Hereditary, Teka-teki yang Tidak Mengharapkan Jawaban

Judul: Hereditary

Rilis: 27 Juni 2018

Sutradara: Ari Aster

Rumah Produksi: A24

Genre: Drama, Misteri, Horror

Hereditary, Teka-teki yang Tidak Mengharapkan JawabanRabu, 24 Januari 2018, sekitar pukul 11.30 malam waktu setempat kawasan Park City, Utah, Amerika Serikat masih ramai dipenuhi pengunjung. Saat itu, di sana sedang berlangsung Festival Film Sundance 2018. Orang-orang memenuhi Egyptian Theatre, menyaksikan film yang akan ditayangkan. Sundance menjadi ajang unjuk diri bagi para sineas, baik yang masih baru ataupun yang sudah melanglang buana. Tak terkecuali Ari Aster, dengan debut film feature pertamanya, Hereditary.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 malam. Para penonton yang terdiri dari masyarakat dan para pegiat film pun sudah memenuhi kursi bioskop. Lampu dimatikan, dan layarpun dibuka. Film diawali dengan kamera mengarah ke sebuah rumah pohon. Kemudian mulai beralih, berputar, memperlihatkan seluruh ruangan seperti sebuah ruang kerja, lalu berhenti dan menyoroti sebuah miniatur rumah. Setting berpindah ke sebuah ruang pertemuan dalam suatu pemakaman. Adalah Annie Graham (Toni Collette) yang sedang berdiri di sebuah mimbar, dan memberikan pidato untuk mengenang almarhum ibunya, Ellen.

Tidak ada yang janggal di menit-menit awal film ini. Para penonton mulai bertanya-tanya,. penonton belum langsung disuguhi dengan adegan tangis haru, tidak juga langsung disuguhi ekspresi heboh dari Toni Collette seperti yang ditampilkan pada trailernya. Setidaknya belum. Ari Aster sang sutradara, tidak ingin terburu-buru dalam hal membangun ketakutan penonton. Menit-menit awal film diputar, tidak ada efek kejutan yang diberikan.

Film terasa sangat lambat, namun itu bukan tanpa alasan. Film ini seperti sebuah teka-teki. Para penonton harus mengikuti setiap premis yang disajikan. Banyak sekali detail yang ditunjukkan untuk mengungkap misteri dalam film ini. Tidak banyak adegan jumpscare dalam Hereditary. Ketakutan penonton bukan serta merta karena hantu yang muncul secara tiba-tiba, bukan karena adegan suasana-hening-kemudian-muncul-setan-dari-belakang, dan bukan juga karena sound effect yang menyayat-nyayat.

Ekspresi yang ditunjukkan oleh para pemain dalam film ini mampu memancing rasa takut dan penasaran penonton. Ekspresi ketakutan Annie yang dimainkan oleh Toni menjadi salah satu pusat kengerian. Kita akan menemukan beberapa adegan, dimana wajah Annie direkam secara close-up sedang menganga ketakutan atau bahkan hanya melamun saja. Hal tersebut menjadi poin tambahan, lantaran detail-detail seperti kerutan-kerutan, wajah yang pucat, menjadi terlihat jelas. Penggunaan tone yang sedikit lebih gelap juga membuat suasana dalam film terasa muram. Selain itu scoring yang dimainkan oleh Colin Stetson mampu membuat penonton merasa gelisah dan tidak tenang. Dengan perpaduan-perpaduan tersebut, menjadikan rasa takut yang dihasilkan lebih alami. Sekali lagi, premis demi premis yang diberikan, penonton belum menemukan setan dengan dandanan yang seram.

Seperempat film berjalan, tensi mulai naik. Annie harus kehilangan anak perempuannya Charlie (Milli Saphiro) karena kecelakaan. Setelah itu kehidupan Annie, suaminya Steve (Gabrielle Byrne), dan anak pertamanya Peter (Alex Wolff), menjadi tidak tenang. Semakin banyak peristiwa yang tidak bisa dijelaskan akal sehat kita.

Keluarga tersebut merasa dikejar oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui asalnya. Pada momen ini, para penonton akan merasakan betapa depresinya Annie. Bagaimana tidak, setelah kehilangan ibunya, kini ia juga harus kehilangan anak perempuannya. Ditambah sebagai seorang artis miniatur yang akan melangsungkan pameran, ia juga dikejar deadline.

Drama keluarga yang terjadi menjadi hal yang menarik, dalam film-film pendek yang dibuat oleh Ari sebelumnya (The Strange Thing About The Johnsons dan Munchausen), ia menghadirkan sisi kelam dari sebuah keluarga. Dalam Hereditary, ia hadirkan premis yang lebih gelap dari sebelumnya. Tanpa Annie sadari, ibunya memiliki kegiatan-kegiatan yang ia tidak ketahui. Kejadian-kejadian buruk yang dialami Annie sebelum-sebelumnya menjadi benang merah yang kini tidak dapat ia hindari. Akhir-akhir ini baru saja ia sadari bahwa ada yang salah dengan apa yang sudah dilakukan ibunya selama ini.

Adegan di meja makan menjadi sebuah adegan paling emosional. Emosi yang Annie pendam selama ini, ia luapkan semua kepada anaknya Peter saat makan malam. Peter pun memiliki masalah yang ia sendiri pun tidak mengerti. Alih-alih mencoba untuk menghiraukan hal tersebut, Peter justru jatuh ke dalam delusi yang ia buat sendiri, dan akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tiap anggota keluarga di sini memiliki permasalahan yang kompleks, namun Steve di sini mampu menjadi sosok paling stabil di antara semua anggota keluarganya. Steve mencoba untuk mengendalikan dan berpegang teguh pada akal sehatnya, perannya di sini menjadi penyeimbang di kala kekacauan yang sedang terjadi pada keluarganya.

Hereditary menjadi film horor dengan konsep yang segar dua tahun terakhir ini. Kita akan teringat dengan film seperti The Killing Of The Sacred Deer (2018), The Witch (2016), ataupun film Get Out (2017). Menurut saya, film ini mencoba menghadirkan horor yang lebih realistis tanpa harus menampilkan sosok hantu yang menyeramkan ataupun adegan jumpscare murahan. Semua ketakutan dibangun dengan perlahan sampai di akhir, tensi dinaikkan menuju maksimal (yang akhir-akhir ini kita tahu dengan sebutan slow burn). Meskipun begitu, bagi sebagian penonton akan sedikit kecewa dengan ending-nya yang tidak biasa dan tidak umum. Selain itu beberapa misteri tidak terdapat jawabannya dalam film, sehingga penonton akan sering bertanya-tanya.

Tidak ada pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Kalau pun dipaksakan ada, pesan yang bisa diambil adalah: Karma itu nyata dan bisa jadi mengerikan. Ari Aster nampaknya memang tidak ingin mengedukasi penontonnya. Ia tidak ingin memberikan kesimpulan, “bahwa semua akan baik-baik saja”. Tidak. Ia tidak hanya ingin menakut-nakuti penonton, tidak seremeh itu. Lebih jauh lagi, Ia ingin menanamkan dalam benak penonton jika, “semuanya tidak akan baik-baik saja”.

Selain itu, ini bukanlah film yang bisa ditonton dengan anak-anak. Karena banyak adegan yang mengandung kekerasan, gory, dan memperlihatkan konsumsi obat-obatan terlarang. Lagipula, orang tua mana yang ingin mengajak anaknya menonton film horor seperti Hereditary.

 Jangankan anak-anak, orang tuanya pun belum tentu bisa tidur tenang setelah menonton film ini.

Skip to content