Jathilan Warisan Budaya Tak benda

Himmah OnlineKesenian Jathilan merupakan salah satu jenis kesenian yang hidup dan tumbuh berkembang pada komunitas masyarakat pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kesenian ini menyatukan unsur gerakan tari dengan ritual di bawah pengendalian seorang pawang sebelum pagelaran dimulai. Jathilan memiliki sifat mudah dikenal oleh masyarakat. Oleh karena itu, seni ini lebih dikenal dengan seni kerakyatan. 

Dilansir dari  Kompas.com, kata Jathilan sendiri berasal dari bahasa Jawa “Jaranne jan tjil-thilan tenan”, yang memiliki arti kudanya benar-benar joget tak beraturan. Arti tersebut diambil dari gerakan penari Jathilan yang telah kerasukan.

Jathilan sering digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Dimana tujuan dari berdirinya kelompok jathilan, yakni untuk memberikan wadah kesenian yang teratur dan terarah, seperti yang diadakan oleh kelompok Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal pada Sabtu (10/06) di Bumi Perkemahan Dewi Tanggalsari, Duwet, Wukirsari, Kabupaten Sleman.

Jathilan mempunyai beberapa versi gambaran cerita sejarah. Versi yang pertama, kesenian Ini menggambarkan sebuah kisah perjuangan Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga untuk melawan para penjajah Belanda. 

Sedangkan versi kedua, Jathilan menjelaskan cerita tentang Panji Asmarabangun yang merupakan seorang putra dari Jenggala Manik. Hal itu dibuktikan dengan penampilan para penari Jathilan dengan properti-propertinya yang dipakai.

Mengenai asal-usul Jathilan, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan secara rinci bagaimana awal mula kesenian ini terbentuk. Hanya berasal dari cerita-cerita verbal yang berkembang dari generasi ke generasi.

Hal tersebut senada dengan apa yang dituturkan oleh Parman (65), selaku ketua pagelaran seni kelompok Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal dengan menggunakan bahasa Jawa yang artinya, 

“Dulu putra-putra (pemuda) pada suka nyetel kaset, tapi yang masih kaset pita. Lalu, diputar di jalan-jalan lalu mereka njatil (joget jathilan) dan banyak rombongannya,” ujar Parman.

Filosofi dalam Pagelaran Jathilan

Sebagai seni budaya tradisional, Jathilan terikat kuat dengan unsur religi. Hal ini dapat dilihat dari para pemain pagelaran yang tampil untuk menggambarkan tokoh-tokoh besar masyarakat lampau hingga dewa-dewi sesuai kepercayaan masyarakat jawa tradisional. 

Pertunjukan Jathilan juga sering dilaksanakan untuk upacara keagamaan tertentu seperti upacara pelaksanaan hari raya agama Hindu  yang kerap kali dikaitkan dengan seni dan sebagai persembahan yang disertakan dengan bunga, hingga buah-buahan sebagai bentuk penghormatan. 

Alunan musik jawa dan lirik-lirik shalawat yang dilantunkan dalam pagelaran ini juga turut memperkuat kandungan unsur religi di dalamnya.

Selain mengandung unsur religi, kesenian Jathilan juga mengandung unsur mistik. Sebab, sebelum acara dimulai seorang pawang melakukan ritual dimana pagelaran dilakukan, dengan maksud untuk memohon kepada para makhluk halus yang dianggap sebagai penunggu tempat tersebut.

Dalam pertunjukannya, jathilan menampilkan empat babak, seperti yang dilakukan oleh kelompok jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal pada Sabtu (10/06). Babak pertama berupa kreasi putra yang dibawakan oleh delapan orang, babak kedua diisi oleh kreasi putri dengan enam pemain, babak ketiga merupakan sesi mataraman yang diisi kembali dengan delapan pemain putra seperti babak pertama, dan babak keempat berupa kreasi yang diisi oleh delapan pemain putra yang lebih tua daripada pemain di tiga babak sebelumnya.

Semua babak dimulai dengan gerakan para pemain yang pelan hingga berubah menjadi dinamis mengikuti suara gamelan. Lagu-lagu selain jawa pun turut mengiringi jalannya kesenian ini.

Jathilan juga berjalan dengan diiringi oleh beberapa alat musik dan alunan lagu-lagu religi. Alat musik yang biasanya digunakan adalah bonang, saron, kendang, dan gong.

Kemudian, untuk penampilan jathilan sendiri dibawakan oleh penari putra maupun putri dan pawang acara, yang bertugas sebagai pengendali sekaligus pengatur jalannya acara dan penjamin keselamatan para pemainnya. Keduanya mempunyai tanggung jawab dan peran penting dalam pagelaran kesenian ini.

Adapun lagu pengiring gerakan para pemeran kesenian Jathilan, dimainkan secara bersamaan dengan menggunakan alat musik tradisional berupa gamelan dengan instrumen yang sederhana. Suara musik gamelan yang dimainkan dalam kesenian ini memiliki beberapa kandungan elemen di dalamnya.

Elemen-elemen yang terkandung dapat berupa sistem skala dan tuning yang disetel sangat hati-hati untuk menciptakan kombinasi nada yang khas dan harmonis, politrimi dan polifoni, kendang, dinamika dan ekspresi, serta nuansa emosional yang dapat menguatkan nuansa pertunjukan kesenian Jathilan. Setelah sekian lama mengikuti suara gamelan yang dimainkan, para penari mulai kesurupan. 

Durasi perubahan kondisi kesadaran antara penari putra dan putri berbeda. Kondisi kesadaran penari putri dominan lebih cepat berubah dibandingkan dengan kesadaran para penari putra yang dapat bertahan lebih lama.

Ketika para penari mulai kesurupan, mereka melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Mereka dengan mudah menggigit botol kaca, meminum minyak kemenyan, mendobrak kencang pagar pembatas penonton, bahkan hingga memukul badan sendiri dengan parang tanpa terluka dan tidak merasa kesakitan. Ketika kondisi inilah para pawang berperan penting untuk mengembalikan keadaan.

Dalam jathilan terdapat properti yang digunakan para pemain jathilan untuk tampil. Setidaknya terdapat tiga belas properti. Di antaranya adalah baju atasan khusus, celana panjang khusus, rompi tari, kuda kepang dengan anyaman bambu, gelang, selendang tari, sesumping (properti yang memancarkan kilauan cahaya yang digunakan pada bagian telinga), cambuk, apok (penutup leher dan dada penari berupa kain melingkar), ikat kepala, kacamata hitam, sabuk hias, dan parang imitasi.

Sebagai properti wajib yang menjadi ciri khas kesenian Jathilan, kuda kepang dipilih dengan membawa simbol kekuatan dan kegagahan para bangsawan serta prajurit kerajaan pada masa lampau dalam menghadapi para penjajah.

Nilai-nilai Tersirat Kesenian Jathilan

Kesenian Jathilan adalah salah satu kesenian rakyat yang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai lokal yang ada. Melalui pertunjukan Jathilan terdapat beberapa nilai-nilai sosial dan pesan moral yang disampaikan, seperti kebersamaan, spiritualitas, ketangguhan, dan keberanian.

Dalam pagelaran seni Jathilan, kebersamaan dan kerjasama sangatlah dijunjung tinggi. Alunan musik yang bersatu padu dengan gerakan para penari menjadi bukti betapa pentingnya kerjasama dan keharmonisan dalam sebuah kelompok untuk menghasilkan pertunjukkan yang menarik.

Alunan musik religi yang dibawakan sepanjang acara menandakan keterkaitan unsur spiritualitas. Kuda anyam bambu yang dibawakan dengan gerakan energik dan lincah menggambarkan ketangguhan dan keberanian secara jelas dari kesenian ini. 

Melalui nilai-nilai sosial dan pesan moral tersebut, kesenian Jathilan mempunyai andil besar dalam membentuk kesadaran akan budaya dan moral di masyarakat.

Reporter: Magang Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Editor: Jihan Nabilah

Skip to content