*Naskah “Meributkan Kenaikan Harga BBM” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH NOMOR 4/TH XVI/JANUARI/1982 dalam rubrik Laporan Utama halaman 14-17. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini bebarengan dengan momentum kenaikan BBM yang diteken pemerintah pada 3 September 2022 lalu. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.
Gara-gara menaikkan harga BBM, satu pemerintahan bisa jatuh. Dan itulah yang menimpa Kabinet PM Kriangsak Chamanand ketika ia (pada 1980) menaikan harga bahan penting itu. Parlemen Muangthai mengajukan mosi tidak percaya dan rontoklah Kriangsak.
Di Indonesia, hal seperti itu tentu tidak akan terjadi. Tapi setidaknya, tindakan pemerintah menaikan harga BBM mulai 4 Januari yang lalu itu sedikit banyak akan ada pengaruh politisnya. Apalagi, “selama ini kita diiming-imingi bahwa pemerintah akan bisa bertahan menghadapi resesi dunia dewasa ini,” kata seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pemerintah nampaknya juga menyadari hal ini. Itulah sebabnya mengapa baru sekarang harga BBM itu dinaikkan. Padahal, “seharusnya pemerintah menaikkannya dua bulan yang lalu,” kata Prof. Mubyarto. Karena, menurut penganjur Ekonomi Pancasila itu, dengan demikian tingkat inflasi akan merata (untuk 1980, 1981, dan 1982) yakni sebesar 16%. “Dengan dinaikkannya harga BBM itu sekarang [4 Januari], tingkat inflasi akan mencapai 30% pada 1982,” tambah guru besar UGM itu.
Agaknya pemerintah juga tahu hal itu, tapi karena pertimbangan-pertimbangan politis–apalagi pemilu makin mendekat–langkah tidak simpatik itu selalu berusaha dihindari. Dan sekarang, seperti diakui sendiri oleh Presiden Suharto, akibat resesi dunia yang buruk ikut melanda Indonesia, pemerintah tak sanggup lagi membendungnya.
Akhirnya, dengan sangat terpaksa, langkah itu diambil juga. Karena kalau harga BBM tidak dinaikkan, menurut Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro, jumlah subsidi pemerintah–untuk bahan bakar BBM–untuk tahun anggaran 1982/1983 akan mencapai Rp2007,2 milyar. Dan itu berarti akan mengganggu kelancaran pembangunan.
Tapi, meski tak bicara soal pengaruh politis, Probosutejo menyesalkan langkah yang diambil pemerintah. Menurut pengusaha raksasa itu, dengan dinaikkannya harga BBM, rakyat banyak yang terkena akibatnya. “Sebaiknya pemerintah mendevaluasikan nilai rupiah,” kata adik Presiden Suharto. Resesi itu misalnya dari sekitar Rp640 seperti sekarang–untuk satu dolar Amerika–menjadi Rp900. Sebab rakyat kecil tidak memerlukan dolar, yang memerlukan hanya pengusaha importir. Namun, tambah Presdir PT Mercu Buana itu, golongan ini pun tidak akan menderita kerugian.
Permadi, SH Ketua YLK juga tak setuju. Menurutnya, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM untuk membiayai pembangunan, sangat bertolak belakang dengan kehidupan rakyat. “Jadi kalau begini itu, pembangunan bukan untuk rakyat, tapi rakyatlah yang dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan.” Selanjutnya Permadi mempertanyakan sampai seberapa jauh kenaikan harga BBM itu bisa bermanfaat untuk membiayai pembangunan. “Dengan menaikkan harga bahan bakar itu,” ujar Permadi, “rakyat kini hidupnya tentu lebih megap-megap lagi.”
Komentar lebih keras datang dari Drs. Suhardi, MSc. Melalui surat pembaca Harian Merdeka, ia bahkan mengungkit lebih dalam. Menurutnya, ia sependapat dengan Harian Merdeka, “soalnya setelah saya amati,” tulis Suhardi, “pekerjaan mereka itu (para menteri-Red) mulai sejak 1966 hingga sekarang tidak lain hanya cari hutang. Lalu kalau dirasa masih kurang, ya menaikkan (harga) BBM, dan kalau masih kurang lagi ya melakukan dengan valuasi rupiah.” Suhardi melanjutkan, “saya rasa kalau hanya kerja cari utangan, orang bunting pun bisa, tidak perlu profesor-profesoran,” tulisnya.
Sedang ketua MPR/DPR Daryatmo mengatakan bisa memahami tindakan pemerintah itu. Frans Seda juga berpendapat senada. Bahkan, menurut bekas Menteri Keuangan itu, “pengurangan subsidi BBM itu adalah upaya yang terpuji.” Dan, “kenaikan harga itu memang perlu,” tambah pengamat ekonomi itu.
Suara di DPR
Di kalangan para wakil rakyat juga keluar pendapat-pendapat yang beragam. Hamzah Haz dari Fraksi PPP misalnya, mengatakan bahwa yang paling berat menerima keputusan-keputusan pemerintah itu adalah rakyat. Terutama yang berpenghasilan tetap seperti pegawai, juga pengusaha-pengusaha lemah seperti kontraktor-kontraktor kecil yang terlanjur menerima pekerjaan dengan perhitungan harga lama.
Hamzah juga menekankan bahwa dengan langkah pengurangan subsidi untuk menopang pembangunan ini, integritas aparatur pemerintah juga hendaknya ditingkatkan. ”Kebocoran-kebocoran yang katanya saat ini berkisar antara 20 sampai 30 persen hendaknya segera dihapuskan,” kata Hamzah. “Jangan sampai kita berusaha menghapuskan subsidi BBM,” lanjutnya, “tapi masih terus membayar subsidi untuk koruptor-koruptor.”
Sedang Nuddin Lubis, ketua Fraksi PPP, menilai langkah yang diambil pemerintah itu “sangat tidak populer”, meskipun didukung oleh alasan yang rasional. “Mestinya pemerintah memilih jalan lain yang lebih meringankan rakyat,” kata Nuddin. “Jangan mengambil jalan yang lebih meringankan beban para pemikir ekonomi kita saja,” tambahnya.
Dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terdengar suara Suryadi. Tapi ia agak berhati-hati. Sekretaris Fraksi PDI ini “cuma” minta perhatian pemerintah agar mampu mengendalikan akibat dari kenaikkan harga BBM itu. Sedang Hardjantho, ketua fraksi, tidak berkomentar apa-apa mengenai hal ini. Orang nomor satu di Fraksi PDI ini malah tertarik dengan pidato presiden–ketika menyampaikan RAPBN 1982/1983–yang menyangkut soal pemilu.
Bagaimana dengan Fraksi Karya Pembangunan? “F-KP sependapat dengan kebijaksanaan pemerintah itu,” kata Sugiarto. Tapi ketua F-KP ini menyarankan agar pemerintah memberikan gaji ketiga belas kepada pegawai negeri. Ia juga mengatakan bahwa fraksinya menginginkan supaya pemerintah lebih tajam menggarap sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari dikuranginya subsidi BBM. “Bagaimanapun juga, yang jelas, F-KP berdiri di belakang pemerintah,” tegas Sugiarto.
Pemilu
Tanpa perlu menanyai rakyat satu persatu, Presiden Suharto sudah bisa tahu bahwa dengan kenaikan BBM, mereka akan terpukul. Makanya presiden–waktu menyampaikan RAPBN–sampai dua kali minta maaf. Dan menteri Subroto mengakuinya sebagai kenyataan pahit.
Sementara pemilu makin mendekat. Terhitung sejak kenaikan harga itu, pemilihan umum akan berlangsung empat bulan lagi. Barangkali kenyataan pahit ini akan mengganggu pesta demokrasi itu. Atau tegasnya, mungkinkah tindakan pemerintah itu akan mengurangi dukungan rakyat dalam pemilu 5 Mei mendatang itu?
“Tentu sedikit banyak akan mengurangi,” kata Dahlar Muslim. Artidjo Alkostar, SH juga berpendapat senada. “Sebab rakyat kecil terutama, tidak mau tahu tentang alasan kenaikan itu, meski alasan itu rasional sekalipun,” kata Direktur Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat (LRPM) FH UII itu. “Yang mereka tahu,” lanjut Artidjo “bahwa dengan kenaikkan harga itu mereka terpukul.”
Fraksi Karya Pembangunan, yang berdiri di belakang pemerintah itu, juga memperhitungkan kemungkinan ini. Tapi agaknya wakil Golkar di DPR ini sudah punya resep untuk menanggulanginya. Buktinya, mereka berani menganjurkan kepada pemerintah–sebelum subsidi dihapus–bahwa kalau pemerintah berniat menghapus subsidi itu, sebaiknya dilakukan sebelum pemilu.
Padahal, “jika dilakukan sebelum pemilu sebenarnya kita kan rugi,” kata Johny Simanjuntak, dari fraksi itu. “Sebab para pemilih kami nanti akan bilang: ‘kok sekali ini kami dibebani, tidak dimanjakan lagi’,” tambah Jonny.
Dari kubu F-PPP, Chalik Ali menurunkan komentarnya. Menurutnya, kebijakan yang diambil sebelum musim kampanye Pemilu ‘82 ini merupakan sikap “to be or not to be”, gagal atau berhasil. “Dan penuh resiko,” kata Chalik.
Ramalan-ramalan ini agaknya tidak terlalu mengada-ada. Bahkan Menteri Dalam Negeri pun mempercayainya. Makanya dalam instruksinya kepada para gubernur, Amirmachmud meminta agar mereka mampu mengamankan akibat dari tindakan pemerintah ini, terutama yang bersifat politis.
Kira-kira, bagaimana bentuk pengamatannya itu, ya?
Demonstrasi
Di Muangthai, ketika pemerintah menaikkan harga BBM timbul gelombang-gelombang demonstrasi. Konon ada yang “berkekuatan” sampai 20.000 orang. Tapi di Indonesia, kendati cukup banyak terdengar keluhan-keluhan, masyarakat tenang-tenang saja. Rupanya masyarakat mau menerima permintaan maaf Presiden Suharto–yang sampai dua kali itu–ketika beliau menyampaikan RAPBN 1982/1983. Masyarakat juga agaknya mau mengikuti ajakan Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, untuk secara sadar menerima keputusan pemerintah yang dirasakan pahit ini.
Atau mungkin masyarakat mau bersabar menunggu sampai resesi dunia yang menurut banyak orang–termasuk Daryatmo–akan berakhir pada penghujung tahun 1982. Bukankah sebagai konsekuensi dari berakhirnya resesi dunia itu, harga barang-barang termasuk BBM tentunya–akan menaik lagi? Baramuli, anggota Komisi VII DPR, bahkan berani menjamin bahwa “keprihatinan atau keharusan mengencangkan ikat pinggang hanya akan terjadi pada tahun anggaran 1982/1983.”
Suara lebih merdu datang dari Prof. Sukadji Ranuwiharjo, MA. Bekas Rektor UGM itu memperkirakan harga-harga akan stabil kembali dalam tiga bulan–sejak 4 Januari. Ramalan-ramalan inilah yang barangkali mampu menentramkan masyarakat. Tapi mahasiswa, bagaimana?
“Saya setuju kalau mahasiswa berdemonstrasi,” kata Supriyanto, 22 tahun. “Tapi,” lanjut mahasiswa Fakultas Hukum UII itu, “mahasiswa agaknya takut untuk melakukannya.” “Karena,” tambah Supriyanto, “pemerintah tentu akan bertindak keras untuk membendungnya.”
“Selain tindakan keras itu, idealisme mahasiswanya sendiri sedang merosot,” kata Dalhar Muslim, seorang aktivis di UII. Sedang sebagai biang keladi kemerosotan idealisme itu, Dalhar menuding konsep NKK.
Tapi Alfitra Sofi Salam tak setuju dengan cara itu. “Mahasiswa yang berdemonstrasi itu goblok,” kata mahasiswa Fakultas Sospol UGM itu. Kenapa goblok, Fitra? Dia tak menjelaskannya.
Mereka yang Khawatir
Kebanyakan dari mereka yang memberi tanggapan tentang kenaikan harga BBM ini, menutup komentarnya dengan harapan atau permintaan supaya pemerintah mengambil langkah-langkah pencegahan atau tegasnya, mengendalikan harga-harga–seperti yang memang sudah dijanjikan oleh Menteri Subroto.
Soalnya, “pengalaman yang lalu menunjukkan kenaikan harga BBM cepat diikuti oleh kenaikan biaya transpor dan lainnya,” kata ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Aryono Abdulkadir.
Benar saja. Tarif angkutan darat, misalnya–kecuali bis kota–langsung “memberikan tanggapan”. Sedang harga barang-barang juga mulai merayap naik. Malah Kamar Dagang Indonesia (KADIN), seraya memuji, telah terang-terangan minta izin kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga secara nyata dan wajar.
Tapi khusus mengenai bahan-bahan kebutuhan pokok, Bustanil Arifin menghembuskan angin sejuk. “Beras, gula, terigu dan kedelai tidak akan dinaikkan,” kata Ka-BULOG berkepala botak ini. Jika pun ada kenaikan, hanya kecil saja. Untuk beras misalnya, Bustanil meramalkan paling-paling hanya akan naik Rp250 per kilogram. Kecil, bukan?
Pendeknya masyarakat tidak usah khawatir. Apalagi Mendagri Amirmachmud sudah mengeluarkan instruksi (nomor 1/1982) yang isinya menghimbau para Gubernur agar mengamankan akibat kenaikan harga BBM ini baik yang bersifat psikologis, sosial, ekonomis dan terutama yang bersifat politis.
Namun yang paling menarik agaknya ini: ternyata, dalam merencanakan kenaikan harga BBM itu pemerintah tidak berunding dengan DPR. Hamzah Has, dari F-PPP, menyesalkan hal ini. Sebab kata Hamzah, secara prinsip tindakan semacam itu harus dibicarakan dulu dengan lembaga ini.
Hamzah lantas mengutip pasal 23 ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala tindakan yang sangat membebani rakyat harus disahkan oleh DPR.
Juga yang perlu kita sesalkan, kenapa pemerintah mengambil kebijakan yang jelas-jelas menyangkut kepentingan rakyat banyak itu sekadar dengan keppres, yang secara yuridis memang tidak perlu dirundingkan dulu dengan lembaga itu.
Mungkin pemerintah tidak menganggap kebijaksanaannya itu bisa membebani rakyat. Misalnya pun pemerintah menganggapnya demikian, tak apalah, biar saja… Kan, demi pembangunan. ** (HB)
Penulis: MUHIBBAH/Hamid Basyaib
Pengalih media: HIMMAH/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Pranoto