Himmah Online, Yogyakarta – Presiden Joko Widodo resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar mulai tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB.
Harga BBM jenis pertalite yang semula sebesar Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Sementara harga BBM jenis solar yang semula sebesar Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Sedangkan untuk harga Pertamax yang semula Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM beralasan karena sekitar 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, menilai pemanfaatan bahan bakar minyak bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan ataupun kebijaksanaan.
“Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80% pertalite dan 95% solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu. Sehingga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan atau pun kebijaksanaan,” ujarnya dalam diskusi yang digelar melalui saluran Zoom pada Soft Launching Melek APBN Chapter Jabodetabek dan Talkshow, Sabtu (10/9/2022).
Berly mengatakan faktor yang mendorong harga minyak dunia naik hingga menembus angka US$ 100 per barel adalah pemulihan ekonomi setelah Covid-19 mereda dan invasi Rusia ke Ukraina.
Menurutnya, kompensasi yang dianggarkan dalam APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga pertalite dan solar.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Namun angka penambahan tersebut ternyata masih tidak cukup, sehingga ditambah lagi anggaran subsidi BBM sebesar Rp195,6 triliun.
“Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15% dari APBN 2022 alias melebihi semua kategori belanja lain, kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN, yaitu stabilisasi, distribusi, dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitas dalam konteks ini harga pertalite dan solar ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya,” kata Berly.
Berly menambahkan bahwa realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan, sehingga kenaikan harga transportasi publik perlu dihitung seksama supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi.
“Pada pertumbuhan kuartal II-2022 inflasi menembus 5,4% dan terjadi deflasi 0,2% pada Agustus. Saat ini opsi kebijakan yang least worse atau lebih buruk adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak,” terangnya.
Berly meminta pemerintah menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan dan perbaikan transportasi publik di wilayah urban.
Selain itu, dia juga meminta penetapan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40% atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah.
Reporter: Himmah/Siti Tabingah
Editor: Nadia Tisha Nathania Putri