Judul : The Freedom Writers
Genre : Drama
Sutradara : Richard LaGravenese
Pemeran : Hilary Swank, Scott Glenn, Imelda Staunton, Patrick Dempsey, Mario, April L. Hernandez
Produksi : Danny DeVito, Michael Shamberg, Stacey Sher
Tanggal rilis : 5 Januari 2007
Bahasa : Inggris
Durasi : 122 menit
The Freedom Writer merupakan film yang menceritakan kisah seorang wanita bernama Erin Gruwell (Hilary Swank) untuk pertama kalinya bekerja sebagai guru di Wilson High School, Long Beach, California. Sebagai wanita yang percaya diri dan ceria, Erin berusaha menjadi guru yang baik. Pada saat itu, tahun 1992 sedang marak-maraknya rasisme. Pembunuhan terjadi di mana-mana. Setiap orang berkumpul sesuai ras masing-masing untuk melindungi satu sama lain dan juga menghindari etnis lain yang mengancam nyawa mereka.
Erin Gruwell terpilih menjadi guru Bahasa Inggris di kelas anak-anak “bawah”, anak-anak pengacau yang rasis. Anak-anak yang mempunyai latar belakang kelam dan kejam. Tak ada kata akur dalam kelas tersebut. Mereka saling mencemooh satu sama lain, bahkan berkelahi. Melihat pertengkaran muridnya, semula Erin ketakutan. Namun, semakin mengenal mereka, Erin justru jadi ingin menyatukan mereka. Apalagi dia didukung oleh suaminya, Erin pun bertambah semangat.
Awalnya Erin mencoba membuka obrolan tentang kelakuan para muridnya selama ini dan membujuk mereka bicara. Mereka mengungkapkan alasan kebencian terhadap Erin yang berkulit putih adalah karena orang-orang kulit putih kerap melakukan hal semaunya, seperti mengadili orang berkulit lain—terutama orang-orang berkulit hitam—tanpa pandang bulu. Tetapi, Erin menjawab muridnya dengan kisah-kisah kehidupan orang lain yang jauh lebih menderita dari mereka dan efek negatif yang ditimbulkan dari kelakuan gangster yang mereka ikuti. Erin juga berusaha untuk membuat nilai anak-anak yang dia ajar lebih baik walaupun sekolah tidak mendukung. Wanita itu berjuang sendirian dalam mencari biaya untuk meningkatkan kualitas muridnya.
Akhirnya, Erin menemukan suatu cara agar dia dan siswanya lebih mengenal satu sama lain. Perjuangan Erin tidak mudah, dia harus menerima cacian demi cacian dari murid dan rekan guru, sementara dukungan dari suaminya lambat laun menghilang. Meski demikian, Erin menerima semua itu dengan lapang dada dan tetap meneruskan tekad untuk menyatukan murid-murid kesayangannya.
Salah satu murid yang paling membenci Erin adalah Eva Benitez (April L. Hernandez). Usaha tak henti Erin kemudian berhasil membuat Eva berbalik menyukainya. Karena Erin, gadis itu menjadi terbuka wawasannya saat mengambil keputusan. Lalu, satu per satu murid Erin menceritakan kisahnya: kehidupan mereka yang dipenuhi diskriminasi, setiap langkah penuh ancaman kematian dari orang yang berbeda kulit hingga menyaksikan keluarga dan teman-teman yang mereka sayangi terbunuh di depan mata.
Murid-murid yang setiap hari berlaku kasar dan bersekolah karena terpaksa, perlahan-lahan semangat kembali. Mereka berusaha belajar karena dorongan guru Bahasa Inggris mereka, Erin Gruwell.
Rasisme adalah gagasan yang menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku, sikap-sikap kelompok, dan ciri-ciri fisiknya (Williams, 1990). Di Indonesia, rasisme masih menjamur dalam berbagai kalangan. Ambil contoh, banyak sekali tayangan di televisi yang memuat lelucon para komedian yang dengan santainya merendahkan seseorang. Kejadian rasisme yang paling parah dan tidak berperikemanusiaan, seperti Perang Sampit antara suku Dayak dan suku Madura juga terjadi. Pada pertikaian ini, suku Dayak tak segan-segan memenggal dan memamerkan kepala-kepala manusia etnis Madura yang mereka bunuh. Motif di baliknya dapat dikatakan sebagai perang balas dendam dari suku Dayak terhadap perilaku suku Madura yang semena-mena. Padahal, suku Madura hanya pendatang di tanah Kalimantan. Meskipun Indonesia sudah memiliki peraturan yang dapat menjerat pelaku rasisme di dunia maya maupun nyata, berupa Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, terutama pada pasal 16 dan didukung dengan pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), nyatanya diskriminasi serta rasisme masih sangat sering terjadi.
Begitu juga yang digambarkan oleh film The Freedom Writer, di mana orang-orang saling membenci, mencaci, bahkan membunuh satu sama lain demi membalaskan dendam dan luka di hati. Film ini memaparkan bahwa setiap manusia ingin didengarkan, ingin berteman, dan ingin bahagia. The Freedom Writer berhasil menggugah penonton, secara jelas menyampaikan penolakan terhadap rasisme maupun diskriminasi dengan cara yang cukup brilian.