HIMMAH ONLINE, Malioboro – Upaya revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) mendapat penolakan dari masyarakat di berbagai provinsi, salah satunya dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selasa, 16 Februari 2016, elemen-elemen masyarakat yang terdiri dari akademisi, jurnalis, organisasi difabel, perempuan anti korupsi, mahasiswa dan lainnya, bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Yogyakarta mengadakan Aksi menolak adanya revisi UU tersebut.
Dalam rilisnya, ada empat poin tuntutan yang mereka ajukan. Pertama, menuntut agar seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan rencana pembahasan Revisi UU KPK di sidang paripurna DPR. Kedua, Menuntut Presiden Joko Widodo agar tidak mengeluarkan Surat Presiden dan menariknya dalam Program Legislatif Nasional 2015-2019. Ketiga, menuntut Presiden mewaspadai manuver dan operasi senyap yang dilakukan orang terdekatnya, khususnya yang memiliki ambisi menguasai sektor ekonomi dan politik dengan mendorong pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Keempat, Meminta masyarakat untuk menghukum partai-partai politik pendukung revisi UU KPK dan mengakibatkan lemahnya KPK dengan cara tidak memilih kandidat yang diusung partai tersebut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung 2017.
“Di sini kami menuntut kepada dua pihak. DPR dan Presiden. Kami berharap penghentian ini dimulai oleh anggota DPR. Tapi ketika mereka (DPR) tetap bersikukuh melanjutkan revisi ini, benteng terakhir dimiliki oleh Presiden Jokowi. Karena Presiden yang nanti akan mengirim perwakilannya untuk menandatangani Surat Presiden,” Ungkap Faris Fahrian, Koordinator Lapangan aksi menolak revisi UU KPK.
“Kami juga ingin masyarakat mengetahui bahwa KPK punya peran besar perbaikan penegakan hukum di Indonesia. Tapi partai-partai politik justru getol untuk melemahkan KPK. Maka dari itu kami meminta masyarakat memberikan pendidikan politik kepada partai-partai politik yang berupaya melemahkan KPK dengan tidak memilihnya di Pilkada 2017 dan Pemilihan Presiden 2019.”
Faris kemudian menjelaskan bahwa saat ini ada empat poin krusial yang berpotensi melumpuhkan KPK jika revisi UU KPK tetap dilakukan. Pertama, pembentukan dewan pengawas yang dapat menghambat kinerja KPK. “Penyadapan dan penyitaan sekarang (di naskah revisi UU KPK) harus memerlukan izin dari dewan penasehat. Padahal kan keistimewaan KPK di situ.” Ungkap faris yang juga peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM.
Kedua, Penyadapan yang hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, yang dapat menyulitkan KPK untuk melakukan reaksi cepat atas informasi praktek penyuapan maupun melakukan operasi tangkap tangan. Ketiga, Pengangkatan penyidik dan penyelidik yang tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh KPK, karena pada naskah revisi KPK hanya boleh merekrut penyelidik dari kepolisian dan penyidik KPK hanya boleh direkrut dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik Pegawai Negeri Sipil. “Ini sama saja menjadikan KPK perpanjangan tangan mereka.”
Keempat, revisi pasal 40 UU KPK yang artinya KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Ini menyebabkan KPK kehilangan satu lagi keistimewaannya dan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini membuat kasus-kasus korupsi yang ada rentan disalahgunakan. “Bisa saja demi kepentingan politis kasus-kasus korupsi yang ada dihentikan.”
Selain keempat hal itu, Faris juga mencurigai bahwa upaya revisi UU KPK ini merupakan titipan kepentingan politik karena tidak memiliki naskah akademik. Padahal menurut undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, mewajibkan setiap perundang-undangan memiliki naskah akademik, “sehingga kita bisa memperdebatkan bahwa ini berasal dari kajian akademik,” Ungkap Faris.
Aksi menolak revisi UU KPK yang dihadiri puluhan orang dari berbagai elemen masyarakat ini kemudian menyerahkan hasil kajian mereka kepada pihak DPRD DIY untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak DPR RI. Dalam Aksi ini, pihak massa aksi tidak melakukan dialog dengan pihak DPRD DIY karena “memang dari pihak massa aksi tidak meminta kami untuk mengadakan dialog. Selain itu para anggota DPRD DIY saat ini sedang melakukan kunjungan kerja ke Jakarta,” Kata Dian Prabanjari, selaku Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) DPRD DIY.
Menanggapi hal tersebut, Faris membenarkan bahwa pihak massa aksi tidak berencana melakukan dialog karena keputusan pembatalan revisi UU KPK ada di tangan DPR RI. “Kami juga tidak ingin adanya dialog hanya dijadikan panggung politik, Artinya di sini (DIY) ada penolakan terhadap revisi UU tersebut, tapi tidak efektif di DPR sana.” jelas Faris.
Dalam Aksi ini, hadir pula para akademisi dari berbagai Universitas di DIY, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Ahmad Dahlan, Unviersitas Islam Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Salah satunya adalah Iwan Satriawan, Akademisi dari UMY. Selain mengkritisi upaya revisi UU KPK, Iwan juga mengkritisi pendidikan yang acuh terhadap permasalahan-permasalahan sosial. Menurutnya saat ini pendidikan terjebak terhadap industrialisasi, sehingga ukuran pendidikan saat ini hanyalah penilaian kuantitatif seperti Indeks prestasi yang tinggi. Pendidikan saat ini kering terhadap penanaman nilai-nilai sosial. Sehingga tidak aneh jika banyak akademisi maupun mahasiswa yang saat ini absen dalam mengkritisi permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia.
“Hari ini saya bawa mahasiswa saya untuk melakukan Aksi. Saya ingin membangun kesadaran sosial mereka” Ungkap Iwan yang juga dosen Fakultas Hukum UMY ini. Ia melanjutkan bahwa Universitas harus hadir di tengah permasalahan ini (Revisi UU KPK). “Percuma sejenius apapun kamu tapi abai akan nilai-nilai sosial.” (Nurcholis Ainul R.T.)