlah karya yang berada dalam lingkup tersebut, semisal Breasts and Eggs karya Mieko Kawakami, Convenience Store Woman karya Sayaka Murata, sampai The Hole karya Hiroko Oyamada. Tiga karya itu hanya segelintir karya yang muncul di hadapan publik global. Sebab, dalam kurun waktu dua tahun setelahnya, karya dengan topik keperempuanan makin dieksplorasi oleh penulis dan menandai pergerakan baru bagi gelombang sastra di Negara Matahari Terbit.
Gelombang sastra baru ini bukan ungkapan muluk. Sebab, apabila kita melihat sejarah kesusastraan Jepang seabad ini, maka kita bisa melihat kecenderungan kanonisasi yang tak berperspektif gender. Selama kurun waktu tahun 1940-an sampai awal ’90-an, kesusastraan Jepang ramai oleh penulis laki-laki. Kita bisa menyebutnya sebagai tiga kanon utama yang bakal selalu diingat: Yasunari Kawabata, Junichiro Tanizaki, dan Yukio Mishima. Tiga nama itu diikuti nama lain yang menjadi representasi karya sastra Jepang yang baik. Publik global menahun mengamini hal tersebut hingga muncul nama seperti Banana Yoshimoto ke permukaan. Dan perlahan, gelombang baru itu pun tercipta, hingga benar-benar meledak dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Sebetulnya, apa yang menjadi kekhasan karya-karya penulis dalam gelombang ini? Seperti yang sudah disinggung, isu ketimpangan gender dan isu perempuan menjadi warna yang lekat. Isu itu menjadi cikal-bakal dari topik lainnya, semisal keibuan (motherhood), ketenagakerjaan, sampai keperempuanan. Dalam lingkup keibuan ini, kita bisa melihatnya dalam novel Diary of Void (Viking; terjemahan David Boyd dan Lucy North, 2022) karya Emi Yagi. Novel ini bertutur tentang kisah kehamilan palsu tokoh utama lantaran tuntutan sekitar. Kenapa si tokoh utama memalsukan kehamilannya? Tuntutan macam apa yang membuatnya tiba pada keputusan tersebut? Alasan itu ditunjukkan dengan kilas-balik dalam kisah tokoh utama yang bernama Shibata. Pembaca disuguhkan identitas Shibata di awal kisah, bahwa ia pekerja perempuan di sebuah perusahaan pipa kertas, bahwa ia pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja terdahulu, dan bahwa sebagai sedikit dari perempuan di tempat kerjanya, Shibata tak terhindarkan melakukan pekerjaan biasa atau domestik. Lingkungan kerja Shibata kerap memintanya untuk membuang puntung rokok, membuatkan kopi, sampai membersihkan meja. Hal itu di luar beban kerjanya, tapi orang sekitar tampak tak peduli sebab ia perempuan.
Sebagaimana yang dikemukakan Villa (2019), lingkungan kerja di Jepang masih bersifat patriarkal. Oleh sebab itu, penggambaran lingkungan kerja Shibata yang tak berkeadilan gender bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Kita bisa mendapati itu di dunia nyata. Yang justru perlu digarisbawahi adalah, respon yang dipikirkan oleh Shibata untuk menyikapi praktik tersebut: bahwa ia mengaku hamil. Kita cerap salah satu dialog dan narasinya: “’Aku hamil. Aroma kopi itu membuatku mual. Begitu pula dengan rokok. Ngomong-ngomong, bukankah gedung ini mestinya anti-rokok, ya?’ Dan sejak itu aku hamil.” (Hal. 10) Pengakuan itu meluruhkan bebannya sebagai sang liyan, sisi yang melakukan pekerjaan domestik. Dari situ, terjawab sudah alasan Shibata mengaku hamil padahal tidak.
Pengakuan itu pun menjadi identitas baru yang diemban Shibata. Memang, lingkungan kerja tak lagi membebaninya dengan pekerjaan domestik, tapi identitas seorang ibu serta-merta menghadirkan pandangan yang lain. Obrolan soal anak, keinginan anak perempuan atau laki-laki, bagaimana keadaan si ayah, bagaimana perasaanmu sebagai seorang ibu; adalah sejumlah pertanyaan yang didapat oleh Shibata dari orang di sekitarnya. Sementara Shibata, berusaha merespons semua pertanyaan itu sebaik mungkin, senyata mungkin, kendati apa yang ia utarakan adalah kebohongan belaka. Kehamilan itu pun selanjutnya melebur dalam batas nyata atau mengada-ngada. Seiring kisah Shibata berjalan, pembaca makin dibuat bertanya, sebetulnya ia hamil atau tidak?
Hal inilah sisi unik lainnya dalam novel ini. Emi Yagi menghadirkan semesta limbung antara nyata dan mengada-ngada dalam konteks keibuan Shibata. Di awal, pembaca tahu kalau kehamilan itu bohong belaka dari pengakuan Shibata, tapi dalam bagian berikutnya, pembaca akan disentil keraguan manakala mendapati Shibata yang mual di pagi hari, Shibata yang mengajak bayi di perutnya berbicara, Shibata yang mengikuti senam bersama ibu-ibu lainnya, Shibata yang datang ke dokter dan memeriksa kehamilannya, dan Shibata yang tiba pada kesadaran sebagai ibu hamil: “Jadi, inilah kehamilan. Betapa mewahnya. Betapa kesepiannya.” (Hal. 8) Apakah kehamilan Shibata nyata? Pertanyaan ini akan terus menggelayut di benak pembaca, hingga membuat kita terus mengikuti keseharian Shibata dari minggu ke minggu; lalu ketika tiba di akhir kisah, soal nyata atau mengada-ngada itu tak lagi penting, sebab apa yang dilalui Shibata itulah yang perlu kita perhatikan.
Maka tak berlebihan, apabila kita melihat novel ini sebagai sebentuk kritik atas isu ketidakadilan gender di lingkungan kerja sekaligus pembabaran keibuan di dalam masyarakat. Dari identitas Shibata, kita bisa menyimpulkan kalau masih banyak yang perlu diperbaiki mengenai lingkungan kerja yang baik supaya berkeadilan gender. Ini bukan saja soal keamanan sebagai perempuan, tetapi juga rasa nyaman, berikut pemenuhan hak-hak keperempuanan sebagai pekerja yang setara. Di sisi lain, kisah Shibata membentangkan cakrawala baru mengenai keibuan dan kehamilannya. Di bagian ini, pembaca kemungkinan mendapati kontradiktif dari tokoh Shibata ini. Sebab, ia kerap kali mengomentari atau mengoceh soal perempuan-perempuan hamil di sekitarnya. Ia melayangkan penilaian tertentu yang beberapa kali terjebak sebagai upaya merendahkan.
Bahkan, ada kesan yang diterbitkan oleh Shibata dengan memandang kehamilan sebagai kemewahan karena “membebaskan” dan menjadi tiket untuk menjalani hidup yang lebih mudah. Ini pemahaman yang terlampau simpel dalam memandang kehamilan. Tapi lagi, hal itu menerbitkan tanya, apakah itu responnya sebagai orang yang kali pertama tiba di fase kehamilan hingga banyak hal tampak baru dan aneh? Apa pun itu, kisah Shibata terus-menerus memantik pembaca untuk berpikir, mempertanyakan, dan merenungkan sejumlah hal, terutama yang berkaitan dengan isu keibuan. Novel ini juga menerakan kritiknya atas keadaan hari ini, seolah menegaskan bahwa proses rekonstruksi nilai-nilai di masyarakat, misalnya yang berhubungan dengan masalah gender, adalah proses yang belum selesai, dan nilai-nilai baru mesti ditanamkan.