Cerita Pencari Dana

Keramaian belum mendominasi kala kami sampai di Pasar Pakem pagi itu. Hanya segelintir pembeli yang berkeliling, meskipun para pedagang telah siap dengan jualan masing-masing. 

Kami memarkirkan motor sebelum menurunkan plastik-plastik berisi dagangan. Meletakkannya di pinggir jalan, dekat trotoar. Syifa, kawan sekelas saya di kampus, menggelar tikar di tempat yang ditunjuk Sari, teman saya yang lain.

Mereka sibuk membongkar plastik. Mengeluarkan isinya. Ada tumpukan pakaian, kerudung, jilbab, dan beberapa pasang sepatu serta tas. Semua disusun rapi di atas tikar. Sekilas pandang, tak tampak bahwa yang mereka jual adalah barang bekas sebab kondisi barang-barang tersebut masih baik. 

Malah ada yang terlihat baru. Syifa melemparkan cengiran saat saya berceletuk begitu. “Iya dong, Ra. Kan, udah kita sortir barang-barangnya. Yang udah nggak layak, pasti nggak dijual.”

Hampir setiap akhir minggu mereka berjualan di Pasar Pakem. Tergantung jumlah barang bekas yang akan dijual sudah memadai atau belum. Mereka berjualan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi mencari dana kepanitiaan acara malam keakraban mahasiswa jurusan kami. 

Barang-barang itu dikumpulkan dari sumbangan sukarela panitia ataupun anak-anak lain yang bersedia. Pengumuman penerimaan sumbangan barang bekas kerap disebar melalui media sosial panitia.

Menjelang pukul 6 pagi, suasana pasar mulai ramai. Kawan-kawan saya disibukkan pembeli. Tawar-menawar harga dan pertanyaan mengenai kondisi barang mewarnai lapak. Terkadang pembeli memberikan penawaran harga yang tak masuk akal. Pakaian yang dipatok seharga 15 ribu atau 20 ribu rupiah diminta jadi 1.000-3.000 rupiah saja. Saya bisa melihat ekspresi teman-teman yang jadi sedikit kesal karenanya.

“Nyakitin banget. Kalau mau nawar jangan segitunya juga, lah.”

Barang jualan perlahan semakin berkurang. Orang-orang datang silih berganti, entah akhirnya membeli atau hanya sampai pada tahap menawar. Seorang wanita berpenampilan sederhana menghampiri lapak kami. Usianya mungkin 50-an. Ia berjongkok dan memilah-milah sejenak, kemudian mengangkat sebuah gamis biru bermotif bunga. “Berapa ini, Mbak?”

Sari menoleh, menghentikan apapun yang dia lakukan sebelumnya untuk menjawab, “Itu 35, Bu.” Kondisi gamis tersebut masih sangat bagus, saya merasa harga yang diajukan Sari terlalu murah. Namun, tampaknya sang (calon) pembeli tidak sependapat dengan saya.

“Ah. Nggak ada uang aku, Mbak. Boleh ya, jadi 5 ribu?”

Koordinator divisi dana usaha makrab itu menghela napas. “Nggak bisa, Bu. Paling mentok turunnya jadi 25,” ujar Sari mencoba tersenyum. Saya meringis sambil menepuk-nepuk pundaknya.

“Aku punyanya ini.” 

Selembar uang 5 ribu diletakkan wanita tersebut bersama dengan kresek hitam yang kami tidak tahu berisi apa. Sebelum teman saya sempat membalas perkataannya, ibu-ibu itu sudah berlalu dari hadapan kami, menghilang di balik kerumunan orang. 

Membawa serta gamis biru bermotif bunga. Teman-teman saya langsung panik. Mendadak ribut, berteriak memanggil wanita tadi agar kembali. Sementara Sari cuma bisa terbengong, jemarinya bergerak membuka kresek hitam.

Saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana, tapi sebagian diri saya ingin sekali tertawa geli tatkala mendapati bahwa isi kresek yang diberikan wanita tadi adalah … gorengan.

***

Kami memutuskan pulang usai sinar matahari kian terik di kulit. Barang dagangan yang belum laku di hari itu, disimpan untuk dijual lagi kemudian hari. Kami lalu menaiki motor, berboncengan, menuju kos seorang teman. Namanya Asta, Indekos Puri Pelangi, begitulah tulisan pada plang di depan bangunan bercat kelabu tersebut. 

Kami masuk ke dalamnya tanpa mengetuk. Sudah jadi kebiasaan di kos ini untuk langsung masuk ke dalam saja jika hendak bertamu, tapi hal ini pastinya tidak berlaku untuk tamu pria.

Begitu membuka pintu depan, kami langsung disambut aroma adonan kue. Asta dan tiga teman lain menyapa kami yang baru datang, menyampaikan bahwa ia sudah hampir selesai memasak. Syifa dan Sari bergegas meletakkan barang-barang sisa dagangan agar bisa lekas membantu. Asta sendiri sedang meniriskan sesuatu.

“Ini churros, Ra.”

Churros, penganan ringan dengan wujud panjang dan ujung berbentuk bintang, tersaji di piring. Akhir-akhir ini kue asal Spanyol itu memang terkenal, wajar bila divisi dana usaha memutuskan berjualan churros.

Galuh mengemas coklat leleh ke dalam plastik minuman kecil. Setelahnya, ia memasukkan empat buah churros ke dalam wadah plastik dan menggesernya ke samping. Syifa yang sudah berada di sebelah Galuh, bertugas memberikan taburan gula halus di atas churros hangat dan merekatkan wadah dengan stapler. Mereka bekerja secara sistematis, meskipun selalu diselingi obrolan-obrolan maupun gosip terkini.

Sari kini sibuk dengan ponselnya. Ketika ditanya, ia mengangkat wajah dari layar ponsel. Tersenyum. “Lagi promosiin churros ke anak-anak angkatan, nih. Posting ke semua media sosialku biar banyak yang liat.”

Biasanya selesai berjualan di Pasar Pakem, mereka memang akan memasak. Tentu saja kalau sempat, kalau sedang tidak banyak tugas. Menu masakannya menyesuaikan hasil voting yang dilakukan. 

Minggu lalu mereka membuat donat kentang, pernah juga gehu atau risoles mayones. Keseluruhannya dibuat sendiri, bukan membeli jadi. Metode berjualannya tidak dijajakan, tetapi menunggu hingga ada order dari pembeli. Makanya tadi Sari sibuk dengan ponsel.

Jika ada order datang, salah satu anak akan langsung bersiap mengantar. Jasa pelayanan mengantar ini gratis, tidak ada nominal yang ditambahkan diam-diam dalam harga penganan. Hari masih menunjukkan pukul 11 ketika order mulai berdatangan.

***

KETIKA kali lain saya berkumpul dengan mereka, orang-orang yang menggawangi divisi dana usaha makrab jurusan, saya kembali diperdengarkan cerita-cerita seputar usaha pendanaan yang mereka lakukan. 

Walaupun sudah tahu dan bahkan menyaksikannya sendiri, saya tetap tertarik menimpali. Penghujung tahun tinggal dua jam lagi sewaktu mereka saling bernostalgia suka duka yang dilalui.

“Inget, nggak, dulu kita pernah jualan donat terus nggak laku karena keras? Padahal udah bikin banyak,” Asta mengujar sambil mengulum senyum.

“Iya, udah repot-repot masak. Koordinator kita sampe pusing ngitung kerugian, hahaha.”

Itu celotehan Syifa.

“Belum lagi semisal ada yang minta anter dan nggak sabaran. Wah … bete, udah. Dipikir nyari letak kosnya gampang apa, ya.”

“Bener! Emangnya kita abang-abang delivery service yang udah biasa nganter-nganter? Haha.”

Kepanitiaan makrab berakhir di tanggal 27 Desember. Divisi dana usaha berhasil mencapai target yang ditetapkan, yakni 15 juta. Kelegaan yang dibalut tawa memenuhi mimik wajah mereka. Terkadang saya merasa ada pula secuil rasa rindu—di wajah maupun dalam nada suara—yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. 

Saya hampir melontarkan tanya, “Kalian kangen saat-saat itu?”, tetapi saya urungkan karena satu per satu dari mereka terlihat bangkit, seiring letupan kembang api memeriahkan langit.

“Yuk, ke sana. Kembang apinya lebih kelihatan daripada di sini!”

Asta beranjak menuruni undakan gazebo restoran tempat kami duduk, tangannya sibuk memperbaiki kemeja yang ia kenakan. Saya hanya menatap teman-teman lain yang menyambut ajakan Asta, tidak turut berdiri. Toh, saya sudah melihat kembang api di sepanjang hidup saya. 

Pesonanya sama saja dengan yang lalu. Mendengarkan kisah mereka jauh lebih menyenangkan bagi saya. Sehingga saat kisahnya selesai, saya jadi lebih ingin tidur daripada menyaksikan malam yang riuh. Maka, saya pun berbaring seraya menyahut, “Aku di sini aja ya, guys!”

***

Skip to content