Film Dokumenter Sebagai Advokasi Sosial

HIMMAH ONLINE, Semarang – Minggu, 28 Agustus 2016, Dhandy Dwi Laksono menyempatkan untuk berdiskusi dengan beberapa jurnalis di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Semarang. Dhandy mampir ke kantor AJI Semarang setelah mengisi acara di Festival Jurnalistik sebagai pemateri yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manunggal, Universitas Diponegoro (Undip). Dhandy adalah seorang jurnalis senior yang saat ini menjabat sebagai CEO Watchdoc Documentary. Pada diskusi tersebut, Dhandy menceritakan pengalamannya dalam menggarap film dokumenter termasuk film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru.

Film Ekspedisi Indonesia Biru mulai digarap pada tahun 2015. Dhandy bersama dengan jurnalis Ucok Suparta mengelilingi Indonesia selama setahun dan merekam setiap permasalahan yang ada di daerah, kemudian menuangkannya melalui sebuah karya film dokumenter.

Terkait film Ekspedisi Indonesia Biru, Dhandy mengaggap bahwa itu bukanlah karya jurnalistik. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, salah satunya yaitu tidak memungkinkan untuk memasukan elemen-elemen jurnalistik seperti disiplin verifikasi. Dirinya juga menganggap bahwa sebelum penggarapan pun Ia sudah jelas menempatkan keberpihakannya. “Saya sudah tidur disalah satu pihak, gak punya duit, numpang makan di pihak itu, ya sudah gak mungkin secara elemen maupun secara fundamental untuk jadi karya jurnalistik,” ujarnya.

Dhandy menceritakan salah satu filmnya yaitu Samin vs Semen, dimana sebelumnya Ia berniat membuat depth reporting. “Awalnya memang karena latar belakang kami jurnalis, jadi ingin membuat semua liputannya jadi karya jurnalistik, tapi ternyata karya jurnalistik itu mahal, karena hampir semua yang kami lakukan mengandalkan observasi, mengandalkan aktifitas lapangan,” ujarnya. Di lapangan, langkah-langkah memasukan elemen-elemen jurnalistik susah dilakukan, dan hanya membuat karya film dokumenter dengan mengambil satu sudut pandang yaitu masyarakat Samin yang menolak pabrik semen. Sebelumnya, Dhandy menceritakan bahwa Ia berusaha untuk meminta beberapa pihak dari warga pro semen untuk bercerita, namun pihak warga pro semen tersebut tidak mau bercerita. “Warung-warung pro semen itu saya datangi semua, ajak ngobrol, tapi giliran ngeluarin kamera  dan difilmkan mereka gak mau,” ceritanya. Dhandy juga sempat ingin menemui pihak perusahaan semen, namun dihadang oleh pihak keamanan perusahaan.

Selain film Samin vs Semen, Dhandy bercerita tentang film The Mahuzez. Film tersebut menceritakan tentang Suku Malind yang tinggal di pelosok Merauke, mereka mempertahankan lahannya dari cengkraman proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang direalisasikan melalui pembukaan sawah baru dengan luas mencapai 1,2 juta hektar (Ha). “Ada beberapa wacana dan kutipan yang menganggap penggusuran hutan dan rawa-rawa itu dilakukan oleh pihak Kopassus, Koramil, atau Polisi. Nah, secara kaidah ketika kita berani mengambil kutipan tersebut, maka kita harus memberikan kesempatan mengenai benar tidak yang mencabut patok itu orang Kopassus, benar tidak kontraktor itu Polisi, atau benar tidak yang punya beko itu anggota Kodim,” jelasnya. Pada saat itu, dirinya mengakui bahwa aparat seperti Koramil, Kopasus, maupun pihak perusahaan sudah mengetahui bahwa Dhandy akan memfilmkan permasalahan di Mahuzez. Lantas, sangat tidak memungkinkan bagi dirinya untuk melakukan verifikasi terkait beberapa hal, seperti patok yang dicabut dan adanya mobil beko yang beroprasi karena alasan keselamatan. Terlebih lagi, Dhandy bukan mengatasnamakan media manapun yang dapat dikenali, tidak ada lembaga yang siap melindungi jikalau kondisi keamanan membahayakannya. Kondisi di lapangan seperti itu yang menurut Dhandy sangat tidak memungkinkan melakukan disiplin verifikasi.

Tidak Hanya Promosi, Tapi Juga Advokasi Sosial

Sebelumnya, di acara Festival Jurnalistik LPM Manunggal Undip, Dhandy sempat memberikan komentar dalam menanggapi semakin gencarnya promosi pariwisata seperti salah satu program pemerintah yaitu destinasi wisata 10 Bali baru. Menurutnya, pers harus memberikan wacana tidak hanya hiburan berupa promosi tapi juga memberikan advokasi sosial, mengingat bahwa pers juga berfungsi sebagai social control Diskusi di AJI Semarang pun, Dhandy juga membahas advokasi sosial yang Ia lakukan melalui film dokumenter, salah satu filmnya yaitu Para Petani dari Balik Kabut dan Surga Kentang Ranupani.

Dari film tersebut, Dhandy menggambarkan bahwa, masyarakat Tengger adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Namun, Dhandy mendapati permasalahan bahwa ketika jumlah penduduk semakin bertambah petani Tengger tidak bisa melakukan perluasan lahan dikarenakan batas kawasan konservasi, ditambah lagi sedimentasi tanah, dan kemiringan tanah. “Bukan mengatasi tanah miring dengan terasering, memperbaiki pola tanam, pemerintah malah mendorongnya jadi desa wisata,” jelas Dhandy. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) pun diubah menjadi desa wisata. “Ini bukan desa yang ketika kita masuki, penduduk-penduduknya pada nganggur, main gaple, main catur, sehingga perlu investor untuk memberdayakan, bukan seperti itu, tapi ini desa yang penduduknya sibuk semua dengan aktifitas pertanian. Jadi, ketika desa ini mau disulap jadi desa wisata, kira-kira apa yang terjadi?” tuturnya. Dhandy melanjutkan bahwa akan terjadi kerusakan ekologi dan kerusakan lahan. Ditambah lagi dengan program pemerintah yang baru-baru ini mentargetkan 20 juta turis untuk kawasan Bromo Semeru. “Kapasistas Semeru itu 500 orang untuk didaki, semenjak film 5 cm tiap tahun ada 45 ribu pendaki, belum lagi target 20 juta turis untuk kawasan Bromo Semeru,” jelasnya. Dhandy menambahkan bahwa nasib petani kentang masyarakat Tengger sudah bisa ditebak akan seperti apa. “Sudah bisa diramalkan kapan kiamat desa penghasil kentang ini, dan wacana desa wisata mendorong kimat semakin cepat,” tambah Dhandy.

Senjakala Media Cetak, dan Terbitnya Jurnalisme Video

Ada pertanyaan dari kawan-kawan Pers Mahasiswa (Persma) terkait penggunaan jurnalisme pada media audio video. Dhandy kemudian menjawab dan bercerita bahwa empat tahun lalu dirinya sempat membantu LPM Teknokra Universitas Lampung (UNILA) dalam peralihan menuju Persma yang mengandalkan media audio video. Ia melanjutkan bahwa LPM Teknokra sudah bertransformasi dari cetak ke video, dengan mengadakan training seminggu untuk melatih kemampuan jurnalis dan teknik video jurnalis. “Padahal kemampuan mereka  untuk menggarap media cetak juga gak cetek-cetek amat, tapi mereka mempunyai kesadaran, bahwa lama-lama orang sudah gak baca cetak lagi,” tuturnya. Dhandy menganggap bahwa hal ini menjadi tantangan bagi kawan-kawan Persma untuk bermigrasi, walaupun tidak secara total, namun sudah punya unit-unit media lain. “Memang ini berita buruk, ditengah kampanye berliterasi dan semangat membaca, tapi fakta nya hari ini audio visual lebih efektif, sudah beralih dari masyarakat membaca jadi masyarakat menonton,” paparnya. Lebih lanjut Dhandy berkomentar tentang karyanya. “Saya juga memanfaatkan oportunisme pasar lewat audio video, tapi dengan tema-tema advokasi sosial, mumpung orang lagi gila-gila nya nonton,” komentarnya. (Fahmi Ahmad B.)

Skip to content