Buruh Beraksi untuk Berdemokrasi

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – 13 November 2015, Komite Buruh Yogyakarta (KBY) yang terdiri dari 17 serikat buruh melakukan aksi di depan Monumen Tugu Yogyakarta. Aksi ini bertujuan untuk menyuarakan suara-suara buruh yang tidak sepakat dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan nomor 78 tahun 2015.

Aksi yang dimulai pada pukul 20.00 ini, menganggap bahwa PP No. 78/2015 merugikan buruh. Restu Baskara, selaku koordinator KBY menjelaskan, “Tuntutannya tuh soal PP Pengupahan nomor 78 tahun 2015 yang sudah disahkan oleh Jokowi, yang itu sangat merugikan kaum buruh karena upah yang diatur sudah ditetapkan oleh pemerintah, bukan hasil musyawarah antara kaum buruh dengan pengusaha dan pemerintah.”

Berdasarakan press realease yang telah disebar, ada dua poin penting yang menjadi alasan penolakan PP tersebut. Poin pertama ialah terkait standar baru dalam penentuan upah minimun yang kini berpatokan pada besarnya angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Memang terjadi kenaikan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebesar 11,5% di wilayah Yogyakarta, namun kenaikan tersebut dianggap mengabaikan Kebutuhan Layak Hidup (KLH) buruh. Poin kedua penolakan PP Pengupahan ialah soal penyingkiran serikat buruh di dalam menentukan besaran upah kaum buruh. Restu menerangkan hal ini berbeda dengan sebelumnya, dimana dalam penentuan upah buruh diatur oleh Dewan Pengupahan.

Selain itu, dalam aksi ini juga memandang bahwa telah terjadi pelanggaran demokrasi. “Soal demokrasi, PP Pengupahan ini juga membatasi ruang demokrasi serikat buruh,” jelas Restu. Ia menceritakan sebagai contoh pembatasan ruang demokrasi buruh bahwa ada bentuk represifitas yang dilakukan aparat pada tanggal 30 Oktober kepada 25 buruh yang melakukan aksi di Istana Negara. Bentuk represifitasnya seperti dipukul, mobil komando dirusak kemudian ditahan dan buruh-buruh yang ditangkap dijadikan tersangka, sehingga mereka tidak menerima praktek represifitas dari rezim pemerintahan sekarang. “Ini bentuk pengekangan demokrasi, bentuk pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia –red) yang tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah,” tegas Restu.

Restu juga mengatakan bahwa PP Pengupahan ini melanggar undang-undang di atasnya, yaitu Undang-undang Dasar 1945, sehingga ia menyebutkan bahwa PP Pengupahan ini inkonstitusional.

Aksi ini merupakan aksi perdana yang nantinya akan dilanjutkan dengan rapat akbar pada 15 November 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pukul 13.00. Rapat akbar tersebut akan membahas konsolidasi buruh se-Yogyakarta dalam aksi mogok nasional yang akan dilaksanakan pada 24-27 November mendatang.

Restu menjelaskan aksi ini menawarkan solusi bagi pemerintah sebagai subtitusi pencabutan PP Pengupahan. “Pertama untuk menyejahterakan masyarakat itu yang harus dilakukan adalah menasionalisasikan aset-aset vital strategis, misalnya emas dinasionalisasi, bukan diserahkan kepada perusahaan asing di bawah kontrol rakyat. Yang kedua membangun indutrialisasi nasional yang kuat dan mandiri. Yang ketiga melakukan reforma agraria sejati. Nah, itu platform yang selalu kita tawarkan pada negara.”

Hal ini sesuai dengan press release yang menyebutkan ada tujuh tuntutan massa aksi, yaitu 1. Wujudkan upah layak nasional untuk menciptakan kesejahteraan kaum buruh Indonesia; 2. Nasionalisasi aset strategis dibawah kontrol rakyat; 3. Bangun industrialisasi nasional yang kuat dan mandiri; 4. Laksanakan reforma agraria sejati; 5. Cabut semua peraturan (produk hukum) yang mengekang demokrasi; 6. Kebebasan berkumpul, berserikat, berpendapat, berorganisasi, berideologi; 7. Lawan represifitas negara. Aksi ini kemudian diakhiri dengan menyanyikan lagu Internationale oleh massa aksi. (Haninda Lutfiana U.)

Skip to content