Ketika Api Membakar Sekam

*Naskah “Ketika Api Membakar Sekam” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 01/Thn. XXXI/1998 dalam rubrik Laporan Utama di halaman 12-15. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk mengetahui proses berakhirnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.


BAGAIKAN mimpi di siang bolong, akhirnya 21 Mei 1998, pukul 09.10 WIB, sang diktator Soeharto lengser keprabon. Tanda-tanda kejatuhan tampak di depan mata, ketika bapak 6 orang anak yang telah berkuasa selama 32 tahun ini sudah tak mampu lagi menahan bola salju tuntutan rakyat. 

Badai ekonomi yang melanda menjadi momentum sejarah, di mana 200 juta rakyat Indonesia sudah mengalami kesumpekan dan kemuakan yang amat sangat. Tak pelak, gelombang demonstrasi berkecipak keras menghantam karang rezim Orde Baru (Orba). Berdebur-debur rakyat menggemakan tuntutan perubahan yang kian diabaikan oleh rezim Soeharto.

Seluruh negeri, mulai dari tukang becak sampai para penjilat akhirnya menginginkan reformasi, terutama turunnya Soeharto. 

Harga-harga yang mencekik leher ditambah kesumpekan yang sudah menggumpal tak bisa dibendung lagi. Tangan terkepal dan suara lantang merobek langit telah menggetarkan para penguasa Kurawa Orba. Desingan peluru dan tapal kekerasan anjing penjaga pemerintah Orba, tak menyurutkan rakyat untuk terus bergerak. Hanya satu kata: rezim Orba harus tumbang.

Tak terbantah, sejarah akhirnya menorehkan tinta emas. Satu babak cerita usai dipagelarkan, di mana Sang Tiran Suharto jatuh oleh kekuatan rakyat yang datang bagaikan air bah. Kekuasaan yang korup dan menindas, telah lumat ditelan gelombang perlawanan.

Dari Mana Api Berasal?

Menyulut api dalam sekam itu berbahaya. Setidaknya ini menjadi peringatan terhadap apa yang telah dilakukan rezim Orba selama 32 tahun berkuasa. Sejarah telah membuktikan, kekuasaan yang semakin lama bertumpu pada satu orang ini, akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

“Tidak adanya jaminan dan tanda-tanda yang mengarah pada suksesi secara damai merupakan faktor dominan timbulnya berbagai keresahan,” kata Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI. 

Pendapat yang sama disodorkan Dr Amien Rais, pengamat politik UGM. Dalam suatu negara yang membuat situasi tidak menentu, tidak lain adalah para pemimpinnya. “Pepatah Yunani

mengatakan, kalau ada ikan busuk itu pasti lewat kepalanya,” kata Amien bertamsil.

Tak bisa dibantah, penindasan rakyat yang menggumpal menyeruak menyodorkan fakta. Dalam setiap aksi massa, tuntutan turunnya Soeharto beserta penghuni kekuasaan selalu menggema. Tak hanya mahasiswa saja, bahkan sampai penghuni kolong jembatan pun cukup lantang. “Soeharto dalang semua bencana,” bunyi salah satu poster dalam aksi massa itu.

Namun, kekuasaan yang bertumpu pada Presiden Soeharto masih saja memunculkan ketakutan yang luar biasa. Belum puas rasanya dengan empat kedudukan sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, mandataris dan panglima tertinggi angkatan bersenjata – dan enam kekuasaan kekuasaan eksekutif, administratif, legislatif, yudikatif, diplomatik, dan kekuasaan militer, masih ditambah dengan menghidupkan kembali Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/1998. Tap yang berisi pelimpahan wewenang kepada Presiden RI ini, bisa jadi suatu pengabsahan tindakan presiden atas nama pembangunan.

“Tak adanya pembatasan secara tegas, inilah kelemahannya,” kata Harun Alrasyid seperti dikutip dari Majalah Forum Keadilan.

Akar persoalan inilah yang menjadi penyebabnya. Dengan kekuasaan yang demikian besar ini, cenderung menjurus pada upaya menjadikan diri Presiden Soeharto sebagai presiden seumur hidup. “Kultus individu ini lebih berbahaya karena menjadikan manusia di atas Tuhan,” kata Amien Rais.

Namun tak hanya pemimpinnya saja yang harus dilumat, tapi sistem yang mengungkungnya pun harus diganti. “Sistem yang dimainkan Orba ini sudah sangat buruk,” tegas Amien. Alasannya, selama ini tidak ada mekanisme yang mengawasi penyelewengan yang terjadi.

Lembaga perwakilan rakyat yang bertugas mengontrol jalannya pemerintahan, sekarang ini sudah tak bergigi lagi. Masih tampak di hadapan mata, bagaimana Sidang Umum MPR yang menelan dana 45 miliar ini, hanyalah paduan suara tanpa makna. Begitu pula susunan kabinet pembangunan VII, ibarat memilih kucing dalam karung. Penempatan orang-orang yang tak profesional ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat. Isu nepotisme pun menyeruak, menyambut masuknya Tutut, si puteri sulung, dalam jajaran kabinet tersebut.

“Rakyat sudah sulit percaya karena timing-nya sudah agak terlambat. Sudah 32 tahun rakyat dikhianati,” kata Amien.

Menurut Megawati, sumber dari kegagalan pembangunan politik ini pada dasarnya disebabkan oleh dipertahankannya arogansi dan hegemoni kekuasaan. “Seakan kita hidup dalam suatu negara berdasar kekuasaan yang jauh dari harapan hidup di sebuah negara berdasarkan hukum,” tegas Megawati.

Pemilu yang merupakan pesta demokrasi ini telah dinodai tingkah laku penguasa yang tetap ingin mempertahankan status quo. Pemilu 1997 menjadi gambaran yang amat jelas, bagaimana kekuasaan dengan jalan apapun berusaha merekayasa kehidupan demokrasi. Ketika hasil resmi diumumkan tiga minggu kemudian, ternyata perolehan di seluruh provinsi mengalami perubahan secara fantastis. Di Sumatera Utara, perolehan PDI bertambah 62.279 dari hasil final yang diumumkan, sedangkan di Jawa Tengah PDI kehilangan 35.802 suara. 

“Transparansi proses politik sebagai landasan utama demokrasi nyaris tak terlihat,” kata Riswanda, mantan aktivis GMNI ini. “Sehingga Pemilu tidak menjamin ikatan emosi antara rakyat dan para wakilnya,” tambah Riswanda.

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa ketertutupan proses politik selama ini semakin menumbuhkan penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak bisa dibantah, penyakit ini telah melembaga dalam struktur kekuasaan. “Demi status quo, penyakit ini memang sengaja dilestarikan,” tegas Amien Rais.

Pendapat Amien Rais ini diamini pula oleh Drs. Revrisond Baswir, MBA., Direktur Institute Development dan Economic Analisis (IDEA). Tak bisa dipungkiri, pemerintah telah membangun basis pertahanan ekonomi untuk melestarikan kekuasaannya. “Fasilitas dan jabatan strategis hanya diberikan kepada orang-orang yang loyal pada kekuasaan saja, tak peduli rakyat menderita atau tidak,” kata Revrisond, pengamat ekonomi dari UGM, dan pakar perkoperasian ini.

Tak heran penyakit korupsi ini begitu mendarah daging. Salah seorang pengamat masalah ekonomi Indonesia dari Northern University, Amerika Serikat, Jeffrey Winters, pada 30 Juli 1997, menyatakan bahwa sepertiga pinjaman Bank Dunia untuk Indonesia bocor ke dalam birokrasi pemerintahan dan hilang. Fakta yang diungkapkan pada Forum Internasional Lembaga Swadaya Masyarakat tentang pembangunan Indonesia ini mengabsahkan pendapat Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo. “Kebocoran di sektor dana pembangunan negeri ini, selama Pelita V sekitar 30 persen,” kata Sumitro, Begawan ekonomi Indonesia, tiga tahun lalu.

Antrian sembako. Akibat kesenjangan sosial. Foto: Republika

Kasus yang paling tampak di depan mata, misalnya, pembangunan Bendungan Kedungombo, Jawa Tengah. Proyek yang salah satu dananya berasal dari Bank Dunia ini sejak mulai dikerjakan pada tahun 1985-1986 hingga sekarang masih bermasalah. Terutama, soal kesepakatan ganti rugi proyek senilai Rp 560 miliar ini memang sangat menindas rakyat.

Bisa jadi, tingkat korupsi ini hanya omong-kosong saja, kalau tak ada bukti yang kuat. Tapi ini lain soal, karena hasil survei Transparancy International – sebuah lembaga swadaya masyarakat berpusat di Berlin, Jerman, yang dipimpin oleh Peter Eigen, seorang pejabat Bank Dunia, menempatkan Indonesia di urutan pertama negara yang tingkat korupsinya paling tinggi, dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 1995 dan 1996.

Bahkan, ketika 25,9 juta orang (sumber: BPS) berada di bawah jurang kemiskinan, masih ada beberapa orang yang mempunyai kekayaan berlebihan. Menurut laporan Majalah Forbes, majalah ekonomi terkemuka di Amerika Serikat, edisi 28 Juli 1997, kekayaan Presiden Soeharto mencapai US$ 16 milliar, atau dengan kata lain apabila kurs Rp 10 ribu per dolar, maka senilai 160 triliun. Padahal, hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 140 miliar. Tentu saja, rakyatlah yang akan menanggung beban hutang luar negeri itu.

Potret kehidupan berbangsa dan bernegara seperti inilah yang menjadi penyebab terjadinya krisis. Badai krisis moneter yang menerpa mengamini kebobrokan pemerintahan Orba. Penyakit kronis yang melanda Indonesia ini memang telah dibayar mahal dengan penderitaan rakyat. Bayangkan, akibat krisis moneter ini rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa. Angka pengangguran menurut SPSI, tahun 1998, mencapai 67,7 juta orang dibarengi dengan kenaikan harga sembako yang membumbung tinggi. Tingkat inflasi pun sama saja, semakin tidak terkendali. Hingga bulan April ini, tercatat sebesar 33,09% padahal dalam target adalah hanya sekitar 20% saja. Bahkan, kondisi ini akan semakin diperparah dengan adanya kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Dan tentu saja harga barang kebutuhan lain akan saling bersahutan meminta harga dan tarif penyesuaian.

“From bad to worse, dari keadaan yang sudah buruk bergerak ke keadaan yang lebih parah,” kata Dr Amien Rais, yang juga Ketua Pengurus Pusat Persyarikatan Muhammadiyah.

Keadaan rakyat ini sangat bertolak-belakang dengan sikap pemerintah. Meski penderitaan dan tuntutan rakyat ini terus bergumul, tapi hanya dianggap seujung kuku hitam saja. Watak Orba dengan ciri stabilitas politik dan pembangunan ekonomi inilah yang selalu dipelihara.

“Keserakahan telah merajalela dalam kehidupan para penguasa politik dan ekonomi,” kata Megawati.

Ketika People Power Tiba

Benih-benih perlawanan memang sudah mulai bersemi meski dalam bentuk kekerasan. Tercatat rentetan peristiwa sosial-politik yang terjadi sepanjang tahun 1997, seperti peristiwa Situbondo, Sanggau Ledo, Tasikmalaya, Timika, Ujung Pandang, Medan sampai Tanah Abang.

Belum reda derai air mata menetes, masih ditambah dengan pembantaian mahasiswa dalam aksi menuntut reformasi. Pemerintah masih saja berlaku picik dengan kekuatan senjata membalas tuntutan rakyat dengan berondongan peluru.

Rakyat yang sudah terlanjur muak kembali memecah lamunan pemerintah. Berbagai kota telah berkobar, korban- korban pun berjatuhan.

“Kasus itu sebagai akumulasi aspirasi sosial yang tidak mendapat tanggapan memadai dari penyelenggara sistem politik,” ujar Riswanda.

Padahal, lanjut Riswanda, rangkaian kasus itu terjadi ketika masyarakat makin cerdas, makin paham akan mekanisme politik yang dikehendaki UUD ‘45. “Kecerdasan masyarakat ternyata tidak diikuti dengan pola permainan politik yang cerdas pula,” papar Riswanda.

Kesenjangan komunikasi politik antara pemerintah dengan rakyatnya yang sudah terpelihara sejak lama, telah memunculkan kebekuan politik. Tak ada jalan lain, kata Arbi Sanit, maka harus dibuka dengan jalan people power. “People power bisa mendorong perubahan,” jelas Arbi Sanit beralasan.

Selama ini, berbagai himbauan maupun peringatan kepada pemerintah tak satupun yang didengar. Meski tuntutan reformasi itu kian menggelembung, tapi sistem yang ada tidak memungkinkan adanya perubahan. Sehingga people power menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. “Karena sistemnya tertutup perlu dijebol dengan people power,” kata dosen UI yang berambut gondrong ini.

Apalagi bila para penyelenggara negara tetap saja tidak menunjukkan sense of crisis dan masih menganggap enteng situasi yang sudah parah ini, maka people power semakin menggumpal padat. Aksi “Akhirnya menjadi suatu kenyataan yang sulit dibendung,” kata Amien.

Aksi mahasiswa. Harus masuk keluar kampus dan masuk ke rakyat. Foto: Himmah

Bahkan, Prof Dr Selo Sumardjan, sosiolog UI, memberikan resep bagaimana mendorong people power tersebut. Aksi-aksi mahasiswa ini harus keluar dari kampus dan masuk ke berbagai pelosok menerangkan kepada rakyat perlunya bergerak untuk perubahan. “Sekarang ini orang bicara tentang perlunya people power, ini timing yang baik,” kata Selo Sumardjan.

Jalan menuju people power ini memang tak semulus jalan tol. Tak begitu saja disepakati pemerintah. Alasannya, people power akan memakan korban rakyatnya sendiri. Perubahan, menurut kaca mata penguasa, haruslah berjalan secara konstitusional melalui mekanisme yang ada.

Namun Amien membantah keras bahwa people power mengarah pada kekerasan. Kasus people power di Filipina merupakan contoh yang amat agung. Pergantian rezim ini tidak melalui jalan kekerasan, apalagi sampai meneteskan darah rakyat. “People power itu konstitusional dan bisa dengan cara damai,” tegas Amien.

Upaya ini akan sukses dan krusial untuk mewujudkan people power, lanjut Amien, apabila ada faktor ABRI sebagai the true power holder di Indonesia. Sejarah memang telah membuktikan koalisi tersebut. “Kalau seribu orang rakyat saja maka akan berhadapan dengan ABRI. Tapi kalau satu juta orang, maka ABRI akan di belakang rakyat,” papar Amien.

Bukan aneh lagi kalau ABRI ini tergolong makhluk yang selalu berdiri pada pihak yang akan menang. Sebab, kata Amien, posisi ABRI itu tergantung persepsinya pada tuntutan perubahan atau reformasi yang sudah demikian meluas di seluruh kalangan di Indonesia.

Persoalan ini memang sangat dilematis. Di satu sisi, tumbangnya rezim oleh kekuatan rakyat yang didukung militer pasti akan kembali ke siklus semula. Kelahiran Orba menjadi cermin buram, di mana kekuatan militer akhirnya mendominasi segala sektor kehidupan.

“Koalisi bisa terjadi apabila ada kesepakatan antara mahasiswa atau rakyat dengan militer. Setelah ini langsung dibentuk aturan hukum segera agar tidak terjadi kesalahan lagi,” kata Riswanda.

Angin pun bisa berbalik arah. Suara sumbang terhadap perlawanan rakyat ini terbantah dengan keberhasilan menumbangkan sang tiran Suharto. Tak perlu koalisi ataupun harus berada di ketiak tentara. Mahasiswa bersama rakyat bersatu padu memenuhi jalanan dengan berbagai tuntutan perubahan.

Yang pasti, people power tidak lah memerlukan pendamping untuk melumatkan kekuasaan. Sebab, mengingat tuntutan rakyat semakin menggumpal dan makin bergejolak. Sementara itu pemerintah sendiri, masih terlalu segan mendengar jerit hati rakyat ini. Bahkan membuangnya dalam tong sampah kekuasaan.

“Kalau segala upaya dan jalan secara demokratis untuk melakukan reformasi telah ditempuh namun kenyataannya rakyat semakin menderita, maka people power dapat dilakukan untuk mengganti kepemimpinan nasional,” tegas Amien Rais.

Sejarah pun tertulis dengan tinta emas. People power terbukti telah melumatkan kekuasaan yang tiran. Letusan peluru dan tetesan darah tak membungkam perlawanan mahasiswa, malah justru kebangkitan itu berkibar.

Tak terbantah, sang tiran Suharto bertekuk lutut dalam hangatnya pangkuan rakyat. Ketika api people power membakar sekam kekuasaan, tak ada lagi tempat bagi sang tiran.

Penulis: HIMMAH/Tedy Novan

Pengalih Media: HIMMAH/Nurhayati 

Skip to content