Sempitnya Kegiatan Islam Kami

Demi menjaga mahasiswa terus berada pada koridor ajaran dan nilai-nilai Islam, Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII), membentuk kelompok-kelompok studi yang dikenal dengan istilah ta’lim. Tujuannya untuk menjalankan misi keagamaannya. 

Misi yang mulia itu kemudian menjadi salah satu rangkaian kegiatan bagi mahasiswa. Bahkan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika hendak melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). 

Diwajibkannya kegiatan ta’lim menjadi ciri tersendiri yang dimiliki oleh UII yang diterapkan kepada setiap mahasiswa. Beragamnya latar belakang pendidikan mahasiswa UII menjadi salah satu pertimbangan penting untuk kegiatan ini. 

Harus dipahami bahwa mahasiswa UII tidak semuanya berangkat dari pondok pesantren ataupun sekolah-sekolah yang berbasis Islam. Di antara mereka ada yang dari SMA dan juga SMK yang notabene bukan merupakan sekolah berbasis pada pengetahuan ajaran agama Islam. Dengan hadirnya ta’lim ini diharapkan akan diperoleh keserasian dari beragam latar belakang tersebut dengan berpengetahuan dasar mengenai Islam itu sendiri.

Secara umum, kegiatan ta’lim, PNDI dan pesantrenisasi memang sepatutnya memperoleh apresiasi dan disambut baik oleh mahasiswa. Namun ada beberapa hal yang perlu kembali diingat bahwa setiap kegiatan tidak selamanya akan berjalan dengan lancar. 

Oleh karena itu, harus ada evaluasi untuk selalu memperbaiki kegiatan ini agar lebih baik lagi. Jangan sampai kegiatan tambahan dari kampus yang bersifat wajib ini kemudian tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang menjadi basis keilmuan dalam ta’lim ini.

Kegiatan ta’lim ini dilakoni selama empat semester. Tapi tidak ada makna dari kegiatan yang kami ikuti ini selain hanya untuk hafalan dalam setiap pertemuannya. Dari kegiatan itu kemudian muncul pertanyaan.

Apakah kegiatan beragama dalam Islam hanya dimaknai sesempit menghafal seperti ini? bagaimana kurikulum yang dibangun? Kenapa kegiatan ta’lim ini terasa begitu stagnan? Apakah tidak ada pengembangan ilmu pada setiap periode? Mulai dari semester satu hingga semester empat tidak ada perbedaan materi pengajaran maupun materi pengujiannya.

Berkaitan dengan kegiatan yang saya pikir cukup stagnan ini, timbul pertanyaan. Apakah memang benar bahwa kegiatan ini minim evaluasi? Karena jika ditilik secara jenjang periode, harusnya kegiatan ini dapat membawa mahasiswa kepada sebuah lingkungan ilmu pengetahuan berbasis Islam dan tidak terpusat hanya pada kegiatan ibadah vertikal langsung kepada Tuhan saja. 

Ta’lim ini sebenarnya sudah banyak menjadi topik perbincangan saya dan beberapa kawan saya. Bukan sekadar menyalahkan. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk kepedulian kami terhadap kegiatan kampus yang satu ini. Pun, kalau ta’lim tidak wajib dan tidak menjadi bagian dari syarat administrasi kelulusan KKN, saya yakin tidak akan banyak mahasiswa yang mengikuti ini. Perbincangan kami ini kemudian semakin hari semakin menjadi keresahan tersendiri bagi kami. 

Hal penting yang harus kami sampaikan adalah substansi daripada kegiatan ta’lim itu sendiri. Janganlah kegiatan ta’lim yang sangat berharga ini disia-siakan dan, terbatas hanya pada kegiatan menghafal sepanjang pertemuan saja. Tentu tidak ada yang salah dalam kegiatan menghafal ayat-ayat Alquran. 

Bukankah sebaiknya ada pengelompokan materi untuk setiap jenjangnya. Kalau hal ini terus berlanjut, maka sampai kapan pun kita tidak akan mampu untuk merealisasikan kegiatan beragama kita dengan baik di masyarakat. Harusnya kegiatan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membicarakan masalah-masalah lingkungan, sosial, budaya dan sebagainya melalui pengkajian perspektif Islam itu sendiri. 

Kami pikir hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak penyelenggara. Kalau pun masih bertahan pada tradisi lama, seperti menghafal juz 30, doa-doa dan cara bersuci. Bukankah yang demikian itu kemudian dapat dikombinasikan?

Kami sangat menyayangkan kegiatan ta’lim yang selama ini berjalan sekadar sebagai formalitas kegiatan keagamaan belaka. Kegiatan ini harus dimaksimalkan untuk berbicara masalah kehidupan sehari-hari dan bukan sekadar ibadah yang sifatnya individual. 

Islam bukan sekadar agama peribadatan, menyembunyikan diri untuk bercinta dengan Tuhan di sepertiga malam, tapi Islam juga mengajarkan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan kehidupan, sebagai rahmatan lil alamin.

Iqro (pembaca situasi, kondisi sosial masyarakat), agama yang harus mengentaskan kemiskinan dan untuk menciptakan kesejahteraan bagi penganutnya dan juga orang-orang di sekelilingnya karena memang Islam itu sejuk dan tidak kaku. 

Bagaimana kemudian Islam akan diselaraskan dan sesuai dengan perkembangan waktu dan di mana pun ia berada, ketika ia sendiri enggan untuk berbaur dengan kondisi budaya masyarakat penganutnya. Bagaimana akan diintegrasikan jika terlalu sibuk mengurusi kegiatan rohani semata. 

Kami setuju bahwa kegiatan rohani memang baik, tapi bukankah kita dituntut untuk menyeimbangkan antara kegiatan duniawi dan kegiatan rohani? Kita akan kembali teringat pada sebuah revolusi besar dunia yang membawa kedamain bagi siapa pun di sekitarnya. 

Bukan Revolusi Prancis, bukan revolusi industri apalagi Revolusi Bolshevik. Tapi revolusi umat Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW. 

Bahkan sang pembawa ajaran pun tidak hanya berpatok pada kegiatan ibadah yang bersifat kerohanian semata, ia juga mengatur masalah lingkungan hidup dengan membaca situasi sosial masyarakatnya, hingga bagaimana kemudian ia berbuat baik kepada sesama manusia baik muslim maupun non-muslim di Madina. Piagam Madina menjadi legalitasnya. Piagam yang tentu saja berpatok pada sandaran ajaran ajaran Islam.

Jadi, dengan banyak berbicara kehidupan sosial, ketika memang ini akan dipertimbangkan untuk diberlakukan dalam kegiatan ta’lim, tidak akan mengurangi asas keislaman, malah justru di sinilah akan dibumikan ajaran-ajaran Islam agar dapat disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya penganutnya. Ini yang kami sampaikan sebagai pembuka kritik. 

Jika memang dibutuhkan, kami akan berusaha memperinci pokok permasalahan yang kami ajukan. Karena kami mengapresiasi kegiatan mulia ini. Kami juga menghendaki perbaikan atas kegiatan yang ada di dalamnya agar lebih substansial dan tidak stagnan lagi. 

Masa, kegiatan yang dijalankan selama empat semester, isinya itu-itu saja; hanya datang, kumpul, setor hafalan dan belajar menulis. 

Kami pikir, kegiatan seperti ini, tanpa difasilitasi dari kampus pun tetap dapat dilakukan mahasiswa. Serahkan saja prodi untuk memberikan tugas pada mahasiswanya setiap bulan untuk setoran. Bukankah itu lebih efektif daripada menggaji mualim dan menghabiskan beberapa juta rupiah setiap semesternya.

Ketika ia dikembangkan pada tahapan diskusi mengenai problem-problem sosial yang berkembang, malah ini menjadi hal penting, di mana setiap mahasiswa dapat terasah untuk berpikir analitis, dan juga solutif dalam menanggapi permasalahan sosial, lingkungan yang ada. 

Tentu ini bukan satu-satunya dan tidak harus. Karena masih banyak hal lain yang dapat dikembangkan untuk mengisi kegiatan sebagus ini. Ta’lim ini sangat potensial sebagai ladang dakwah dengan sifatnya yang wajib sehingga dapat mengorganisir mahasiswa, bahkan mahasiswa rebahan (apatis) sekalipun akan bangkit karena sifatnya yang memaksa.

Sekian, terima kasih.

MAHASISWA, DAN MEWAKILI MAHASISWA YANG TERWAKILI.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content