HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Selasa 23 Febuari 2015 Forum Umat Islam (FUI) diwakili oleh Angkatan Muda Forum Ukhuwah Islamiyah (AMFUI) melakukan aksi di depan monumen Tugu Yogyakarta. Aksi ini dimulai sejak pukul 14.00 WIB.
Andreago Fuad selaku Koordinator Lapangan aksi menjelaskan bahwa aksi ini bertujuan untuk menyuarakan penolakan atas propaganda Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Ia memandang bahwa pelaku LGBT saat ini semakin menutut legalitas, menutut eksistensi di ruang-ruang publik dan lainnya. “Ini ancaman bagi kami, warga kami, seluruh anak-anak kami,” ujarnya.
Hal ini juga dijelaskan dalam siaran pers Aksi Penolakan LGBT oleh AMFUI yang menyepakati enam poin. Pertama, menolak adanya gerakan LGBT yang hendak meminta perlindungan negara dengan legalitas di dalam udang-udang. Kedua, mendukung segala upaya masyarakat yang menolak dan anti terhadap gerakan legalisasi LGBT dan pendukungnya, serta siap menyatakan perang selamanya terhadap segala bentuk usaha untuk melegalkan gerakan LGBT. Ketiga, menuntut lembaga pemerintahan, Kepolisian, TNI, dan seluruh lembaga yang terkait untuk mengadakan suatu upaya konkret dalam rangka pemberantasan LGBT.
Keempat, AMFUI akan bersikap tegas dan mengambil tindakan protektif kepada masyarakat dari pengaruh LGBT jika mereka hendak menyebarkan perilakunya, lalu melaporkannya kepada aparat yang berwajib. Seandainya tidak ada tindakan tegas dari aparatur negara untuk membina atau menghukumnya (pelaku LGBT), mereka mengatakan akan melakukan apa yang telah disyariatkan dalam Islam yaitu hukuman bakar, rajam atau hukuman penjatuhan dari tempat tertinggi kepada pelaku LGBT.
Kelima, AMFUI bersama Ulama dan Umat Islam Yogyakarta menyerukan kepada seluruh masyarakat di Indonesia untuk melarang eksistensi gerakan LGBT. Menjaga sanak kerabat dari para pelaku LGBT dan mendesak pemerintah Indonesia untuk memberantas LGBT yang notabene adalah underbow gerakan Zionis Freemason Internasional.
Keenam, menyerukan para pelaku LGBT agar segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dan kembali pada fitrah manusia, hidup normal dengan syariat Islam yang kaffah, dan siap memfasilitasi pembinaan LGBT yang menginginkan kesembuhan.
Pada waktu yang bersamaan, di lapangan parkir McDonald’s Jalan Sudirman Yogyakarta, juga terdapat aksi demonstrasi dengan tuntutan yang berlawanan. Massa aksi yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) ini, melakukan aksi solidaritas menolak diskriminasi terhadap kelompok LGBT. SPD yang di dalamnya terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, aktivis, dan individu pro demokrasi ini menyatakan bahwa mereka bersatu dalam kekuatan rakyat untuk merebut kembali ruang demokrasi.
Mereka menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan aksi tandingan terhadap aksi yang dilakukan oleh AMFUI.
Berbeda dengan aksi yang dilakukan AMFUI, aksi yang dilakukan oleh SPD tersebut dijaga ketat oleh pihak kepolisian, terlihat ratusan personel kepolisian berjaga di sekeliling massa aksi SPD. Ani selaku humas SPD juga mengatakan bahwa sempat juga terjadi insiden saling dorong antara pihak Kepolisian dan massa aksi. “Tadi sempat terjadi tiga sampai empat kali (penerobosan aparat keamanan –red), berkali-kali kita coba terus,” ungkapnya.
Ia melanjutkan bahwa akibat insiden tersebut ada 12 orang massa aksi SPD yang mengalami luka ringan dan kekerasan seksual. “Tadi satu orang dilarikan ke kepolisian karena dipukul di bagian yang rentan. Jadi langsung jatuh,” tambahnya.
Ia menuturkan sejak pukul 13.00 WIB massa aksi diberitahu bahwa proses pengajuan surat perijinan cukup sulit. Padahal menurutnya tidak ada alasan bagi negara untuk tidak menerima surat pemberitahuan aksi, meskipun satu jam sebelum pelaksanaan. Ia beranggapan bahwa banyak birokrasi yang aneh.
Ani juga menjelaskan lebih lanjut bahwa aksi yang mereka lakukan menurut pihak kepolisian memiliki potensi konflik sehingga pihak kepolisian menyarankan untuk tidak melakukan aksi. Tapi berdasarkan hasil konsolidasi, mereka sepakat untuk melakukan aksi damai untuk menunjukkan ruang demokrasi yang seutuhnya di Yogyakarta.
“Kami sifatnya adalah aksi damai, aksi demokratik, dimana saling menghargai. Ini adalah ruang demokrasi yang harus dibuka, kontestasi yang berbeda itu tidak masalah. Yang menjadi masalah itu adalah ketika banyak pihak mencoba memoderasi itu dan negara abai,” tambahnya.
Dalam aksi solidaritas ini, SPD menyatakan sikap dalam enam poin. Yang pertama, seruan kepada seluruh elemen pro demokrasi dan rakyat untuk melakukan konsolidasi gerakan dan solidaritas untuk merebut kembali ruang-ruang demokrasi. Kedua, hentikan ujaran kebencian kepada kelompok minoritas dan marginal. Ketiga, mengecam dan menentang homophobia, transphobia, diskriminasi, intimidasi, fasisme, rasisme, sikap intoleran, stigma, kekerasan kepada kelompok minoritas, diantaranya LGBT. Keempat, turunkan spanduk berisi kebencian LGBT dari Yogyakartakarta. Kelima, menuntut media dan pers menjalankan kode etik jurnalistik dalam pemberitaan LGBT dan melakukan pemberitaan yang berimbang. Terakhir, menuntut negara memenuhi hak rakyatnya yakni hak atas rasa aman, hak kebebasan berideologi, hak berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, hak menentukan identitas, orientasi seksual dan ekspresi gender, hak politik, hak ekonomi, sosial dan akses di dunia pendidikan yang sama untuk semua.
“Pernyataannya adalah satu, bahwa kita berhasil melakukan klaim kembali Yogyakarta yang demokrasi, Yogyakarta yang bisa mewadahi semuanya. Walaupun tadi situasinya seperti itu kita tetap bertahan. Sudah banyak pergerakan atau sejarah yang dipukul mundur dan kawan-kawan sudah bosan dengan hal yang seperti itu,” tukas Ani.
Ani menjelaskan tidak ada tujuan terkait pemilihan tempat aksi. Ia berpendapat bahwa, “Hari ini ruang publik disini kini semakin sulit, ruang yang gratis juga kini semakin sulit, ruang untuk mengumpulkan kawan-kawan hampir tidak ada,” tegasnya.
Pada aksi solidaritas ini, SPD didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk tetap berada di jalur demokrasi. Abdul Safri Tuakia, Asisten Pembantu Umum LBH Yogyakarta menjelaskan, “Ketegangannya itu kan teman-teman massa aksi itu mau menyampaikan aspirasinya tetapi dia terkendala izin dari pihak kepolisian. Untuk mengekspresikan kekesalan mereka karena tidak diberi izin untuk menyuarakan aspirasi, mereka melakukan demonstrasi, melakukan orasi, nah pada saat itu polisi juga terprovokasi dengan berbagai orasi dari teman-teman. Ketika ada gesekan seharusnya polisi itu tidak bisa memukul apalagi menendang perempuan, tapi pada kenyataannya ada yang di dorong dan ada yang ditendang.”
Ia pun menjelaskan bahwa tim LBH sudah menawarkan win-win solution kepada pihak kepolisian yakni kedua unsur aksi ini dapat saling bersebelahan dengan barikade polisi sebagai pemisahnya, namun tawaran mereka ditolak dengan alasan akan menimbulkan konflik. LBH pada kali ini tidak memilliki kewenangan untuk melakukan advokasi dengan massa aksi AMFUI, mereka hanya memiliki kewenangan untuk berdialog dengan kepolisian.
Safri menjelaskan terkait perizinan secara normatif massa aksi SPD sudah bisa melakukan demo, tapi terjadi diskresi dari pihak kepolisian. Menurutnya, Kapoltabes yang berada di temapt mengungkapkan kalau aksi mereka (SPD –red) tidak bisa diadakan di hari yang bersamaan dengan aksi AMFUI dengan alasan untuk menjaga ketertiban umum. Ia pun menambkan, ”Dalam UU No 9 Tahun 1998 pemberitahuan doang jika ingin melakukan aksi, setelah pemberitahuan kita akan menerima surat tanda terima. Tanda terima udah udah ada di saya.”
Terkait perizinan, Kapolresta Yogyakarta Kombes Pol. Pri Hartono E.L., S.Ik, menjelaskan bahwa aksi AMFUI sudah mengajukan perizinan seminggu sebelum pelaksanaan. Namun perizinan untuk aksi SPD datang pada hari pelaksanaannya yakni pukul 11.00 WIB. Ketika ditanya siapa korlapnya pun mereka tidak bisa menjelaskan. Setelah kepolisian sampai di McDonald’s Sudirman, mereka baru menjelaskan akan melakukan penyampaian aspirasi. Penempatan aparat keamanan di Tugu untuk mengawasi aksi AMFUI sebanyak 300 orang, sedangkan untuk pengamanan aksi SPD di McDonald sebanyak 250 orang. (Haninda Lutfiana Utami)