HIMMAH Online, Yogyakarta – Senin, 14 November 2016, sebanyak 68 buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari PT.Starlight Prime Thermoplas, Yogyakarta melakukan aksi tutup pabrik. Mulai sekitar pukul 09.00 WIB, masa aksi berkumpul di depan pabrik, tepatnya di Jalan Magelang kilometer 16, Tempel, Sleman. Mereka menuntut pembayaran pesangon yang dijanjikan pihak perusahaan sebesar satu kali ketentuan, atau sekitar dua miliar rupiah.
Starlight Prime Thermoplas sendiri merupakan pabrik yang memproduksi olahan plastik, khususnya kemasan makanan. Perusahaan ini sudah berproduksi selama 35 tahun, sejak 1981. Sebelumnya, pihak perusahaan menjanjikan pembayaran pesangon dibayarkan pada tanggal 10 November 2016. Namun sampai jalannya aksi, pihak perusahaan belum menyanggupi pembayaran. “Karena tidak ada uang,” tutur Mujiyono ketika ditanyai alasan ketidaksanggupan perusaan membayar pesangon tersebut. Mujiyono adalah ketua dari 68 buruh yang terkena PHK.
Sementara itu, menurut para buruh sendiri pihak perusahaan merumahkan atau mem-PHK 68 buruh sejak bulan Mei 2016, alasannya adalah karena efisiensi. Para buruh merasa bahwa selama enam bulan terakhir ini, nasib mereka terkatung-katung menununggu janji pembayaran pesangon dari pihak perusahaan. Padahal mediasi dengan pihak perusahaan pun sudah berkali-kali dilakukan.
Trisna Miranta, salah seorang buruh yang juga terkena PHK memaparkan bahwa pesangon yang dibayarkan oleh pihak perusahaan seharusnya adalah dua kali ketentuan, sesuai ketetapan dari pihak Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah dua kali ketentuan berarti sebesar tiga miliar rupiah lebih. Namun, menurutnya, pihak perusahaan tidak menyanggupi, dan berdasarkan negosiasi, akhirnya menjadi satu kali ketentuan. “Perusahaan ini memang tukang ngapusi,” keluh Trisna.
Dirinya berujar bahwa para buruh yang terkena PHK bingung akan nasibnya. Selama enam bulan mereka di-PHK, pihak perusahaan hanya menggaji 50 persen per bulan, separuh dari yang buruh dapatkan sebelum PHK. Namun selama bulan November ini praktis buruh tidak menerima gaji lagi, padahal pesangon belum di bayar.
“Ya paling jadi pengangguran, ya bingung maungapain, pesangonnya juga belum di bayar,” ujar Muhwidi Widayat, buruh lain yang juga terkena PHK, setelah ditanyai perihal nasibnya setelah PHK ini. Muhwidi menuturkan bahwa kebanyakan dari mereka yang di PHK bekerja di bagian produksi. Dirinya sendiri bekerja di bagian finishing. Sementara itu, dilihat dari masa kerja, buruh yang terkena PHK adalah buruh yang sudah lama masa kerjanya, rata-rata sekitar 15 tahun.
“Ini menyalahi aturan, mereka yang menawarkan sendiri, mereka yang mengingkari,” tegas Yanti, salah satu buruh perempuan yang juga turut melakukan aksi. Yanti juga bekerja di bagian finishing.
Sekitar pukul 14.00 WIB, pihak perusahaan akhirnya bersedia menemui para buruh tersebut. Tiga buruh perwakilan dari 68 buruh pun masuk. Mereka bernegosiasi dengan pihak perusahaan selama hampir setengah jam. Namun, pertemuan dengan pihak perusahaan tersebut ternyata tidak juga memberikan hasil.
Sekeratris Jendral Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Kinardi, juga ikut bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Ditanyai hasil negosiasi, Kinardi menjawab bahwa pihak perusahaan meminta waktu 10 hari untuk pemberian pesangon kepada para buruh terhitung sejak Selasa, 15 November 2016. “Setelah ini kami akan tetap terus melakukan aksi, menuntut janji dari pihak perusahaan,” tambah Kirnadi. (Fahmi Ahmad Burhan)