15 Oktober 1978: Lahirnya Hari Hak Asasi Hewan dan Realitas di Indonesia

Himmah Online – Setiap tanggal 15 Oktober dunia memperingati Hari Hak Asasi Hewan Internasional. Peringatan ini berawal dari Universal Declaration of Animal Rights oleh UNESCO pada 15 Oktober 1978 silam. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa semua hewan memiliki hak untuk hidup, berkembangbiak dan manusia tidak memiliki hak untuk memusnahkan spesies hewan, serta perlakuan buruk ataupun tindakan kejam.

Terdapat beberapa hak asasi yang didukung oleh UNESCO, yaitu bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan tertekan; serta bebas mengekspresikan perilaku alami.

Dikutip dari Introduction to Animal Rights: Your Child or the Dog? karya Gary L. Francione, bahwa survei Associated Press Amerika Serikat mengatakan “Hak hewan untuk hidup bebas dari penderitaan harus sama pentingnya dengan hak manusia untuk hidup bebas dari penderitaan.” Dengan kata lain, hewan seharusnya dianggap sebagai “orang” atau makhluk, bukan sekadar sebagai benda.

Hewan memiliki afeksi yang sama seperti manusia: dapat merasakan perasaan sakit, senang, takut, cemas, maupun frustasi. Maka secara pengertian moral, manusia mengukur hal tersebut dalam hak asasi hewan dalam kehidupan serta kesejahteraan hewan.

Tom Regan (2001) mengatakan bahwa hewan yang hidup harus diperlakukan dengan hati-hati karena fakta bahwa mereka dapat merasakan sakit; orang-orang yang baik akan selalu menunjukkan kepedulian itu dan akan bersikeras bahwa hewan yang kita gunakan diberi makan dan ditempatkan dengan benar, ditangani dengan penuh perhatian. Perlakuan manusiawi seperti ini berlaku secara universal.

Bagaimana Kondisi di Indonesia?

Di Indonesia, perlindungan hak asasi hewan salah satunya didukung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 302. Pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana penganiayaan hewan.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa seseorang yang melakukan penganiayaan kepada hewan tanpa tujuan yang patut dan secara melampaui batas, baik ringan maupun berat, dapat dipidana maksimal 9 bulan dan denda maksimal 400 ribu rupiah.

Meskipun telah memiliki instrumen hukum perlindungan dan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan, berdasarkan data Asia for Animal Coalition (AfA) pada rentang Juli 2020 hingga Agustus 2021 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara penghasil konten penyiksa hewan terbanyak di dunia. Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.

Dari angka-angka tersebut menunjukan bahwa praktik penyiksaan hewan menjadi masalah global. AfA juga menuliskan bahwa banyak kerugian yang diderita hewan, sedangkan si pengunggah malah mendapatkan keuntungan.

Mengingat kasus Tayo, kucing seorang perempuan 22 tahun asal Medan bernama Sonia yang dibunuh oleh sang pelaku penjagal kucing dan anjing pada 2021 lalu. Sonia mendapati mayat kucingnya dalam karung di halaman depan rumah sang pelaku. Sonia pun mengunggah penemuannya dan melaporkan kepada polisi setempat.

Akhirnya, pelaku kasus kucing Tayo divonis penjara selama 2,5 tahun pada bulan Agustus 2021 lalu. Kasus ini menjadi salah satu gerbang untuk terbukanya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hak asasi hewan dan kesejahteraannya.

Dalam sebuah diskusi bertajuk “KesmaveTalk #6” yang digelar Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner pada 2021 lalu, Koordinator Substansi Kesejahteraan Hewan Kementerian Pertanian, Hastho Yulianto, menyampaikan sejauh ini pemerintah sudah memiliki instrumen hukum untuk menjerat penyiksa binatang. Namun, ia mengakui hukumannya masih ringan, dan pemerintah masih menunggu revisi KUHP di DPR.

Dilansir dari The Great Projects, jika campur tangan manusia dalam hal kejahatan satwa liar terus berlanjut di Indonesia, maka hewan tidak akan punya tempat untuk pulang.

Hak hewan seringkali diabaikan karena mereka tidak dapat membantah.

Reporter: Magang Himmah/Fatimah Aulia Permata

Visualisasi Data: Magang Himmah/Fatimah Aulia Permata

Editor: Pranoto

Skip to content