Kacamata Ekofeminisme dalam Melihat Konflik Wadas

Himmah Online — Pada diskusi publik dengan topik “Menolak Dikeruk: Wadon Wadas dalam Kacamata Ekofeminisme” pada Selasa (22/02) yang digelar Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) melalui Zoom Meeting, Siti Maimunah selaku peneliti dari Sajogyo Institute menuturkan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah sangat berbeda dengan pendekatan ekofeminisme.

“Pendekatan ekofeminisme ini lebih humanis, serta memastikan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.

Perempuan dengan sapaan Mai itu juga berpendapat bahwa pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini adalah pendekatan kapitalisme bersamaan dengan pendekatan patriarki.

Konsekuensi dari pendekatan yang kurang humanis ini pun seolah menjadikan berbagai hal yang dilakukan condong berpusat pada sektor ekonomi dan menggunakan cara-cara yang represif, eksploitatif, serta menindas.

Di samping itu, Puspa Dewi selaku Kepala Divisi dan Kajian Hukum Lingkungan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) berpendapat bahwa sistem patriarki yang masih dominan di Indonesia akhirnya membuat pandangan terkait kasus di Desa Wadas hanya mengenai konflik lingkungan.

Menurutnya, itu pula yang menyebabkan adanya pengabaian terkait ruang kerja perempuan di Desa Wadas terutama dalam ranah sosial, spiritual, dan identitas politik.

“Pekerja perempuan di Desa Wadas bisa kehilangan identitas politik mereka sebagai penganyam karena sumber bahan bakunya yang berasal dari bumi Wadas sudah tidak ada,” imbuh Dewi.

Ia juga menilai bahwa para perempuan masih harus terus berjuang agar perempuan bisa secara masif berpengaruh dalam penyusunan kebijakan dan perundangan. Terutama terkait kebijakan yang berimplikasi pada lingkungan.

“Kalau bicara mengenai perempuan, kita tidak bisa hanya berbicara mengenai konsep domestik tetapi juga sumber daya alam dan lingkungan, karena pada dasarnya ini juga sangat berpengaruh terhadap pekerjaan domestik mereka,” tutur Dewi.

Ia juga berpendapat bahwa kesadaran kritis terkait ekofeminisme terlebih dari para perempuan perlu terus ditingkatkan.

Menurutnya, hal itu pula yang mampu membuat keberadaan ekofeminisme semakin berkembang, serta akan mengubah tatanan dan sudut pandang manusia terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Pada kesempatan itu, Yatimah, salah satu perwakilan Wadon Wadas menegaskan bahwa warga Wadas hanya ingin mempertahankan hak dan tanahnya.

“Kami berjuang untuk anak cucu kelak, bukan melawan pemerintah,” ungkapnya malam itu.

Ia juga menuturkan kekecewaannya terkait sikap beberapa media yang seolah membelokkan realita yang ada. Salah satunya seperti berita yang beredar terkait bagaimana mayoritas warga Wadas menyetujui pembebasan lahan untuk pertambangan.

“Justru warga yang kontra lebih banyak jumlahnya,” pungkas Yatimah.

Yatimah juga menceritakan bagaimana pada 8 Februari lalu, warga Wadas yang menolak penambangan batu andesit berkumpul di Masjid Nurul Huda untuk melakukan mujahadah setelah mendengar akan ada pengukuran tanah dengan pengawalan pihak kepolisian. Namun, polisi justru menangkap sejumlah warga.

“Tapi, kok, polisi menangkap kami, padahal nggak ada yel-yel atau orasi sama sekali waktu itu. Kami juga bingung, pengukuran, kan, di hutan, tapi kenapa mereka banyak sekali yang berjaga di area masjid,” keluhnya malam itu.

Reporter: Nawang Wulan, Ista Setia Pangestu

Editor: Nadya Auriga D.

Skip to content