KKN UII: Antara Ekspetasi dan Realita

Waktu, lokasi, persiapan, dan administrasi turut mempengaruhi pelaksanaan KKN UII.

Himmah Online, Kampus Terpadu – Ekspektasi Silvia pertama kali saat hendak melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Universitas Islam Indonesia (KKN UII) yaitu tinggal di daerah terpencil, tidak ada sinyal, Mandi-Cuci-Kakus terbatas, serta cemas bagaimana bersosialisasi dengan warga. Syahnan, Sandy, Arini, Akbar, dan Iqbal, teman Silvia satu posko unit 149 dan 150 mengamini serupa pendapat Silvia.

Unit 149 dan 150 ditempatkan dalam satu dusun yang sama, yaitu dusun Krajan, Desa Kebon Gunung, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Jarak dusun dengan alun-alun kabupaten sekitar sepuluh menit ditempuh dengan sepeda motor.

“Tempat kita KKN semi kampung,” ucap Syahnan, mahasiswa Teknik Sipil 2014. “Yah masuk zona merah, tapi kita ke sana ternyata enggak merah masuknya,” Silvia menimpali. “Belum diperbaharui,” ucap Sandy selaku ketua unit 150 ikut berkomentar.

Hery Wibowo selaku Kepala Desa Kebon Gunung mengatakan penunjukkan desa yang tergolong zona merah memang sering menerima mahasiswa KKN. Desa Kebon Gunung satu-satunya desa berzona merah di antara desa-desa yang berada di Kecamatan Loano. “Dalam arti masyarakatnya apatis, penguatan ekonomi tidak ada, miskin pemberdayaan, itu daftar BPS (Badan Pusat Statistik), bukan dari pemda penunjukan data miskin,” ucap Hery menjelaskan arti zona merah.

Lain Silvia, lain pula Prambudi Setiawan. Setelah satu bulan KKN di Desa Nglaris, Prambudi, ketua unit 133 mengatakan bahwa desa tempatnya KKN tidak direkomendasikan kembali untuk mahasiswa KKN.

“Nglaris saya lihat rumah-rumahnya sudah layak. Ada yang punya mobil dan ada yang punya tanah 20 hektar waktu (program kerja) sensus kepemilikan surat tanah,” ucap mahasiswa Teknik Sipil 2014 ini.

Prambudi pun tidak menyangka akan mendapat posko yang layak. “Enggak seperti yang dibayangkan dapat dari kayu, di posko saya dapur ada, ruang tamu ada, kamar mandi ada, keramik juga, di luar ekspetasi,” ucapnya.

Desa Nglaris masuk zona merah di bawah Kecamatan Bener yang juga zona merah. Akses ke desa agak naik dan jarak ke alun-alun kabupaten sekitar setengah jam ditempuh dengan motor.

Prambudi bercerita hal-hal yang telah dilakukan sebelum dan awal-awal KKN. Dua kali bimbingan dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) 1 dan 2 untuk kumpul ketua unit dan penjelasan lainnya. Adapun pembahasan administrasi, verifikasi program kerja, dan kegiatan-kegiatan di lapangan dilakukan di desa setelah penerjunan.

Lanjut Prambudi, unit 133 dan unit-unit yang KKN di Dusun Nglaris melakukan observasi dua kali sebelum penerjunan. Perwakilan setiap unit hanya satu sampai dua mahasiswa yang selanjutnya hasil observasi disampaikan di masing-masing unit.

“Survei pertama enggak maksimal, dari desa minta surat keterangan KKN karena DPL 2 belum bawa surat, jadi desa enggak berani bawa keliling, dan pas itu kadesnya enggak ada,” ucap Prambudi. Barulah pada survei yang kedua kalinya, DPL 2 membawa surat. Sehingga pelaksanaan program kerja dilakukan setelah seminggu berada di desa. DPL 2 mengontrol ke posko dua minggu sekali. Minggu keempat DPL 1 datang sekaligus responsi KKN yang dilakukan di balai desa.

Menurut Iqbal, mahasiswa Teknik Sipil 2014 yang juga unit 149, sejak pengumuman penempatan lokasi, persiapan alat dan bahan menjelang KKN seperti pembuatan spanduk, berkumpul dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) 1 dan 2, observasi lokasi KKN, dan pembuatan program terkesan terburu-buru. Hal tersebut berbeda dengan persiapan KKN yang dilaksanakan bulan Agustus.

Ada beberapa miskomunikasi yang terjadi seperti masalah pembuatan spanduk dan informasi yang tidak pasti. Akibatnya ada dua unit dalam satu dusun. “H-1 dikasih tahu bahwa kita satu dusun,” ucap Syahnan.

“Koordinasi Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, DPL, dan pak lurah belum ada. Kita harusnya posko berbeda-beda (per dusun), kemarin satu posko ada lima unit,” Silvia menimpali.

Waktu persiapan dan kurang komunikasi ini berimbas kepada penyesuaian program yang cocok dengan masyarakat. “Kita nyuri-nyuri waktu agar program itu cocok atau enggak karena observasi cuma sekali karena (saat itu) ada yang ujian,” ucap Silvia.

Hery menanggapi bahwa pemberitahuan penempatan lokasi KKN di desanya mendadak. “Pak Moko (DPL 2 unit 147-151) datang. Kecamatan enggak dikasih tahu juga, enggak tembus. Surat dari UII mandeg di Pemerintah Daerah (Pemda),” ucap Hery.

Sementara itu, menurut Unggul Priyadi selaku kepala pusat KKN UII menjelaskan pelaksanaan KKN bulan Februari yang terkesan mendadak karena sulitnya mencari lokasi KKN sejak berkoordinasi dengan pemda setempat.

“Tiba-tiba di tingkat bawah ternyata ada perguruan tinggi lain yang sedang masuk sehingga di satu wilayah desa ada dua perguruan tinggi, kan enggak efisien. Makanya di tingkat bawah solusinya kan enggak mungkin dibatalkan jadi dipindah ke desa yang lain, makanya muncul mendadak,” ucap Unggul

Jumlah Mahasiswa yang mengikuti KKN UII angkatan 56 di bulan Februari berjumlah 1372 mahasiswa . Jumlah tersebut terbagi menjadi 164 unit yang ditempatkan di empat kabupaten, 11 kecamatan, dan 29 desa. Adapun waktu pelaksanaanya dari 23 Januari sampai 23 Februari 2018. Sementara mahasiswa yang melakukan KKN angkatan 57 di bulan Agustus 2018 terbagi 383 unit.

Baik Prambudi, Akbar, Syahnan, dan Sandi mengatakan meminta tanda tangan kepada masyarakat sebagai administrasi dari Pusat KKN seperti hasil observasi, program kerja, dan Buku Catatan Kegiatan Harian (BCKH) KKN, hampir semua mungkin melakukan manipulasi.

“Agak memberatkan terkait BCKH, apalagi sampai sekarang cuma dilihat pas sidak,” ucap Prambudi.

“Secara teknik enggak gampang untuk meminta tanda tangan setiap waktu sudah seperti kerja di pabrik, bagus sih, enggak semuanya bisa ngikuti,” ucap Akbar.

“Kebanyakan orang tuh catatan enggak usah, yang penting langsung proker, tanda tangan di akhir,” Syahnan menimpali.

“Enak dirapelin, toh kita juga melakukan (apa yang ditulis),” Sandi ikut berkomentar.

Adapun menurut Hery, pemenuhan jam setiap mahasiswa dan unit menjadi penghambat berkreasi dalam pelaksanaan program kerja.

Menurut buku Pedoman Penyelenggaran KKN UII Semester Genap TA 2017/2018, volume kegiatan individu dan kegiatan bantu sebanyak 150 jam. Kegiatan individu atau waktu pelaksanaan program kerja sebanyak 38 jam (termasuk pra pelaksanaan), kegiatan unit sebanyak 52 jam, kegiatan bantu antar teman sebanyak 30 jam, dan kegiatan bantu masyarakat sebanyak 30 jam.

“Ada keluhan juga dari warga. Mereka juga kaget, seolah berburu tanda tangan tok, saya dengar dari wali murid Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak,” ungkap Hery.

Unggul menanggapi tujuan dari administrasi seperti laporan hasil observasi, program kerja, dan BCKH ialah bukti tertulis dari tertib administrasi. “Kalau enggak ada bukti tertulisnya terus gimana? ngontrolnya dari mana kita? kan kita ada International Standard Organization yang mengharuskan ada dokumen tertulisnya,” ucapnya.

Jika ada warga yang menanggapi meminta tanda tangan terkesan tidak ikhlas dan hanya memenuhi tugas KKN, menurut Unggul itu tergantung bagaimana cara mahasiswa mendekati masyarakat. Menurutnya, banyak juga mahasiswa yang begitu pamit ditangisi warganya karena sudah menyatu.

Terkait lokasi KKN, Unggul mengatakan bahwa pertimbangan aksesbilitas, waktu, dan efektivitas menentukan mengapa lokasi KKN hanya mengambil daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Sekitar 80 persen lokasi KKN mengambil daerah Purworejo karena ada Memorandum of Understanding dan jaminan secara formal.

“Karena mahasiswa dengan bimbingan DPL juga itu menjadi pertimbangan kalau jauh harus mempertimbangkan waktu, tenaga, efektivitas sehingga hanya mengambil Jogja dan sekitarnya, seperti Klaten, Magelang, dan Purworejo. Kalau ada masalah ngatasinnya gampang,” ucap Unggul.

Selain KKN yang dilaksanakan di Yogykarta dan sekitarnya, ada juga pelaksanaan KKN yang dilaksanakan di Aceh. Namun kegiatan tersebut bukan atas nama kegiatan KKN, melainkan kegiatan kemahasiswaan. Hal tersebut dikarenakan KKN UII di luar Jawa belum dicanangkan dan belum ada payung hukumnya.

Reporter: Nurcholis Maarif, Ika Pratiwi Indah Y., M. Billy Hanggara, Dhia Ananta

Editor: Hana Maulina Salsabila

Skip to content