Belakangan, pro – kontra atas Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) kembali merebak. Ada yang bilang RUU Kamnas ini dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Alasannya, belakangan banyak gerakan separatis, bahkan ekstrimis yang mengancam keamanan negara. Dengan adanya UU Kamnas ini (nantinya), aparat keamanan mendapatkan pengakuan khusus untuk memberantas segala bentuk ancaman pada negara. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara (BIN) mendapatkan peran secara luas sebagai penyelenggara undang-undang ini. Bukankah dalam aturan-aturan yang ada, peran TNI dan Polri sudah jelas. Untuk masalah-masalah sosial juga sudah ada di UU Penyelesaian Konflik Sosial.
Saya berada pada pihak yang tidak sepakat bila RUU Kamnas ini disepakati. Saya melihat berbagai hal janggal di kandungan undang-undang ini. Pertama, di pasal 20 RUU Kamnas tertulis : Pemberian kewenangan khusus penangkapan dan penyadapan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara(BIN). Dari pasal ini, aparat Negara memiliki wewenang untuk menangkap dan menyadap segala hal yang menurut mereka mengancam. Pertanyaannya, mengancam menurut mereka itu seperti apa? Bisa saja bila sekumpulan mahasiswa berdiskusi mengenai bobroknya perekonomian negeri ini, aparat lalu datang dan menangkap mereka. Ditambah lagi dengan RUU Pasal 28: Kewenangan penyadapan. RUU Kamnas tanpa ijin pengadilan berhak melakukan penyadapan kepada siapa saja yang berpotensi menyebabkan keamanan Nasional. Bukankah ini akan mengulang sejarah kelam orde baru? Dimana setiap perbincangan yang “dianggap” mengancam keamanan nasional akan disadap, lalu pelakunya “dibuang” entah kemana.
Selain itu, RUU Kamnas Pasal 17 ayat 4 berbunyi “Ketentuan mengenai ancaman potensial dan aktual diatur dengan Peraturan Presiden.” Ini seperti memberi kekuasaan presiden untuk membuat skenario apa saja yang menjadi ancaman. Misalnya, bila di bundaran Hotel Indonesia terjadi unjuk rasa yang menuntut dirinya mengambil sikap, Presiden bisa leluasa menunjuk mereka lalu memberi perintah untuk “meringkus” mereka lantaran tuntutannya tak sesuai kepentingan sang Indonesia satu.
Dari beberapa contoh draft RUU Kamnas di atas, saya menilai bahwa ini adalah upaya menegakkan Orde Baru gaya baru. RUU Kamnas menjadi alat untuk melegitimasi penyisiran, bahkan pemberangusan masyarakat yang kritis atas pemerintahan. RUU Kamnas ini akan menjadi pagar berduri yang membatasi opini dan suara masyarakat seperti era kepemimpinan Soeharto. Demokrasi kembali terpasung oleh belenggu otoritas rezim tertentu. RUU Kamnas bisa saja mencabut kembali prasasti reformasi yang tertanam lebih dari satu dekade ini.
Untuk itu, saya mengajak kawan mahasiswa untuk turut mengkaji RUU Kamnas ini. Analisis, disksusi, lalu ambil tindakan. Sekarang memang belum kita rasakan dampaknya. Namun, apa yang terjadi pada diri kita, adik-adik kita nanti bila RUU Kamnas ini disahkan? Kita dilarang berpikir kritis, dijejali sejarah-sejarah palsu, buku-buku yang mengandung unsur kritik dibumihanguskan. Lalu, apa kita masih akan diam?
*Mahasiswa jurusan Akuntansi 2008/Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII