Universitas Islam Indonesia Dalam Puing-Puing Sejarah

Muncul unggahan berita yang dimuat di situs web Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pilar Demokrasi pada Sabtu (19/09). Muatan tersebut berisi tentang kritik terhadap ungkapan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) Febrian Ramadhani. 

“Selamat datang di Universitas Islam Indonesia, kampus perjuangan, kampus hijau, yang kemudian di kampus inilah lahir organisasi terbesar di Indonesia,” ungkap Febrian.

Dalam unggahan tersebut saya tertarik meluruskan fakta-fakta sejarah serta kritik terhadap narasi yang selalu dibangun berulang-ulang pada momen PESTA UII. 

Jika kita menelusuri rekam jejak narasi-narasi yang dibangun saat PESTA UII, hal demikian bukan pertama kali terjadi. Pada PESTA UII 2018 ucapan selamat datang yang terpampang pada videotron,  baliho, dan koreografi Lafran Pane pada momen tersebut menjadi perdebatan dan polemik di kalangan mahasiswa. 

Saat pelantikan DPM UII Tahun 2018 dengan gagahnya ketua DPM UII mengatakan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah tuan rumah di UII. Jelas itu sangat melukai hati mahasiswa yang tidak berproses di HMI. 

Hal tersebut tentu tidak hanya keluar semata-mata tanpa tujuan tertentu. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa narasi kebesaran HMI selalu muncul? Apakah ketika berbicara tentang sejarah UII, hanya HMI yang menjadi kontributor utama dalam berdirinya maupun berkembangnya UII?

Jika kita analisis speech act yang dilakukan oleh Ketua DPM UII, sebenarnya apa tujuan dari narasi tersebut? 

Pertama, mari kita analisis The Power Of Narrative (kekuasaaan narasi) yang artinya siapa yang menguasai narasi maka dia yang akan menang. 

Apabila narasi kebesaran HMI diulang-ulang pada momen PESTA UII dan diterima oleh mahasiswa baru, maka DPM berhasil menguasai narasi. Ketika narasi dikuasai maka HMI sangat diuntungkan dalam proses rekrutmen

Kedua, narasi besar akan berhadapan dengan narasi kecil. Artinya DPM UII mencoba melemahkan organisasi ekstra kampus dengan menempatkan HMI dalam narasi besar, secara otomatis organisasi ekstra lainnya berada dalam narasi kecil. 

Ketiga, Narrative Ethic. Istilah ini digunakan pada narasi yang dibangun oleh pejabat atau pemangku kebijakan dalam hal etika bernarasi. Narasi seorang pejabat publik bisa menjadi suatu fatwa maupun kebijakan. 

DPM sebagai pejabat publik merupakan representasi mahasiswa, maka ucapannya harus merujuk pada kepentingan mahasiswa secara universal, dan tidak boleh menjurus pada golongan tertentu. 

Ketika menelisik sejarah, berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) dibidani oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir. 

Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (2007) mencatat berdirinya STI merupakan buah kehendak bersama untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. 

Bahkan yang lebih harus kita ketahui bersama gagasan pendirian STI dipelopori oleh Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang merupakan sebuah organisasi yang disetujui oleh Jepang dan di dalamnya terdapat organisasi besar, yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Umat Muslim dan Persatuan Umat Islam Indonesia. 

Pada tahun 1945, bentuk tonggak perjuangan untuk didirikannya STI tersebut guna menjawab masalah dalam bidang pendidikan di kala itu. 

Gagasan tersebut ditindaklanjuti menjadi suatu bentuk konkret para tokoh guna merealisasikan berdirinya STI melalui pertemuan pada bulan April 1945. Dihadiri oleh setiap perwakilan dari organisasi besar yaitu PBNU, PP Muhammadiyah, PB POI, PB PUII, Intelektual Muslim, ulama dan Departemen Agama Dai Nippon. 

Dalam pertemuan itu membahas rancangan pendirian STI dan unsur-unsur yang hadir merupakan representatif dari kehendak umat Islam dari berbagai organisasi. Pembauran ini merupakan cerminan tanpa pembedaan golongan atau bahkan ideologi di masing-masing organisasi. 

Jika ditarik garis vertikal maupun horizontal sangat salah besar jika narasi yang disampaikan oleh Febrian Ramadhani Ketua DPM UII memakai istilah kampus hijau karena bukan hanya hijau yang menghiasi UII. Lebih tidak etik lagi narasi tersebut disematkan dalam sambutan kegiatan PESTA UII 2020. 

Hal ini semacam kegagalan pemahaman sejarah oleh ketua DPM UII. UII didirikan bukan untuk golongan tertentu melainkan untuk umat Islam sebagaimana falsafah para tokoh pendiri UII yang lahir dari berbagai latar belakang organisasi. 

Seharusnya nomenklatur seorang pejabat publik yang dipilih oleh mahasiswa sebagai perwakilan mahasiswa, dalam sambutan tersebut cukup membedah sejarah UII saja, bukan condong ke salah satu organisasi ekstra kampus. 

Muatan dalam situs web LPM Pilar Demokrasi saat forum pers yang disampaikan oleh Ketua Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII (LEM UII) Pancar Setiabudi, “Tidak ada yang salah dalam penyampaian tentang HMI, maka itu atas dasar historis HMI merupakan bagian yang tidak bisa dilepas dari UII.” 

Ini juga merupakan bentuk gagal paham sejarah. Jika melibatkan narasi historis, betul HMI berdiri di UII, tetapi bukan sejarah berdirinya UII. 

HMI lahir setelah UII didirikan. Lebih tepat jika narasi tersebut disampaikan dalam pers yang berkaitan dengan pengkaderan HMI. 

Sekalipun HMI memiliki otoritas lebih karena mendeklarasikan menjadi tuan rumah di UII, hal yang melandasi pengakuan tersebut karena pendirian HMI pertama kali di STI yang diinisiatori oleh Lafran Pane. 

Jika hendak berpikir adil, STI lahir atas dorongan dan prakasa berbagai Ormas Islam besar yang notabene memiliki afiliasi terhadap wadah representatif mahasiswa. Jika narasi tersebut tetap dipertahankan dan terus diulang-ulang dalam momen-momen, maka dapat diambil kesimpulan speech act tersebut karena minimnya pemahaman sejarah UII.  

Jika pokok bahasan utama dalam sambutan ketua DPM UII adalah mempopularitaskan HMI tentu ini mencederai eksistensi organisasi ekstra kampus lainya. Lalu apa maksud dari narasi tersebut?

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content