Budaya Patriarki dan Rape Culture Pada Kekerasan Seksual

Himmah Online, Kampus Terpadu – Lembaga Swadaya Masyarakat Satu Nama bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen dan Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan diskusi Beranda Perempuan #4 dengan tema “Membongkar Akar Kekerasan Seksual” yang berlangsung di kantin terpadu UII, Selasa (31/5). Selaku moderator adalah Nursolikhin (Anggota Yayasan Satunama), dengan narasumber Anastasia Kiki (Komisi Penyiaran Indonesia dan Jaringan Perempuan Yogyakarta), Bambang Muryanto (Jurnalis Jakarta Post dan dewan etik AJI Yogyakarta) dan Adilia Tri H (Pegiat pers mahasiswa Himmah UII).

Solikhin membuka diskusi dengan memaparkan kasus YY, anak kelas VII SMP yang diperkosa 14 laki-laki dan dibunuh dengan tragis. Semenjak kasus itu, serentetan kasus kekerasan seksual dengan berbagai modus bermunculan. Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam, kasus YY timbul akibat pengaruh minuman keras. Namun apakah benar bahwa akar kekerasan seksual adalah minuman keras (miras) atau teknologi dalam hal ini konten pornografi yang semakin mudah didapat?

Kiki yang menjadi salah satu narasumber menceritakan tentang tiga korban pemerkosaan. Korban pertama anak usia lima tahun yang diperkosa dan dibunuh. Korban kedua perempuan usia 21 tahun seorang Sales Promotion Girl yang sering berpakaian mini, pulang malam dan mempunyai banyak teman pria. Terakhir adalah korban pemerkosaan dimana dia adalah Pekerja Seks Komersial (PSK) yang diperkosa oleh langganannya. Dari ketiga kasus tersebut ternyata tanggapan peserta diskusi berbeda, walaupun sama-sama korban kekerasan seksual. Ada yang mewajarkan apalagi yang diperkosa perempuan berpakian minim terlebih seorang PSK. “Padahal tidak ada satu alasan pun yang menjadikan kekerasan seksual itu boleh dilakukan,” ujar Kiki.

Akar kekerasan seksual bukan karena miras atau teknologi tapi budaya yang sudah turun temurun diwariskan. Budaya Patriarki salah satunya. Patriarki adalah sistem sosial dimana menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Hal inilah yang menciptakan adanya relasi kuasa. Relasi kuasa dapat terjadi antara suami istri, pasangan kekasih ataupun guru dan murid. “Kalau seorang guru yang memperkosa murid dan muridnya diancam tidak diberikan nilai apa yang bisa dilakukan oleh korban, begitupun antara bos dan karyawan dengan ancaman pemecatan. Mereka (korban -red) bisa apa kalau sudah diancam begitu” ujar Kiki.

Dari perspektif mahasiswa, Adil memaparkan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual terjadi karena adanya Rape Culture atau pembiaran kasus. Hal ini terjadi karena masyarakat menganggap wajar adanya kekerasan seksual apabila terjadi pada perempuan yang berpakaian minim apalagi PSK. Sekalipun dia PSK apabila dalam hubungan seksual dia tidak mau menerimanya, itu termasuk kekerasan seksual. Hal tersebut diperparah dengan stigma masyarakat yang menyudutkan korban seperti seharusnya dia tidak berjalan sendirian, seharusnya dia tidak pulang malam dan seharusnya-seharusnya yang lain. “Padahal mereka sudah korban tapi masih saja disudutkan,” ujar Adil.

Bambang, Jurnalis Jakarta Post dan Dewan Etik AJI Yogyakarta memberikan sudut pandang dari segi media. Ada dua kemungkinan mengapa kasus kekerasan seksual belakangan ini muncul dengan gencar. Pertama kekerasan seksual ini memang kejahatan yang sangat serius kondisinya saat ini. Kedua kasus-kasus kekerasan seksual yang terdahulu di keep oleh polisi. Orang pertama yang memberi informasi terkait kasus kekerasan seksual ini juga kebanyakan dari polisi. “Entah ada agenda politik apa,” ujar Bambang

Hukuman untuk pelaku kekerasan seksual berupa kebiri dengan zat kimia dan pemasangan cip juga menimbulkan masalah. Ada kecurigaan bahwa terangkatnya kasus kekerasan seksual untuk kepentingan proyek pengadaan zat kimia untuk kebiri dan cip tersebut. Hal seperti itulah yang akan menjadi persoalan. Selain masalah tersebut, pemberitaan media juga belum semuanya sesuai dengan kode etik yang berlaku. Jurnalis jangan hanya sebagai juru tulis dan juru potret., tapi seorang jurnalis harus memberikan perspektif yang benar terkait suatu kasus. “Pemberitaan media terkait kasus kekerasan seksual di Indonesia melanggengkan budaya Patriarki dan Rape Culture,” ujar Bambang.

Pada sesi tanya jawab, Tantowi bertanya bagaimana bisa kekerasan seksual terjadi pada lingkungan yang dekat dengan korban? Kiki mengutarakan bahwa hal tersebut sangat mungkin terjadi. Selain karena budaya dan kegiatan keseharian yang dekat, banyak perempuan yang tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan kekerasan seksual. “Kadang ada sentuhan yang dianggap wajar, tapi sebenarnya itu adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Maka pemahaman ini (kekerasan seksual-red) sangat penting” ujar Kiki.

Pertanyaan berikutnya diajukan oleh Nurcholis, bagaimana kita bisa menganalisis kepentingan di belakang kasus yang sedang terjadi? Bambang menjelaskan bahwa memang tidak bisa menebak secara langsung. Namun kita bisa melihat permasalahan dengan solusi yang ditawarkan. Apabila solusi yang ditawarkan tidak relevan, maka itu perlu dianalisis lebih lanjut. Diskusi diakhiri dengan pernyataan Laras, salah satu peserta diskusi, bahwa perempuan harus tahu seperti apa kekerasan seksual. Hal tersebut agar apabila ada indikasi kekerasan seksual bisa ditanggulangi dari awal.

Skip to content