Perang Islam Melawan Pendidikan

Pendidikan selalu direlasikan dengan ekonomi. Kita seolah sudah menyerah pada sistem dan tak mau mengkritik lagi hakikat pendidikan. Kemajuan industri, teknologi informasi, dan modernisasi secara nyata mengubah cara pandang manusia bahwa pendidikan adalah investasi ekonomi semata.

Kekeliruan pemikiran seperti itu diawali dari batasan otomatis yang menganggap pendidikan sebagai sekolah an sich. Menurut Agus Suwignyo (2008), pemahaman itu mengabaikan dua hal. Pertama, mengabaikan keseluruhan aspek-aspek yang membangun pendidikan, yakni aspek pemahaman dan aspek pedagogi. Kedua, mengabaikan urgensi keterlibatan tanggung jawab berbagai pihak (orang tua, masyarakat, sekolah).

Memahami pendidikan semata sebagai sekolah telah melemparkan segala tanggung jawab pendidikan seseorang hanya pada sekolah. Seolah, hanya sekolah penafsir tunggal konsep pendidikan. Padahal, menurut Driyarkara, dalam Agus Suwignyo, konsep pendidikan adalah abstraksi dari praktik riil yang telah terjadi dalam masyarakat kebudayaan mana pun. Pendidikan telah menjadi realitas dalam realitas. Dia tidak disadari, tetapi dialami, dilaksanakan dalam hidup yang konkret. Pendidikan sebelum menjadi kebenaran yang dipikir, sudah menjadi verite vecue, kebenaran yang dialami.

Realitanya, sekolah saat ini tak lebih dari sekadar pabrik yang bertugas mencetak tenaga terampil. Sekolah hanya mencetak manusia-manusia berwatak mesin yang tenaga dan pikirannya hanya untuk memproduksi simbol-simbol materi duniawi. Terlebih sistem perguruan tinggi yang terpaksa mengalah terhadap permintaan pasar tenaga kerja. Perguruan tinggi sudah lama kehilangan wibawanya karena hanya ikut membangun “kekuatan ekonomi baru” daripada “struktur sosial baru”. Perguruan tinggi tak bisa dibedakan lagi dengan lembaga kursus.

Mungkin perlu penelitian yang melelahkan untuk mengetahui kapan dan di mana pemahaman pendidikan adalah sekolah, dimulai. Justru yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mengubah pemahaman yang keliru itu, apa landasan yang tepat untuk mengkonstruksikan hakikat pendidikan.

Di sini umat Islam harus berkepentingan. Umat Islam harus mengambil peran dalam mengonsep pendidikan. Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, pasti Islam punya prinsip tentang pendidikan. Konsep-konsep pendidikan saat ini, telah nyata berorientasi pada materi. Keluaran generasi pendidikan seperti ini berpotensi menggunakan ilmu pengetahuan hanya untuk mengeksploitasi sumber daya alam, membodohi masyarakat agar mudah ditindas, yang jelas tujuan akhirnya untuk pemenuhan materi duniawi. Jelas, ini bertentangan dengan Islam!

Tujuan pendidikan Islam lebih dulu untuk memperkuat keimanan, tahu dan kenal tentang ke-Esa-an Allah. Bukan malah memprioritaskan materi. Penjabaran makrifat (pengenalan) Allah dalam karya Buya Hamka, yakni Falsafah Hidup menarik untuk dijadikan alternatif landasan filosofis pendidikan Islam. Menurut beliau, makrifat pada Allah terbagi tiga tingkat. Tingkatan yang tertinggi, yang menengah, dan yang terendah. Tingkatan tertinggi telah dicapai oleh nabi-nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.

Tingkat menengah ialah makrifat yang didapat dengan jalan zhan, yang berarti yakin, meskipun belum sampai pada derajat yakin yang sejati. Itulah yang disebut Allah, “Orang yang telah berat sangkanya (telah yakin) bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah 2:46).

Tingkat terendah ialah yang imannya kepada Allah hanya ikut-ikutan, taklid atau keturunan. Orang yang begini masih dekat dengan syirik. Sebagaimana firman Allah, “Dan tidaklah beriman kebanyakan mereka dengan Allah melainkan mereka musyrik.” (QS. Yusuf 12:106).

Masih menurut Buya Hamka, makrifat tertinggi kenal akan Allah sebagai perkenalan dari dekat. Makrifat menengah, kenal dari jauh. Makrifat terendah kenal dari jauh tetapi berdinding.

Kita sebagai umat Islam semestinya merenungi tingkat ke-makrifat-an itu lalu mengoperasionalkannya dalam wacana pendidikan. Setidak-tidaknya pendidikan ala Islam mampu mengantarkan umat sampai derajat makrifat menengah. Yakin benar Tuhannya, tahu untuk apa manusia diciptakan oleh Tuhan. Sejatinya, manusia diciptakan sebagai khalifah untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan untuk golongan tertentu apalagi sekadar mempertebal uang di kantong pribadi.

Umat Islam harus keluar dari jebakan pemikiran pragmatis, yang menganggap pendidikan adalah investasi ekonomi semata. Umat Islam harus berani melawan arus pendidikan berorientasi materi yang sampai saat ini sulit untuk dilawan. Meskipun materi itu penting, namun jangan sampai pendidikan ala Islam melahirkan generasi yang hanya mengukur kesuksesan dari segi materi saja.

Pangkal dari peperangan, perampasan, penindasan yang terjadi saat ini adalah mental serakah segelintir manusia. Bila ditelusuri lebih dalam, penyebabnya karena orientasi pendidikan (sekolah) hanya tertuju pada materialisme.

Inilah perang Islam sesungguhnya. Bila ada lembaga pendidikan yang tak berani berperang melawan wacana pendidikan yang materialistis tersebut, lembaga itu patut dilabeli lembaga pecundang, karena enggan mencoba lebih dulu. (Muhammad Hanif Alwasi – Mahasiswa Jurusan Arsitektur 2010/Redaktur Artistik LPM Himmah UII 2014-2015)

Podcast

Skip to content