Ketimpangan Respon OKI atas Konflik Muslim Uighur

Himmah Online – Upaya mediasi yang dilakukan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atas apa yang terjadi di Uighur, Xinjiang tampak timpang. Pada sejarahnya, OKI telah memainkan peran penting dalam memediasi konflik yang terjadi di negara anggota, atau komunitas muslim yang terlibat konflik.

Ibrahim Sharqieh, dalam tulisannya yang berjudul “Can the Organization of Islamic Cooperation (OIC) Resolve Conflicts?” menyebut OKI berpartisipasi secara intensif pada empat kasus marginalisasi kelompok muslim, yakni konflik di Filipina, Thailand, Irak dan Somalia.

Thailand dan Filipina bukanlah negara anggota OKI. Tapi keterlibatan aktif OKI dalam mediasi konflik di negara non-anggota seperti Thailand, dan Filipina dinilai berhasil. 

Atas keterlibatan OKI, di Thailand terjadi perubahan pendekatan yang dilakukan pemerintah Thailand dari penggunaan kekerasan, menjadi dialogis. Pada konflik di Filipina, OKI berhasil mengantarkan perjanjian damai yang ditandatangani pemerintah Filipina dan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF). OKI juga bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dalam memberi bantuan untuk infrastruktur di wilayah pasca konflik.

Kemampuan pendekatan unik yang dimiliki OKI dalam melakukan mediasi konflik dapat dilihat dari tiga faktor utama, yaitu: cultural competency, moral power, dan partnership (Ibrahim, 2012).

Namun, hal ini berbeda ketika OKI menghadapi China. M. Tri Andika & Elcy Damayani dalam tulisannya yang berjudul “Sikap Lunak OKI terhadap China dan Isu Pelanggaran HAM Muslim Uighur” menyebut OKI melunak dalam merespon konflik Uighur. 

Melunaknya OKI pada konflik Uighur mengundang pertanyaan, bahwasannya, pada pasal 1 ayat 16 Piagam OKI, disebutkan organisasi ini membawa semangat solidaritas umat muslim dunia; sekaligus terlibat aktif dalam permasalahan umat muslim yang menjadi kelompok minoritas di negara non-anggota.

Lalu, mengapa respon OKI melunak pada konflik Uighur? Apa indikator dari melunaknya respon OKI? 

Indikator Lunaknya Respons OKI

Disebutkan oleh M. Tri Andika & Elcy Damayani, setidaknya ada tiga indikator yang mengarah pada melunaknya respons OKI pada konflik ini.

Pertama, dalam pernyataan yang disampaikan pada pertemuan Independence Permanent Human Rights Commissions (IPHRC) ke-14—IPHRC adalah salah satu organ utama OKI yang mengadvokasi Hak Asasi Manusia (HAM). 

Pernyataan tersebut melaporkan adanya kamp detensi yang dibangun pemerintah China. Walaupun pemerintah China menyebutkan kamp tersebut sebagai re-education camp dan pusat pelatihan untuk memerangi ekstrimisme dan separatisme. Kamp tersebut diduga melanggar HAM etnis Uighur yang dipaksa mengikuti serta mengadopsi budaya dan praktik yang berbeda dengan identitas otentik Uighur.

Pernyataan tersebut didukung oleh laporan Amnesty International yang menyebutkan bahwa pemerintah China menahan satu juta muslim Uighur yang ditempatkan di tempat selayak kamp konsentrasi oleh pihak Beijing.

Meskipun demikian, pernyataan yang disampaikan IPHRC hanya harapan terhadap pemerintah China dalam upaya memerangi terorisme, tetap menjamin hak, dan kebebasan beragama muslim Uighur.

Kedua, dalam pernyataan pertemuan IPHRC ke-15, IPHRC mengapresiasi keterlibatan aktif OKI dan pemerintah China dalam menangani masalah muslim Uighur. IPHRC juga menyampaikan bahwa kunjungan OKI ke Xinjiang merupakan upaya konstruktif dalam penyelesaian konflik Uighur. Namun, IPHRC tidak secara tegas mengaitkannya dengan kebijakan Beijing yang diskriminatif terhadap muslim Uighur.

Ketiga, dalam Resolusi Pertemuan Dewan Menteri Luar Negeri OKI ke-46 No. 1/46-MM, disebutkan Dewan Menteri Luar Negeri OKI menyambut baik kunjungan delegasi Sekretaris Jenderal OKI atas undangan pemerintah China. Dewan Menteri Luar Negeri OKI memuji pemerintah China atas perhatian yang diberikan kepada warga muslimnya, serta menantikan kerja sama lebih lanjut antara OKI dan China.

Tiga indikator tersebut menunjukkan bahwa OKI, organisasi yang membawa semangat solidaritas muslim dunia, serta aktif dalam permasalahan umat muslim yang menjadi kelompok minoritas, melunak dalam merespons konflik yang berada di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China.

BRI dan Reaksi Negara-negara OKI

Belt and Road Initiative (BRI) diperkenalkan oleh presiden China, Xi Jinping pada tahun 2013 di Kazakhstan. BRI merupakan kebijakan luar negeri dan ekonomi yang dicanangkan oleh China untuk memperkuat dan memperluas pengaruh ekonomi China.

Tentunya, proyek BRI ini melebihi dari aspek ekonomi saja. Perang dagang antar China dan Amerika memperlihatkan bahwa proyek ini sarat penguatan pengaruh politik China.

Hal tersebut diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur negara-negara yang dilewati oleh jalur proyek BRI. Di antara negara-negara yang dilewati oleh jalur tersebut adalah negara-negara anggota OKI.

Selama 20 tahun terakhir, China sudah mengalahkan Amerika dalam urusan jual beli dengan negara anggota OKI. China juga merupakan konsumen jangka panjang bagi negara Gulf Cooperation Council (GCC) dalam bidang energi.

Dalam konteks investasi China, Narasi melaporkan, bahwa Pakistan mendapatkan pinjaman 62 miliar USD untuk infrastruktur. Dengan Iran, China berinvestasi hampir 400 miliar USD. Di Turki, China berinvestasi lewat pertukaran kredit sebesar 3,6 miliar USD. Dengan Arab Saudi, China membuat kesepakatan investasi senilai 93 miliar USD. Lalu dengan Indonesia, China adalah mitra dagang dan investor terbesar kedua di Indonesia.

Dengan demikian, banyaknya kerja sama yang dilakukan China dengan negara-negara OKI dapat menjadi salah satu faktor lunaknya OKI terhadap China dalam konflik Uighur.

Duta Besar AS Michele Taylor, wakil tetap AS untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mengajukan mosi bersama 10 negara lainnya untuk membahas situasi HAM di Xinjiang dibahas dalam agenda PBB.

Tetapi, mosi yang dibawa AS bersama 10 negara lainnya gagal mendapatkan kesepakatan negara lain. Dari 47 negara yang hadir, 17 mendukung, 19 menolak, dan 11 memilih abstain.

Menariknya, ketika AS mengajukan mosi untuk membahas situasi HAM di Xinjiang, lebih dari setengah yang menolak adalah negara-negara anggota organisasi Islam terbesar.

Hal tersebut menunjukkan upaya yang dilakukan China dalam mengonsolidasikan negara-negara OKI dinilai berhasil. Pendekatan China melalui pembangunan serta kerja sama bilateral dengan negara OKI menjadi landasan yang mengatur tindakan-tindakan yang dapat merugikan kerjasama China dengan negara-negara OKI.

Kritik atas Kepentingan OKI

Sejauh ini, OKI belum mengambil langkah signifikan dalam mengatasi pelanggaran kemanusiaan di Xinjiang. Di bawah Piagam OKI Pasal 1 ayat 16, seharusnya negara anggota harus “Untuk melindungi hak, martabat, dan identitas agama, dan budaya komunitas muslim dan minoritas di negara-negara non-anggota”.

Indikator-indikator yang dituliskan di atas, sejatinya mencerminkan bagaimana OKI melanggar piagamnya sendiri. 

Menurut Erkin Ekrem, seorang profesor yang mengajar kebijakan luar negeri China di Universitas Hacettepe di Ankara, Turki, OKI memiliki tanggung jawab etis untuk menyuarakan keprihatinan mengenai kesengsaraan umat Islam di seluruh dunia dan memberikan bantuan kepada Uighur.

Namun, kepentingan geopolitik dan ekonomi menjadi faktor negara anggota OKI memberi dukungan kepada China. Dukungan tersebut tentunya melanggar Piagam OKI.

“Dukungan OKI terhadap China dalam kasus ini melanggar piagamnya sendiri dan prinsip inti Islam,” tuturnya.

Adrian Zenz, seorang peneliti di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington, D.C. mengkritik keras kunjungan OKI ke China. 

Adrian mengkritik bahwa OKI tidak berdaya untuk menghadapi China pada kasus Uighur. Ia pun mempertanyakan apa keuntungan yang didapatkan OKI ketika turut andil dalam menutupi kasus tersebut.

“Delegasi OKI tingkat tinggi mengunjungi Xinjiang, memuji kebijakan China, sejauh mana organisasi muslim ini bersujud ke Beijing benar-benar luar biasa. Apakah mereka benar-benar memiliki banyak keuntungan dari menutupi genosida? Apa yang ditawarkan Beijing kepada mereka?” ucapnya.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Skip to content