Colony Collapsed Disorder: Kontribusi Manusia Pada Kepunahannya (1)

Lebah menjadi salah satu serangga yang mungkin kehadirannya tidak dianggap oleh manusia. Sebagian besar juga akan mengetahui lebah sebagai penghasil madu, Tidak banyak yang sadar bahwa kehidupan manusia saat ini sangat disokong oleh serangga bergenus Apis  Ini. Dalam sebuah kutipan, Einstein berkata bahwa jika populasi lebah menurun, manusia pun akan mengikutinya. Perkataan Einstein ini tentu bukan sebuah bualan semata. Jika dilihat lebih jauh, lebah berperan besar dalam 80% polinasi tumbuhan dunia.

Polinasi merupakan suatu peristiwa dimana serbuk sari jatuh di kepala putik bunga. Peristiwa ini bisa dijalankan dengan berbagai cara, seperti dengan bantuan angin, manusia, maupun serangga. Dari seluruh metode diatas, lebah memegang peran probabilitas tertinggi. Efektivitas lebah dalam proses penyerbukan jika dibandingkan dengan manusia akan sangat jauh. Dalam satu koloni, lebah bisa membantu tiga juta polinasi selama sehari. Sedangkan manusia hanya bisa membantu tiga puluh polinasi tumbuhan per harinya. Biasanya, lebah menghinggapi tumbuhan yang berbunga kecil, seperti manga, melon, apel, dan alpukat.

Dalam buku Beternak Lebah oleh Soedjono. Bsc & Ir. Nuryani (1991), untuk persediaan makanan, lebah pekerja mengumpulkan nektar dan serbuk sari kemudian ditimbun dalam sarang. Diuapkan airnya kemudian menental menjadi madu. Penguapan terjadi karena lebah pekerja mengibaskan sayapnya. Jika tidak ada lebah, nektar hanya akan berputar dialam tanpa manusia rasakan. Manusia tidak akan pernah mendapatkan manfaat dari nektar ini, terutama madunya.

Polinasi yang gagal tentu berefek besar pada sektor agrikultural. Polinasi tidak akan menghadirkan buah, sebut saja beras sebagai contohnya. Jika tidak ada beras, rantai makanan yang ada disawah akan terputus, mengingat padi merupakan satu-satunya produsen yang ada pada ekosistem tersebut. Tumbuhan pun lambat laun akan punah dan tentunya manusia pun akan merasakan akibatnya. Tak hanya mengurangi bahan pokok, ketersediaan oksigen di bumi pun pasti akan menurun. Jika tidak ada oksigen maupun makanan, harapan hidup manusia pun tak tertolong.

Menurut penelitian yang berjudul Honey Bee Colony Collapse Disorder (Apis Mellifera L.) – Possible Causes (Bekic B. et al, 2014), penurunan jumlah lebah ini telah terjadi semenjak abad XIX dan muncul kembali pada tahun 2006. Fenomena yang disebut dengan Colony Collapsed Disorder (CCD) ini, pertama kali muncul di USA yang mana dalam satu minggu, para peternak melaporkan 50-90% koloni lebahnya menghilang.  Pada 2009, CCD secara signifikan juga terjadi di negara-negara Eropa, seperti Switzerland, Belgia, Perancis, hingga Nothern Ireland.

Gejala CCD muncul dengan hilangnya sebagian lebah pekerja dalam suatu koloni. Sarang mereka terlantar serta hanya menyisakan ratu lebah dengan jumlah pekerja yang minim. Walaupun seperti itu, di dalam sarang tertinggal sejumlah besar makanan, madu, dan serbuk sari. Lebah pekerja yang hilang tidak pernah sekalipun terlihat kematiannya di lingkungan. Mereka menghilang tanpa sekalipun meninggalkan jejak. Hal inilah yang menyebabkan para peneliti tidak mengetahui penyebab pasti munculnya fenomena tersebut hingga sekarang.  

Banyak asumsi pakar yang bermunculan dan sayangnya manusia memiliki andil besar dalam punahnya serangga berkaki enam tersebut. Penggunaan pestisida pada perkebunan yang menjadi sumber pangan lebah salah satunya. Sejak Perang Dunia ke-II, pemakaian pestisida melonjak drastis sehingga neonicotinoid dalam pestisida pun merebak luas. Neonicotinoid secara kimiawi serupa nikotin dan sangat popular penggunaannya dalam pestisida. 

Hari Purnomo, dosen Universitas Gajah Mada (UGM) yang melakukan penelitian CCD di Indonesia, mengatakan bahwa Neonicotionid mampu merusak saraf lebah. Akibat dari rusaknya saraf ini bisa mengganggu navigasi yang dimilikinya. Navigasi yang terganggu menjadikan lebah tidak mengetahui arah kembali ke koloninya, seolah-olah ia terkena penyakit Alzheimer. Diimbuhkan pula oleh Ravelinta dan Elfediyah Dinansari dari Kelompok Studi Entomologi (KSE) Biologi UGM, bahwa senyawa Neonicotinoid yang telah diserap seekor lebah memiliki efek domino bagi satu koloninya.

“…. polennya (yang telah dimakan lebah) bakal mengandung senyawa itu (re : Neonicotinoid). Nah terus efeknya itu menyebar. Jadi kalau satu individu udah konsumsi itu terus pas dia balik ke sarangnya, itu bakal menyebar ke yang lain…”,terang Ravelinta. 

Menurut mahasiswa biologi tersebut pula, polen yang dibawa dari kaki lebah hingga menjadi madu itu, dapat pula berefek ke individu lain. Madu yang diproduksi dari lebah terkontaminasi neonicotinoid mampu menyebar ke manusia jika dikonsumsi.

Selain pestisida, hadirnya penyakit yang disebabkan virus Varroa destructor mites pun menurunkan jumlahnya. Varroa merupakan sebuah penyakit yang menyerang lebah dewasa serta paling banyak ditemukan di Eropa. Dalam jurnlnya, Becker menyebutkan jika sebuah koloni sudah terinfeksi, varroa mites akan menyebar dan membunuh koloni dengan cepat. Biasanya, tungau akan menyerang sayap lebah pekerja hingga mereka lumpuh, tidak bisa terbang, dan berakhir mati.  Penyebaran virus ini bisa melalui pollen bunga. Saat lebah sehat memakan pollen yang terserang virus varroa, saluran pernapasan lebah pun terinfeksi. 

Hari menerangkan pula bahwa hama dan virus lebah sangat bervariasi bergantung pada morfologi serta lingkungannya. “….ada yang dari protozoa yang disebut nosema bikin mencret (dan) tidak terlalu berdampak signifikan. Ada banyak sekali hama lebah, namanya varroa jacobsoni, dan di Indonesia tidak terpengaruh varroa jacobsoni. Di Eropa dan di Cina berpengaruh (varroa jacobsoni) karena bentuknya berbeda dan morfologinya berbeda. Yang  merusak adalah varroa destructor yang ada di Korea, Cina, dan Jepang…”, jelas dosen Biologi UGM ini. 

CCD pun tak lepas dari dampak besar perubahan iklim yang terjadi di dunia. Lebah madu, Apis mellifera sahariensis yang ditemukan pada oase Africa memiliki mekanisme adaptasi suhu ektrem. Walaupun seperti itu, mereka tetap membutuhkan air untuk mengembangbiakkan larva serta menjaga temperatur tubuh yang berada diantara 34oC dan 35oC. Dalam lingkungan kering, tumbuhan gurun tak mampu menyediakan cukup air bagi lebah. 

Perubahan iklim dalam jurnal Climate change : Impact on honey populations and diseases (Conte Y. L. & Navajas F., 2008) dituliskan mampu mengubah kesetimbangan lebah madu, lingkungannya, dan penyakitnya. Lingkungan yang semakin panas membuat Apis mellifera tidak mampu bertahan hidup, bahkan untuk migrasi sekalipun. Senada dengan jurnal diatas, Hari menyebutkan pula bahwa resiko penyakit lebah yang di alam lebih tinggi dan memiliki variasi lebih banyak. 

Terlepas dari faktor alam, manusia memiliki peran yang cukup mengerikan pada fenomena hilangnya lebah ini. Penggunaan pestisida, perubahan iklim, bahkan rekayasa genetik yang dibuat manusia kepada lebah menjadi boomerang tersendiri bagi keberadaan manusia dimuka bumi.

Kelansungan hidup manusia bergantung dengan kesetimbangan ekosistem, lebah salah satunya. Sebuah ironi tragis terjadi dimana manusia membunuh lebah, maka ia melukai diri sendirinya jua. Semakin maraknya pestisida maupun tak acuhnya manusia pada perubahan iklim, disaat itulah berarti manusia meninggikan kontribusi bagi kematiannya sendiri.

Penulis: Janneta Fildza A.

Reporter: Jannet Fildza A., Ananta Dhia, Ikka Rahmanita, Dadang Puruhita

Editor: Zikra Wahyudi

*Naskah ini merupakan seri pertama dari tiga serial laporan khusus tentang lebah. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Skip to content