Teknologi Antar-Jaringan sebagai Pembentuk Identitas Manusia di Era Digital

Teknologi antar-jaringan telah membuat perubahan besar-besaran di berbagai lini kehidupan, tak ketinggalan dalam urusan pembentukan identitas. Identitas generasi modern seperti saat ini cenderung dibentuk oleh media sosial daripada faktor-faktor yang lain. 

Hal ini disebabkan oleh jalinan komunikasi era kini didominasi oleh komunikasi via media sosial daripada komunikasi tatap muka secara langsung. Tak heran, era digital seperti saat ini seringkali dilabeli dengan ungkapan ‘menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh’.

Bagaimana tidak menjauhkan yang dekat, jika setiap individu yang sedang nongkrong bersama di sebuah kafe maupun warung kopi lebih asyik tersenyum dan menjerit pada layar telepon pintarnya daripada berbincang akrab dengan teman-teman di sebelahnya ̶ yang mirisnya juga sibuk dengan telepon pintarnya ̶ . 

Bagaimana tidak mendekatkan yang jauh, jika urusan jarak dan waktu tak lagi menjadi kendala kala sesuatu yang bernama video call itu mulai menjadi kebutuhan yang paling utama. Seberapa jauh jarak, muka pun masih bisa dilihat dan seberapa berbeda waktu yang terpaut, suara pun masih bisa didengar.

Tak hanya berhasil menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, teknologi berbasis dalam jaringan juga telah menjelma menjadi guide bagi penggunanya dalam menyediakan ilmu pengetahuan yang pada kenyataannya ̶ mau disadari atau tidak ̶ telah melemahkan ide dan menjauhkan seseorang dari realitas di dunia nyata. 

Kenyataan ini dapat diamati lewat fenomena seseorang lebih betah berjam-jam di hadapan telepon pintar daripada bermain dengan sesama di dunia nyata, daripada mengobrol santai dengan teman-temannya di depan rumah, bahkan daripada sekadar menjawab pertanyaan dari ibunya. 

Di daerah Surabaya (tempat penulis berdomisili), warung kopi dengan fasilitas free wifi lebih diminati daripada ruang makan keluarga. Telepon pintar lebih menggoda daripada oseng-oseng kangkung ibunya.

Ditambah lagi jika seseorang telah berhadapan dengan media sosial, maka ia menjadi enggan ketinggalan informasi paling terbaru di jagad media sosial. Tanpa disadari, keadaan seperti ini telah menuntut seseorang untuk selalu menunjukkan dirinya kepada pengguna media sosial yang lain bahwa dirinya tetap eksis. 

Hal ini sesuai dengan pernyataan Goonewardena, dkk (2008) dalam Space, Difference, Everyday Life bahwa ruang sosial harus bisa dirasakan (perceived), dipahami (conceived), dan dihidupi (lived) secara bersamaan dalam hubungannya dengan realitas sosial.

Ruang sosial yang harus dirasakan, dipahami, dan dihidupi tersebut akan menciptakan sebuah realitas baru yang lazim disebut dengan identitas. Identitas dalam ruang sosial ‘baru’ ini diperoleh lewat segala aktivitas kegiatan di dalam media sosial yang menunjukkan bahwa penggunanya eksis. 

Sebut saja ketika seorang pengguna media sosial ingin diidentifikasi sebagai pemotret yang andal, maka ia akan mengunggah jepretan foto-foto yang dianggapnya paling bagus agar jaringan teman di ruang sosial ‘baru’ tersebut mengakuinya.  

Identitas inilah yang sedang diburu oleh sebagian besar manusia yang memang pada dasarnya kurang atau justru tidak eksis di dunia nyata. Kebutuhan untuk diakui di dunia nyata yang tidak terpenuhi, diluapkan ke dalam ruang sosial ‘baru’ ̶ dibaca media sosial ̶ yang diakui oleh komunitasnya di ruang sosial ‘baru’ tersebut.

Turkle (1995) dalam Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet mengemukakan bahwa alasan di balik ketertarikan seseorang dengan dunia virtual ̶ dunia maya atau media sosial ̶ adalah karena dunia virtual menawarkan suatu hal yang berbeda, identitas kelompok yang cenderung lebih bebas, lebih fleksibel, lebih cair, tidak terdesentralisasi, serta menjanjikan proses yang berkelanjutan. 

Oleh sebab itu, manusia di dalam dunia maya merasa bahwa imajinasi mereka yang selama ini tidak dapat tersalurkan karena beberapa hal, kini dapat tersalurkan dengan sempurna di dunia maya. Gambaran ihwal ide; gagasan; dan sebagainya yang selama ini hanya mengendap tak berdaya di dalam otak, kini mampu disampaikan sekaligus ditampilkan lewat avatar pilihannya sendiri di dunia cyberspace.

Masyarakat Indonesia sendiri telah ‘dicap’ sebagai satu di antara pengguna teknologi daring terbanyak di dunia menurut mantan CEO Twitter, Dick Costolo. Dilansir dari jatengprov.go.id, Costolo juga menambahkan bahwa keberadaan Twitter membuat masyarakat Indonesia saling memberikan informasi. 

Fenomena ini ̶ mau tidak mau ̶ memaksa kemunculan pergeseran budaya. Informasi yang seharusnya privat, kini telah menjadi konsumsi rakyat. Pola komunikasi yang dulunya dimulai dari mulut lalu diterima lewat telinga, kini telah berubah menjadi dari ketikan jari lalu diterima mata lewat sebuah pesan yang dibaca. Tingkat kebutuhan yang dulunya cenderung ditentukan oleh dompet dan sejenisnya, kini telah berubah menjadi telepon pintar atau smartphone dengan segala ‘kemaha-tahuannya’.

Pergeseran budaya semacam ini, pada akhirnya akan menentukan identitas seseorang. Jati diri manusia akan dibentuk oleh media sosial, bukan atas dasar kesadaran atau keinginan dirinya sendiri. Hal ini biasanya tanpa disadari, sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial adalah kepanjangan baru dari pikiran manusia.

Hal yang perlu diwaspadai dari peran media sosial dalam membentuk identitas seseorang adalah jebakan dalam identitas palsu gegara media baru. Hal ini disebabkan oleh hiper-realitas yang dialami oleh seseorang karena terjebak dalam dunia maya (media sosial). 

Akibatnya, seseorang menjadi lupa terhadap realitas hidup yang sebenarnya. Misalnya saja ketika seseorang ‘terjebak’ dengan lifestyle salah satu artis idolanya, maka segala hal yang berkaitan dengan artis idolanya tersebut akan ditiru semirip-miripnya. 

Hal yang terjadi selanjutnya adalah ia akan kehilangan identitasnya sendiri karena berusaha meniru identitas orang lain dan sialnya lagi, seseorang tersebut tak ada mirip-miripnya sama sekali dengan sang artis idola. 

Bahkan Lubis (2014) dalam Postmodernisme: Teori dan Metode mengungkapkan bahwa di era saat ini telah muncul jurang perbedaan yang sangat dalam antara dunia nyata dan dunia maya. Para manusia telah menciptakan citraan-citraan palsu melalui tiruan terhadap seseorang tertentu.

Selain faktor media sosial itu sendiri, faktor network society di dalam media sosial juga memiliki peran penting dalam pembentukan identitas seseorang. Castells (2004) dalam The Network Society a Cross Cultural Perspective menyebutkan bahwa the power of identity adalah sumber makna di dalam pikiran manusia. 

Artinya, di dalam identitas yang berbeda akan terdapat pemaknaan yang berbeda pula terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, identitas juga berperan penting dalam mendeskripsikan tingkah laku manusia. 

Dalam kaitannya dengan keanggotaan seseorang di dalam komunitas berbasis dalam jaringan (media sosial), komunitas memiliki andil yang besar dalam pembentukan identitas seseorang.  Seperti yang telah diungkapkan oleh Castells, bahwa pemaknaan (meaning) dipengaruhi oleh institusi-institusi yang paling dominan di dalam kehidupan seseorang.

Gagasan ini akan mudah dipahami lewat fenomena pembuatan grup/kelompok/komunitas di dalam media sosial yang pada akhirnya mengajak seluruh anggotanya untuk melaksanakan visi dan misi dari pembentukan grup/kelompok/komunitas tersebut yang telah disepakati bersama. 

Komunitas menulis ̶ secara sadar atau tidak/sedikit atau banyak ̶ akan membuat anggotanya termotivasi untuk menulis. Sebagaimana komunitas jual-beli online, kelompok peduli lingkungan, dan grup-grup lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan dan keikutsertaan seseorang dalam komunitas virtual akan menentukan keberlangsungan identitas seseorang.

Pada akhirnya, media sosial bukan hanya sebagai permainan atau pengisi waktu luang semata, tetapi juga memiliki peran sentral dalam membentuk identitas manusia.

Skip to content