Jepang mundur tanpa syarat, Hiroshima dan Nagasaki seakan hilang dari peta dunia.
Himmah Online, Yogyakarta – Pada tanggal 8 Agustus 1945, Uni Soviet yang saat itu dipimpin oleh Stalin, telah mengumumkan dan menyatakan perang terhadap Jepang. Pasukan Soviet kemudian menyerang Manchuria, yang terletak di timur Cina. Soviet dan Jepang sebelumnya telah menandatangani perjanjian non-agresi. Namun, setelah sekutu mengebom Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, Jepang-pun bersiap untuk menyerah. Soviet menggunakan kesempatan ini untuk merebut beberapa wilayah kekuasaan Jepang. Disusul-lah, pengeboman selanjutnya di kota Nagasaki, pada tanggal 9 Agustus 1945. Bom tersebut meledak dengan sangat dasyat, hingga diperkirakan menelan kurang lebih 70.000 sampai 80.000 jiwa penduduknya.
Kaisar Hirohito (Showa) kemudian menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. (“Pembekuan Politik” dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo, hlm.114-115) Penyerahan tanpa syarat tersebut, membuat pemimpin Indonesia pada saat itu kebingungan lantaran Jepang adalah kandidat terkuat dalam memenangkan peperangan pada saat itu. Ambruknya pertahanan dan komunikasi Jepang pada saat itu, menjadi bulan-bulanan pertengahan tahun 1945, yang mengakibatkan suatu perubahan drastis dalam lajur persiapan kemerdekaan Indonesia.
Sebelumnya terbentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggotakan 62 orang yang diresmikan pada tanggal 25 Mei 1945, dengan agenda pembicaraanya yang membahas konstitusi atau undang-undang dasar dan ideologi bagi negara Indonesia yang nantinya akan merdeka.
Latar belakang pemikiran para anggota pada saat itu yang didominasi oleh orang jawa atau yang sudah lama tinggal dijawa, ditandai dengan penolakan liberalisme dan individualisme “Barat-kebaratan”. Pembelaan orang dari luar jawapun, seperti Hatta dan Moh. Yamin, untuk hak-hak daerah dan perseorangan terhadap pusat menjadi tidak efektif karena kalah dalam jumlah.
Reporter: Audy M. Lanta
Editor: Niken C. Rizqi