Lintas Sejarah Majalah Kita

*Naskah “Lintas Sejarah Majalah Kita” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH No. 2 Th. XIX/Nopember 1985 halaman 28-29. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini, bertepatan dengan milad Himmah ke-56, untuk melihat kembali sisi historis transisi Majalah Muhibbah ke Majalah Himmah. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.


Sejak awal berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), nama majalah kita adalah MUHIBBAH. Berkala penerbitannya ialah setiap bulan. Dan tahun 1967 adalah tahun perdana penerbitannya. Sedangkan pemrakarsanya yaitu Siswo Wiratmo, Dahlan Mandai, dan kawan-kawannya. Menurut Siswo Wiratmo, yang berpostur pendek itu, motivasi yang mendasari penerbitan antara lain untuk lebih memperkenalkan UII kepada masyarakat dan untuk lebih membantu pelaksanaan risalah UII dalam mencetak muslim yang intelektual.

Kemudian, dalam salah satu laporan yang dimuat pada editorial majalah MUHIBBAH 1977, dalam rangka peringatan ulang tahunnya yang ke-10, dikatakan bahwa tujuan diterbitkannya MUHIBBAH oleh para mahasiswa UII adalah untuk menyuarakan perjuangan mahasiswa UII, melawan kepincangan-kepincangan sosial waktu itu, tahun 1966 (yang) adalah tumbangnya Orde Lama dan naiknya Orde Baru. Karenanya, untuk ikut berpartisipasi dalam melancarkan perjuangan Orde Baru, MUHIBBAH pun bermaksud ikut men-support-nya. Dan, seperti kita maklumi juga, naiknya Orde Baru itu ke permukaan peta politik Indonesia juga mendapatkan dukungan dari berbagai masyarakat, misalnya ABRI dan mahasiswa, termasuk, tentu saja, UII dengan segenap mahasiswanya itu. Jadi, majalah MUHIBBAH diterbitkan untuk membuktikan partisipasinya dalam menegakkan perjuangan Orde Baru.

Ide dasar penerbitan majalah MUHIBBAH, terutama, memang muncul dari para mahasiswa. Rupa-rupanya, keinginan untuk menerbitkan sebuah majalah ini tidak hanya datang dari mahasiswa, tetapi juga dari kubu pimpinan UII sendiri. Ini terbukti dari sambutan Rektor UII waktu itu, Prof. Dr. Sardjito, dalam menghantar terbitnya MUHIBBAH:

“Saya sampaikan pula kepada mahasiswa UII, agar hendaknya membantu para pengasuh majalah MUHIBBAH, sehingga dapat terus menerbitkannya. Di samping itu, janganlah hendaknya ada mahasiswa UII yang ingin merongrong dan menghalangi penerbitan majalah MUHIBBAH.”

Pada mulanya, untuk enam bulan pertama penerbitannya–6 edisi–diberi bantuan pihak universitas secara prodeo. Tetapi, sesudah itu, para pengasuhnya menarik langsung iuran dari para mahasiswa.

Pada awal kelahirannya, MUHIBBAH diterbitkan oleh Badan Penerbit Majalah MUHIBBAH–semacam Dewan Presidium–yang ditangani oleh pihak Universitas. Barulah pada tahun ketiga penerbitan (1969), pengelolaannya diserahkan kepada Dewan Mahasiswa, melalui Departemen Humas. Ini terjadi pada periode kepemimpinan Darwin Harsono (1969-1970).

Siswo Wiratmo. Foto: Himmah

Lalu tahun 1973, Amir Effendi Siregar naik sebagai pemimpin umum. Pada kepemimpinan Amir Effendi inilah, timbul pemikiran untuk melepaskan MUHIBBAH dari Dema (Dewan Mahasiswa). Alasannya, agar ia bisa otonom. Sebab jika masih bergantung kepada Dema, maka kebebasannya, terutama dalam segi keuangannya yang tidak mencukupinya – karena memang dana yang disediakan juga terbatas. Juga dikhawatirkan tersendat-sendatnya kontinuitas penerbit. Padahal sudah dikonsensuskan: MUHIBBAH wajib terbit tiap bulan! Namun wajar belakalah jika kehendak untuk berotonom ini pada mulanya ditampik oleh Dema. Tambahan lagi ‘pejabat-pejabat teras’ di Dema, dari segi tingkatan tahun angkatannya di atas Amir. Nah… ‘kan!

Baru pada babak kedua masa jabatannya (1974), bobol juga ‘gawang’ Dema. Usut punya usut, pejabat-pejabat di Dema sudah bukan lagi kakak-kakak angkatan Amir Effendi–dengan kata lain–justru ‘adik-adik’ kelasnya. Gantian dong! Seorang adik ‘kan musti mengalah dengan kakaknya.

Kemudian, untuk lebih gamblangnya, para pemimpin umum yang pernah memegang MUHIBBAH adalah:

  1. Kurun waktu 1967-1969, diterbitkan oleh Badan Penerbit majalah MUHIBBAH, yaitu R. Dahlan Mandai, B.A., M. Damon Yunus, dan Abdul Haris.
  2. Kurun waktu 1969-1974, diterbitkan oleh Departemen Humas Dema ialah Darwin Harsono, Umu Kusumawardani, A. Halim Ali, dan Amir Effendi Siregar.
  3. Kurun waktu 1974-1982, diterbitkan oleh LPM-UII MUHIBBAH, adalah Amir Effendi Siregar, SUhaimi El Haitamy, Totok Daryanto, Syarief Hans, dan Moh. Mahfud MD.

Waktu mula berdirinya (1967), majalah MUHIBBAH terbit tanpa surat ijin dari Departemen Penerangan, sebab memang waktu itu belum ada keharusan bagi pers khusus–seperti pers mahasiswa–untuk memiliki surat izin terbit.

Kemudian, tahun 1975, keluarlah Peraturan Menteri Penerangan No. 11/1975 berhubungan dengan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/1975 yang mengharuskan agar setiap pers khusus–termasuk pers mahasiswa–mempunyai STT (Surat Tanda Terdaftar). Maka, MUHIBBAH pun mengajukan permohonan STT tersebut agar memenuhi peraturan, alias supaya tidak dicap ‘liar’. Dan syukur saja, tahun 1977 MUHIBBAH berhasil memperolehnya. Nomornya 368/SK/Ditjen/PPg/STT/1977. STT ini menyusul Surat Izin Terbit (SIT) No. 178/ps/516/a/12/japendi DIY, 11 Maret 1976, yang telah didapatkan sebelumnya.

Namun, baru beberapa tahun MUHIBBAH menikmati STT, pada tahun 1978 tertimpa musibah: diberangus Pak Domo–waktu itu Kopkamtib. Ternyata, pembrangusan tidak hanya menimpa MUHIBBAH, tetapi juga Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, Pos Sore, dan Kampus (ITB). Dalih pembredelan: penerbitan-penerbitan dianggap ‘mengguncang’ stabilitas nasional.

Khusus MUHIBBAH, meski dibredel–menurut pemahaman pengurus yang dibredel adalah majalahnya, bukan lembaganya–ia malahan menjalankan ‘gerilya’. Artinya, meski sedang bredel, kita pun menerbitkan semacam koran bulanan. Namanya: DETENTE. Dus (red-jadi), ia terbit tanpa STT. Yah, itulah yang namanya perjuangan!

Alhamdulillah, akhirnya 1979, STT MUHIBBAH dicairkan kembali. Dan, optimis dengan dicairkannya STT tersebut, DETENTE pun dihentikan.

Lagi-lagi, baru beberapa saat kita mengenyam STT, ternyata musibah datang lagi: dibredel tahun 1982. Kalau alasan pembredelan tahun 1978 karena MUHIBBAH mengguncang stabilitas menjelang Sidang Umum MPR 1978, maka dalih pemberangusan 1982 adalah karena MUHIBBAH dianggap telah menjalankan praktek politik praktis. Praktis pula MUHIBBAH pun “ditidurpanjangkan”.

A. Fadlil M.M dan Chairil Anwar. Foto: Ahmad Busyairi

Tetapi, kemudian, berdasarkan rapat pleno LPM-UII, kita sepakat untuk menerbitkan sebuah media atau sebuah majalah baru. Di samping itu, usaha pencairan STT MUHIBBAH untuk yang kedua kalinya tetap dilakukan, meskipun sangat sulit, atau sangat boleh jadi memang sengaja dipersulit oleh pihak penguasa.

Sementara itu, rapat pleno akhirnya berkonsensus menerbitkan sebuah majalah baru lagi. Ini terjadi sekitar April 1983. Mengenai namanya, semula (yang) diusulkan ialah HIKMAH, tapi tidak diterima forum rapat. Alasannya, nama majalah HIKMAH pernah ada di tahun 1950-an. Majalah itu, dulu adalah diterbitkan oleh partai Masyumi, partai Islam yang tidak disukai penguasa, baik dulu maupun sekarang. Meskipun, menurut sejarah yang benar, Masyumi tidaklah ‘dibubarkan’ oleh penguasa, tapi justru ‘membubarkan diri’. Maka, berdasarkan alasan-alasan seperti itulah, akhirnya nama HIKMAH diganti menjadi HIMMAH. Dan untuk diketahui, nama HIMMAH ini sama sekali bukan kependekan dari ‘himpunan mahasiswa’, tetapi ia mengandung makna tekad, kemauan, atau niat.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit pembredelan, pertimbangan-pertimbangan strategi, dan sebagainya, HIMMAH menitikberatkan pada peningkatan kualitas imani dan mentalitas islami, serta menghindarkan diri dari masalah-masalah ‘politik praktis’. Dan, HIMMAH meskipun secara formal berumur tiga tahun berjalan, namun secara essensial ia adalah rentetan sejarah penerbitan atau jurnalistik yang lahir sejak tahun 1967. Juga layak untuk disyukuri, kendati dalam waktu sesingkat itu HIMMAH ajek terbit, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Sedangkan, secara periodesasi, HIMMAH baru menjalani dua dekade kepengurusan. Periode pertama dipimpin oleh Acep Fadlil Munawar Mashur, (antara tahun) 1983-1985; dan dekakde yang sedang berjalan ini (antara tahun) 1985-1986, HIMMAH dikomandani oleh Chairil Anwar.

Pengalih media: HIMMAH/Farah Azizah dan Nurhayati

Skip to content