Constitutional Law Society Serukan Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI

Himmah Online – Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum (FH), Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan konferensi pers yang bertajuk “Pasca Putusan MK, Kita Harus Apa? Bangkitkan Gagasan Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI”. Konferensi pers dilaksanakan di Selasar Gedung B FH UGM pada Selasa (23/4).

Acara tersebut menghadirkan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, R. Herlambang P. Wiratraman, dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UGM yang menyampaikan pernyataan pengantar, dan Ignasius Lintang Nusantara, presiden CLS FH UGM yang menyampaikan pernyataan pers.

Konferensi pers tersebut memiliki enam tuntutan, salah satunya agar presiden dan wakil presiden RI terpilih bersedia kekuasaannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan khusus. 

Lintang mengungkapkan tujuan diadakannya konferensi pers ini guna memperjuangkan rancangan undang-undang tentang lembaga kepresidenan untuk disahkan menjadi undang-undang sebagai pembatasan kekuasaan bagi presiden dan wakil presiden RI.

“Pada intinya kami ingin memperjuangkan pembatasan untuk presiden dan wakil presiden terpilih dan siapapun nanti presiden yang akan memimpin Indonesia ke depan. Karena selama ini, kita belum memiliki rancangan uu yang khusus mengatur mengenai pembatasan kekuasaan presiden,” tutur Lintang.

Zainal menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pilpres 2024 mengakui bahwa banyak masalah di level presiden ketika kekuasaannya tidak dibatasi apa-apa. 

“Kenapa presiden bisa bansos, main uang negara, main aparat, main pejabat, karena tidak ada pembatasan (kekuasaan) sama sekali,” ungkap Zainal.

Lanjutnya, Zainal mengungkapkan perlu untuk melemahkan presiden di masa akhir periodenya. Bila tidak, presiden dengan kekuasaannya mampu untuk mengotak-atik institusi negara.

“Presiden itu harus dipincangkan menjelang pemilu, karena banyak sekali yang bisa dia mainkan,” ucap Zainal.

Sementara itu, Herlambang menjuluki MK sebagai “Mahkamah Kartel”. Ia memberi julukan tersebut karena kepentingan politik yang berperan dalam pekerjaan hakim juga memiliki pengaruh signifikan terhadap posisi politik hakim.

“Saya sendiri menulis ‘Mahkamah Kartel’ karena posisi politik hakim juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik yang bekerja,” ucap Herlambang.

Herlambang menyebut adanya dominasi nalar formalisme yang terseleksi di MK mengabaikan situasi-situasi yang seharusnya dipertimbangkan, seperti konflik kepentingan dan pertimbangan etika. Pengabaian tersebut dianggapnya sebagai suatu yang berbahaya. Etika tidak lagi dianggap penting dalam pembuatan keputusan.

“Ini (dominasi nalar formalisme) cara MK yang saya kira berbahaya sekali ya. Ketika dia (MK) bukan hanya melepaskan dari situasi-situasi yang sebenarnya harus dibaca, misalnya soal konflik kepentingan, soal etika. Jadi etika tidak lagi dianggap penting di dalam putusan,” ujar Herlambang

Ia juga menyebut terdapat fenomena di MK yang disebut sebagai Judicialization of Authoritarian Politics, di mana kekuasaan kehakiman semakin menegaskan posisi dalam upaya mendukung kepentingan politik rezim.

“Disebut sebagai Judicialization of Authoritarian Politics, situasi yang sebenarnya politik kekuasaan kehakiman ini makin lama makin menegaskan posisinya itu menopang kepentingan politik rezim. Khususnya rezim pemerintahan Jokowi,” ucap Herlambang.

Pada pernyataan pers tersebut, tertulis bahwa Indonesia pernah memiliki niatan untuk membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden pasca reformasi, namun niat tersebut memudar pada setiap periode kekuasaan. 

“Oleh karena itu, kami menolak lupa eksistensi RUU lembaga kepresidenan,” pungkas Lintang dalam pembacaan pernyataan pers.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Ibrahim

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Skip to content