*Naskah “Ia yang Terlupakan” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH No. 01/Thn.XXXIV/2002. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini berbarengan dengan wafatnya Sutan Sjahrir pada hari ini, di tahun 1996. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.
Ada tiga tokoh yang biasa disebut triumvirat – pendiri bangsa ini. Selain Soekarno-Hatta, masih ada Sutan Sjahrir. Namun, sejarahnya telah banyak terlupakan.
Pemuda yang lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang – Bumiputera dari Hoofd, Djaksa Mohammad Rasjad, gelar Maharaja Sutan. Dialah Sutan Sjahrir.
Sjahrir menimba ilmu di Europese Lagere School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan – Sekolah Menengahnya dihabiskan di AMS Bandung. Kemudian, tahun 1929 ia berangkat ke negeri Belanda untuk belajar ilmu hukum di Leiden.
“Namun, ia sekolah tidak sampai lulus karena suara negerinya begitu kuat memanggil jiwanya,” kata P. J. Suwarno, ahli sejarah Universitas Sanata Dharma, kepada Dian Dwi Kurniawati, dari LPM Himmah.
Di Belanda, Sjahrir mempersunting permaisuri, Maria Duchateau – gadis jelita warga Belanda. Walaupun akhirnya harus putus di tengah jalan tanpa memperoleh satu pun keturunan. Tahun 1951 ia ke Kairo dan menikahi Siti Wahjuni Poppy Saleh S.H., putri dr. Saleh Manundiningrat dari Solo. Mereka dianugerahi dua anak, Krya Arsjah dan Siti Rabijah Parvati. Istri kedua inilah yang menemani hingga kematiannya.
Pernikahannya disaksikan Rektor Universitas Al Azhar – orang Mesir yang telah menikahkannya dan secara kebetulan juga orang yang menutup peti mati jenazahnya di Zurich, Swiss – 9 April 1966 pukul 07.31 waktu setempat. Sjahrir wafat karena serangan stroke dan hipertensi. Sakitnya diperparah karena kekecewaannya terhadap bangsa ini – menjadi tahanan politik teman sendiri, rezim presiden Soekarno, dan kekecewaannya terhadap bungkamnya kaum terpelajar terhadap politisasi UUD 1945.
Kembali dan bergerak dalam masa belajar di Belanda, ternyata sangat berpengaruh pada pandangan-pandangan hidupnya. Di negeri inilah ia belajar tentang sosialisme, pernah bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional, bergaul akrab dan seperjuangan dengan Hatta, serta aktif di Perhimpunan Indonesia.
Sebagai putra bangsa, Sjahrir terpanggil untuk membangunkan semangat kehidupan rakyat Indonesia yang tersungkur. Meninggalkan kuliah untuk berjuang demi bangsa, walaupun ia kagum dengan negeri Belanda yang makmur dan tentram itu.
Sesampainya di tanah air, ia langsung terjun ke dunia politik – bersama Hatta mendirikan Partai Nasional Indonesia Pendidikan (PNI-Pendidikan) dan memperjuangkan cita-cita pendidikan ala Barat. Pada 31 Desember 1931 di Yogyakarta, Sjahrir menjadi ketua PNI-Pendidikan, yang merupakan partai kader berdasarkan asas self-help – apabila pemimpinnya ditangkap, partainya tidak mati.
Selain memimpin PNI-Pendidikan (1933-1934), ia juga memimpin Sentral Persatuan Buruh Indonesia (SPBI). Beliau menghendaki tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dari pengaruh kapitalisme dan imperialisme. Gerakan sjahrir membuat Belanda tergopoh-gopoh dan menuduhnya mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang secara langsung membahayakan pijakan kaki kolonialisme Belanda di Indonesia.
Melalui Gouvernement Besluit – 16 November 1934, Sjahrir dan Hatta akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul bersama anggota PNI-Pendidikan yang lain. Tak berhenti di situ saja, tahun 1936 ia diasingkan ke Banda Neira dan baru dibebaskan menjelang pendudukan Jepang pada Maret 1942.
Di zaman pendudukan Jepang (1942-1943), Sjahrir memimpin pergerakan bawah tanah menentang fasisme Jepang bersama para mahasiswa yang tergabung dalam persatuan mahasıswa di Jakarta. Dialah yang menyusun dan memimpin kelompok perlawanan yang beroperasi di seluruh pulau Jawa.
Pada 16 Oktober 1945, Sjahrir tampil sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mempunyai kekuasaan penuh dalam legislatif. Ketika itulah keluar risalah Sjahrir “Perjuangan Kita” yang menegaskan bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan revolusioner, demokratis, dan bukan kaum nasionalis yang telah membiarkan diri mereka digunakan sebagai kaki tangan fasisme kolonial Belanda dan fasisme militer Dai Nippon.
Sjahrir dengan politik diplomasinya mengusahakan Republik Indonesia (RI) agar mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pada 1947, ia menghadiri Inter Relation Asian Conference di New Delhi. Dimana ia menggariskan politik luar negeri Indonesia bebas aktif.
Pasca aksi militer Belanda I, Sjahrir menembus blokade Belanda untuk berangkat ke Luke Success. Di sana ia mewakili bangsa Indonesia membela perjuangan RI di muka mimbar Dewan Keamanan PBB.
Sjahrir mendesak PBB membentuk Komisi Jasa Baik untuk menjadi arbiter antara Belanda dan RI, yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Sjahrir juga menuntut agar pasukan Belanda pada hari itu juga ditarik mundur ke garis demarkasi sesuai Perjanjian Linggarjati.
Usaha Sjahrir tidak sia-sia. Diprakarsai Amerika, Komisi Jasa Baik terbentuk pada tanggal 18 September 1947 – beranggotakan Amerika, Belgia, dan Australia. Ditambah dengan kunjungan keliling dunia mencari dukungan ke berbagai negara sebelum dan sesudah peristiwa itu.
Sosialisme Kerakyatan Sjahrir
Tiga dasawarsa pasca diktum proklamasi dibacakan, Sjahrir memilih garis perjuangan melalui Partai Sosialis (PARSI) yang ia dirikan pada tanggal 20
November 1945, sesuai dengan ideologi politiknya.
“Sjahrir sebenarnya seorang nasionalis. Namun, setelah melalui banyak perjalanan kehidupan dan pengalaman politik, keyakinannya berubah menjadi condong ke sosialis,” kata P. J. Suwarno.
Pada awal Desember 1945, partai ini bergabung dengan PARSI yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan menjelma sebagai Partai Sosialis dengan Sjahrir, selaku ketua umum pertama.
Seperti yang dijelaskan P. J. Suwarno, setelah 18 bulan, timbul perpecahan antara Sjahrir dengan Amir Syarifuddin. Amir condong memihak kubu Soviet, menempuh garis Marxis-Leninis-Stalinis. Sementara, Sjahrir berpendirian bahwa Partai Sosialis harus menempuh garis sosialisme kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif. Sosialisme Sjahrir, seperti yang diakui Romo Mangun bercorak Lokal-Sosialisme di Indonesia.
Gagasan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan membuat perpecahan antara kubu Sjahrir dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertentangan kelas (Struggle of Class) dalam sosialisme modern menurut Sjahrir tidak terlalu penting. Dalam opum magnum-nya Sjahrir membedakan sosialisme dalam dua tahap perkembangan historis, yakni sosialisme tradisional dan modern.
Pertentangan kelas terjadi pada masa sosialisme tradisional abad ke-19 di Eropa. Saat kapitalisme muda melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kaum proletar. Dalam perkembangan historis, pertentangan kelas baginya bukan merupakan fakta historis yang berlaku universal, tetapi hanya berlaku dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
Sosialisme modern lahir sebagai antitesa kapitalisme semu pada Abad ke-20. Sosialisme Indonesia yang dicita-citakan Sjahrir menurut Romo Mangun adalah integrasi sosialisme dan jiwa nasionalisme negarawan yang tinggi.
Sejak saat itu, sosialis pecah, apalagi setelah Musso kembali dari Moskow. Amir semakin dipengaruhi kaum komunis – akhirnya PKI menikam RI dari belakang dengan mengadakan pemberontakan di Madiun, September 1948.
“Namun, beruntung sebelum pemberontakan itu terjadi Sjahrir telah keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) bulan Februari 1948, dengan Djohan Syahruzah, dan Subadio Sastrosatomo,” ungkap P. J. Suwarno.
Usaha Sjahrir dalam mengembangkan cita-cita sosialisme kerakyatannya tidak terbatas dilakukannya di dalam negeri. Di luar negeri, dalam merealisasikan cita-citanya itu, ia menjadi salah satu pendiri Konferensi Sosialis Asia yang dibentuk di Rangoon, Burma. Konferensi Sosialis Asia terdiri dari delapan anggota, yaitu partai-partai sosialis dari Indonesia, Malaya, Burma, Jepang, Pakistan, Israel, dan Libanon.
Pada tahun 1961, PSI dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 16 Januari 1962 pukul 04.00 WIB, Sjahrir ditangkap dan ditahan di Mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Baru pada tanggal 19 Januari 1962 dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru, bersama kawannya yang lain.
Hati Sjahrir benar-benar patah dan hancur. Ia kecewa bukan karena ditangkap, tetapi ia kecewa karena sebagian besar kaum terpelajar Indonesia (1960 ke atas) bungkam atas “pemerkosaan” UUD 1945, bungkam atas
kecurangan-kecurangan politik, dan bungkam atas segala ketidakadilan.
“Hal ini mengakibatkan Indonesia kian terpuruk dan terjerembab kubangan lumpur yang dalam,” keluh Suwarno.
Sjahrir berperan besar dalam mendesak dikumandangkannya proklamasi RI – 17 Agustus 1945. Ketika Jepang hampir kalah dari Sekutu, Jepang memberikan janji akan memerdekakan Hindia Belanda
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tetapi Sjahrir tidak mempercayainya.
Memang, sejak pertama kali Jepang menginjakkan kaki di bumi Indonesia. Sjahrir sudah tidak percaya kepada Jepang yang fasis. Maka saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Saigon, Vietnam – 9 Agustus 1945 – berunding dengan panglima tertinggi Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Terauchi. Sjahrir memprovokasi Hatta dengan mengatakan riwayat Jepang sudah berakhir dan telah tiba waktunya untuk kita membuat situasi se-revolusioner mungkin dan menjaga agar kaum nasionalis tidak pecah.
Setelah menerima berita Nagasaki dan Hirosima dibom Sekutu, Sjahrir semakin yakin Jepang telah kalah dan Indonesia harus merdeka, apapun konsekuensinya.
Teks proklamasi yang ditulis Sjahrir sebanyak 300 kata, berisi tentang pernyataan bahwa rakyat Indonesia tidak mau menjadi inventaris yang diserahkan dari pemerintah kolonial yang satu ke pemerintah kolonial yang lain – petang itu tidak jadi dibacakan.
“Soekarno punya pertimbangan dan pandangan sendiri,” ungkap Pak Warno, panggilan akrab Suwarno. Padahal Lambert Giebels pernah berkata bahwa Soekarno bersalah soal romusha.
Setelah berhasil mendesak kemerdekaan RI, Sjahrir menghilang. Namun, melalui penelusuran sejarah diketahui bahwa dia berkeliling pulau Jawa untuk melihat semangat rakyat, yang oleh Suwarno disebut sebagai “Sebuah semangat setelah ribuan nyawa menjadi tumbal” – khas seorang elite bangsa yang membumi.
Sjahrir adalah tauladan seorang pemuda visioner dan ideologis. Tak heran jika Mochtar Lubis mewajibkan generasi muda membaca biografi Sjahrir, yang ditulis Rudolf Mrazek. Sebab, bangsa ini masih menunggu lahirnya Sjahrir-Sjahrir muda yang visioner, yang memiliki dedikasi besar bagi bangsa dan negara tercinta.
Penulis: HIMMAH/Asriani Pravita Indraswuri dan Dian Dwi Kurniawati
Pengalih Media: HIMMAH/Farah Azizah