Himmah Online – Intimidasi dan kekerasan di lingkungan kerja masih sering ditemui, khususnya berbasis gender. Dalam hal ini, perlakuan yang tidak proporsional masih banyak dialami oleh pekerja, terlebih oleh para pekerja perempuan yang berakhir menjadi pekerja yang lebih rentan. Pekerja perempuan menerima sikap dan perlakuan berdasarkan stereotip yang menempel pada dirinya, yang tidak hanya dilakukan oleh atasannya, tetapi juga rekan sejawat.
Atas dasar hal tersebut, Ikatan Buruh Perempuan menyelenggarakan diskusi pada Kamis (25/02), dengan tema “Intimidasi dan Kekerasan di Tempat Kerja” melalui medium Zoom serta Live Streaming di Facebook Marsinah FM.
Diskusi diisi dengan tiga pembicara perempuan yang memiliki bahasannya tersendiri mengenai intimidasi dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, diantaranya adalah Rustiati Ningsih dari Serikat Pekerja Danamon; Mariyati Siregar selaku Koordinator Bidang Perempuan dan Pemuda dari Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT); dan Kasyati dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia.
Rustiati Ningsih menceritakan bagaimana ia pada tahun 2018 silam mengalami intimidasi dari atasannya. Intimidasi yang dialami Ningsih saat itu dikarenakan adanya tuntutan supaya ia mau menandatangani surat pembinaan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), padahal sejak awal ia menolak.
Mulai dari bentuk panggilan-panggilan melalui telepon, juga dikirimkannya surat elektronik, yang dalam sehari bisa ia terima dua sampai tiga kali. Tekanan intimidatif yang diterimanya semata-mata agar ia mau hadir di kantor wilayah menemui atasannya kemudian memberi persetujuan terkait surat pembinaan PHK.
Meski sudah mendapat banyak tekanan, Ningsih tetap menolak. “Mungkin karena sudah berulang kali bos meminta saya untuk tanda tangan dan saya tetap menolak, saya tetap bersikukuh, saya tidak akan tanda tangan, akhirnya ia (bos–nya) memerintahkan salah satu bawahannya untuk mengunci pintu,” sambungnya, pada malam itu.
“Jangan biarkan dia pulang, jangan biarkan dia keluar!” Ningsih menceritakan kejadian beberapa tahun silam. Tekanan itu dilakukan terhadapnya setelah selama dua jam lebih berada di ruang rapat.
“Saya merasa saya tidak punya pilihan lain, akhirnya saya terpaksa tanda tangan surat pembinaan itu,” lanjut Ningsih. Meski demikian, saat itu ia tetap menyampaikan ketidaksetujuannya, dan ia menandatangani surat itu dengan keterpaksaan, Ningsih tidak setuju kalau diakhiri dengan PHK.
Beberapa hari setelahnya, Ningsih mendapat Surat Peringatan (SP3) dari atasannya beserta kertas yang sudah terpaksa ia tandatangani sebelumnya yang intinya berisikan komitmen namun sesuai dengan keinginan atasannya. Ningsih pun kembali diminta untuk bisa merealisasikan keinginan atasannya, dengan iming-iming jika ia bisa, ia akan diloloskan.
Akhirnya Ningsih melakukan konsultasi dengan serikat pekerja. Setelah konsultasinya itu, Ningsih mengirim surat elektronik untuk para atasannya, hingga ke tingkat direksi. Ia menyatakan penolakannya dan menceritakan kronologis kejadian intimidasi yang ia alami. Namun, hasil dari sikapnya itu, Ningsih pun mendapatkan penurunan jabatan. Semula ia yang seorang pimpinan cabang, dijadikan karyawan marketing biasa hingga saat ini.
Selanjutnya, Mariyati Siregar menyampaikan bahwa kelompok pekerja perempuan seringkali diperlakukan secara tidak proporsional, baik terhadap ancaman kekerasan di tempat kerja, hubungan yang tidak setara, gaji yang lebih rendah, maupun pelanggaran lainnya; sehingga mengekspos pekerja perempuan pada eskalasi terhadap kondisi kerentanan.
Pekerja perempuan acap kali ditempatkan pada bentuk pekerjaan yang tidak bersifat informal, berpenghasilan rendah, dan perlindungan pekerja yang buruk. “Ini membuat kawan-kawan pekerja perempuan rentan terhadap pelecehan fisik, verbal, dan kekerasan,” tambahnya.
Kondisi ini diperparah dengan kerentanan ekonomi dan pendidikan, sehingga menjadikan pekerja perempuan bergantung pada majikan yang eksploitatif dan perekrutan yang kurang etis dan terstandar. Menurutnya, perlu adanya standar yang optimal terkait kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, sehingga ada peningkatan pencegahan resiko terjadinya kasus kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja.
Kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja bisa dikategorikan menjadi penyerangan fisik, verbal atau nonverbal, dan juga perilaku kasar yang bersifat seksual. Hubungan kekuasaan yang tidak sehat ini menurut Mariyati ditunjukkan dalam hal kekerasan psikologis atau moral. Ia menambahkan, “penindasan biasanya ditemukan dengan tujuan mempermalukan atau melecehkan seseorang.”
Kekerasan mempengaruhi pekerja dalam situasi yang rentan, termasuk pekerja perempuan, ataupun pekerja dengan ras tertentu. Perempuan yang mengalami diskriminasi berlapis akan terpengaruh secara tidak profesional dan proporsional di tempat kerja. Mariyati menambahkan, “dalam beberapa kasus, hal seperti ini menimpa pekerja hotel, pelayan bar, perawat, pekerja sosial, buruh, dan pekerja toko.”
“Pekerja perempuan dengan profesi tertentu beresiko lebih tinggi mengalami kekerasan,” sambung Mariyati. Misal, bagi mereka yang harus bekerja di malam hari, seperti pekerja pelabuhan, pekerja kafe, pekerja pabrik, dan lain sebagainya.
Mariyati menyebutkan, World Health Organization mencatat lebih dari 35% wanita di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan; fisik dan seksual. “Studi kasus di Jepang, Malaysia, Filipina, serta Korea Selatan menunjukkan bahwa 30-40% perempuan mengalami pelecehan seksual,” tuturnya.
Kekerasan dalam rumah tangga pun dapat berdampak negatif pada kinerja, keselamatan, dan produktivitas di tempat kerja. Beberapa strategi dalam menangani kekerasan domestik yang bisa berpengaruh dalam lingkungan kerja meliputi kesadaran, peningkatan perlindungan, dan pemberdayaan perempuan dalam bentuk undang-undang.
“Di Indonesia sendiri, UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak kunjung selesai, tentu ini sangat disayangkan,” Mariyati menambahkan. Ia kemudian mengatakan bahwa pengembangan materi, pendidikan, dan pelatihan turut berperan dalam konteks penguatan perlindungan pekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Mariyati berharap semua pihak bisa saling berbagi pembelajaran terkait peran serikat pekerja dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Ia juga berharap posisi kolektif yang kuat bisa dibangun dalam kontribusi penguatan aturan standar tentang kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja.
“Kekerasan dan pelecehan jelas mempengaruhi pekerja perempuan dalam kondisi kerja yang paling rentan,” sambungnya.
Reporter: Nadya Auriga D.
Editor: M Rizqy Rosi M