Himmah Online – Sejarah pergerakan perempuan di Indonesia tidak akan bisa lepas diawali dari kontribusi oleh organisasi Isteri Sedar. Isteri Sedar merupakan organisasi perempuan radikal yang gencar menyuarakan perjuangannya pada hak pilih bagi perempuan dan menolak poligami.
Didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo, organisasi ini memiliki misi untuk menyempurnakan Indonesia merdeka. Bagi Suwarni untuk mencapai kemerdekaan nasional, kaum laki-laki dan perempuan harus berada pada derajat yang sama.
Isteri Sedar menganggap perjuangan wanita sudah sepantasnya masuk ke ranah politik dan tidak hanya berkontribusi di balik layar saja. Hambatan demi hambatan pun membayangi masuknya perempuan dalam dunia politik sudah ada semenjak Isteri Sedar mulai menyuarakan perjuangannya.
Setelah secara resmi berdiri pada tahun 1930, organisasi yang awalnya bernama Puteri Indonesia ini semakin aktif dalam kegiatannya untuk menyadarkan perempuan-perempuan di Indonesia bahwa mereka memiliki derajat dan hak pilih yang sama dengan laki-laki.
Isteri Sedar lantang menentang poligami dan pernikahan dini. Hal itu terlihat jelas dari ketidaksetujuan Suwarni Pringgodigdo terhadap pidato yang disampaikan oleh Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Suwarni percaya bahwa pernikahan monogami akan membuat kehidupan rumah tangga lebih selaras.
Dalam majalah SEDAR terbitan Isteri Sedar, organisasi ini juga menyatakan wanita harus bebas dalam mengatur hidupnya tanpa perlu dikuasai suami. Begitu pula pada pernikahan dini yang memiliki dampak kurang baik pada kesehatan istri.
Dua hal tersebut kemudian membuat Isteri Sedar tidak terlalu cocok dengan organisasi-organisasi perempuan Islam saat itu.
Awal mula pertentangan dua kubu ini berasal dari Kongres Perempuan Indonesia II yang berlangsung pada tahun 1935. Ratna Sari selaku perwakilan dari Persatuan Muslimin Indonesia saat itu menyampaikan poligami merupakan kewajiban untuk seorang perempuan karena dapat menangkal zina.
Pidato Ratna Sari tersebut lantas memancing Suwarni untuk bereaksi dan turun dari podium, diikuti oleh anggota-anggota Isteri Sedar lainnya. Setelah kejadian tersebut, Isteri Sedar adalah satu-satunya organisasi yang tak pernah menampakkan dirinya lagi dalam sidang-sidang Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII).
Pada tahun 1950, Isteri Sedar dan lima organisasi lain melebur menjadi Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) yang memiliki lima ratus anggota. Organisasi ini memiliki anggota-anggota yang generasinya lebih muda, tetapi masih memiliki hubungan dengan anggota Isteri Sedar.
Peleburan organisasi-organisasi wanita ini terjadi pada tanggal 4 Juni 1950 di Semarang. Selain Isteri Sedar, organisasi lain yang melebur adalah Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar, Gerakan Wanita Indonesia, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia.
Peleburan organisasi dengan latar belakang ketua yang berbeda-beda ini didasari oleh mulai pudarnya semangat persatuan gerakan wanita Indonesia.
Pada saat itu, terdapat dua organisasi perempuan paling berpengaruh di Indonesia, yaitu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerwis.
Anggota Perwari sendiri didominasi kalangan borjuis yang berorientasi pada gaya hidup tradisional Barat dan pada umumnya berasal dari istri pengikut inti Soekarno. Lain halnya dengan Gerwis, organisasi ini umumnya beranggotakan perempuan yang berasal dari lapisan bawah dan buruh.
Gerwis kemudian mengubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada tahun 1954 pada kongres pertamanya. Organisasi ini dianggap dekat dengan PKI karena PKI merupakan partai yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Anggota Gerwani sendiri beranggapan keduanya memiliki tujuan yang sama namun tidak memiliki afiliasi politik. Hal ini diklaim oleh Gerwani, mereka merupakan organisasi massa yang pendiriannya tidak berkaitan dengan partai politik.
Pada akhir tahun 1955, keanggotaan Gerwani dipastikan mencapai satu juta anggota. Meskipun begitu, kedekatan Gerwani dengan PKI membuat hubungan keduanya menjadi tidak bisa dijelaskan.
Di satu sisi, Gerwani menyokong dan mendukung kampanye-kampanye yang dilakukan oleh PKI. Namun, juga terdapat beberapa perselisihan di antara keduanya.
Setelah tragedi G30S, Gerwani dikeluarkan dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan dijauhi oleh organisasi-organisasi perempuan lain karena dianggap telah terlibat dalam tragedi tersebut dan bekerja sama dengan PKI. Gerwani dianggap sebagai wanita-wanita yang melakukan “Tarian Harum Bunga” di malam 30 September 1965.
Meskipun begitu, berdasarkan kesaksian-kesaksian dari beberapa anggota Gerwani, mereka tidak mengetahui agenda kejadian G30S dan malah kebingungan ketika dituding terlibat dalam kejadian nahas itu.
Imbas dari isu-isu tersebut akhirnya membuat ribuan anggota Gerwani menjadi tahanan selama awal masa orde baru. Fitnah-fitnah yang beredar pada masa itu mengenai keterlibatan Gerwani membuat sanksi sosial berlaku bagi anggota-anggota Gerwani dan terduga anggotanya.
Pada tahun 1966, Gerwani secara resmi dilarang dan pada awal kepemimpinan Soeharto, organisasi-organisasi perempuan lainnya harus menyesuaikan diri. Program-program kerja yang telah dilakukan Gerwani pun secara perlahan mulai dihilangkan di Indonesia.
Penulis: Qothrunnada Anindya Perwitasari
Editor: Armarizki Khoirunnisa D.