Cerita Kehidupan Petani Pinggiran kota

Ketika ditanya mengenai apa yang Ia suka, jawabnya, “Bangun pagi dan merawat sawah,” Selepas adzan subuh berkumandang, Ia selalu terbangun. Kebiasaan ini mulai tertanam ketika Ia masih kecil. Ia besar dalam keluarga seorang petani, semenjak duduk dibangku sekolah dasar, ayahnya selalu membawanya ke ladang, walau sekedar hanya mencari rumput untuk makan ternak. Baru ketika Ia duduk di bangku sekolah menengah pertama, Ia mulai terbiasa menjalani rutinitasnya sebagai petani.

Pria berperawakan kurus, dengan sedikit sisa uban di kepalanya. Ia tampak tua, otot lengannya terlihat menimbul panjang dan berkelok-kelok. Berpakaian sedikit lusuh dengan warna putih yang berpadu dengan biru, mirip warna baju partisipan salah satu partai di Indonesia.

Yoga, seorang pria berusia 69 tahun yang merupakan salah satu petani di desa Kayen. Tanah garapan yang biasa digunakan Yoga untuk bertani berukuran 500 meter persegi, letaknya tepat di antara sisi timur Plemburan dan di utara desa Siberut. Tempat tinggal Yoga berada langsung di belakang ladang sawah miliknya. Belum lama ini rumahnya baru selesai dibangun. Belum terlihat satupun harta benda yang telah tertata. Dindingnya masih dilapisi semen kasar dan telah mengering ke abu-abuan. Ia dan istrinya tinggal terpisah dengan keempat orang anaknya.

Tak jauh dari tanah milik Yoga, terlihat bangunan hunian yang satu persatu mulai bermunculan, dan menjadi salah satu penyebab menyusutnya lahan pertanian di desa Kayen. Sekitar 300 meter ke utara dari lahan Yoga, terlihat kawasan perumahan dengan sekat beton yang menjulang tinggi sekitar 5 meter ke atas, memisahkan area persawahan dengan kawasan perumahan yang baru saja akan mulai dibangun.

Saya bertemu dengan Yoga di samping rumah miliknya. Ketika itu Ia sedang asik melinting kretek. Saya dan Yoga berbincang santai sembari menunggu air yang mengairi sawahnya meresap ke dalam tanah. Kata Yoga, “Kalo nggak ditunggu nanti keong-keong muncul dan memakan tangkai padi.’’ Keong suka sekali dengan air. Ketika sawah Yoga mulai digenangi air, keong-keong akan keluar dari persembunyian di lubang-lubang kecil, dan mungkin kegirangan memakan tangkai padi milik Yoga. “Keong dan burung, hama yang paling mengancam,” ujar Yoga.

Setelah beberapa saat kami berbincang, saya baru tahu bahwa sawah Yoga dulunya luas, dan sekarang hanya 500 meter persegi saja yang ada di hadapan saya. Jika dihitung-hitung sama dengan ukuran 1 petak bangunan rumah kecil. Kata Yoga, sebagian besar tanahnya sudah dibagi-bagi untuk keempat anaknya. Namun karena tak ada satupun dari anaknya yang mengikuti jejak Yoga, tanah-tanah yang diwariskan dialih fungsikan untuk hunian. Ia sendiri menyisihkan sebagian kecil untuknya dan istrinya seluas 500 meter persegi yang difungsikan sebagai ladang sawah. Ketika saya tanya mengapa penyusutan lahan pertanian menyusut, jawabnya karena sebagian petani sudah berusia senja, sedangkan anak-anaknya tak ada yang tertarik untuk bertani. “Kalo sekarang saluran irigasi sudah susah, lahan sudah kurang produktif,” ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir penyusutan lahan pertanian di kawasan Sleman kian tampak. Masalah yang saat ini terjadi dan akan dihadapi kedepannnya adalah laju pertambahan pendudukan kian pesat, hingga mendorong permintaan akan hunian yang masif. Tentunya ini bukan hanya permasalahan yang dihadapi Sleman, kawasan pertanian lain seperti Kulon Progo maupun Bantul juga terkena dampak akan laju pembangunan yang timpang ini.

Pada tahun 2011 penyusutan lahan pertanian di daerah Sleman telah menyentuh angka 169,6 hektar, yang hingga 2015 berkembang hingga mencapai angka 180 hektar pertahun. Padahal dalam Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), telah diatur bahwa lahan pertanian yang dilindungi adalah seluas 35.911 hektare, terdiri atas Kabupaten Sleman seluas 12.377,59 hektare, Kulon Progo 5.029 hektare, Bantul 13.000 hektare, dan Gunung Kidul 5.500 hektare.

Sembari menikmati hamparan sawah yang hijau, walau sebagian sudah berwarna kecokelatan karena lahan yang ditanami jagung telah usai panen, dan pemandangan sedikit kontras karena tak beraturannya lahan pertanian yang bertabrakan dengan hunian, saya menutup perbincangan dengan Yoga sambil menyimpan setumpuk rasa heran dan pertanyaan di kepala, sampai sejauh mana batas petani akan bertahan dalam kemajuan pembangunan. (Arieo Prakoso)

*Sumber Ilustrasi: www.actionaid.org

Skip to content