KIPRAH PEREMPUAN DI PANGGUNG LEGISLATIF

“Perempuan di legislatif adalah mereka yang punya tekad kuat,” tutur Agri, mantan Sekjend DPM U periode 2011-2012

Oleh: Raras Indah F.

Agri Kusumaningrum merupakan salah satu sosok perempuan yang berani terjun ke kancah politik mahasiswa. Mahasiswi Teknik Sipil dan Perencanaan ini menceritakan awalnya ia bisa lolos duduk di kursi legislatif. Visinya sederhana, yaitu mengubah sistem di Keluarga Mahasiswa (KM) UII menjadi lebih baik. Tetapi, siapa sangka hal itu berbuah manis yang sebelumnya tidak ia sangka. “Saya kan masih terbilang baru kalau di lingkungan universitas. Tapi, kemarin kaget juga dapat suara paling banyak. Saya ngga’ tau faktornya apa,” kenangnya.

Kepedulian akan perbaikan sistem lah yang memacu dirinya untuk terus maju tanpa peduli status gender. “Ngga’ ada ingin menunjukkan, wah, wanita bisa juga. Saya mikirnya ngga’ pernah ke sana, sih,” ungkapnya.

KEPEDULIAN PEREMPUAN

Bicara tentang kuota di kursi legislatif, Agri tidak memungkiri bahwa kebanyakan yang duduk di sana adalah laki-laki. Bahkan untuk kursi DPM U periode 2012-2013 sekalipun. Ia memandang hal ini terjadi karena minimnya kepedulian mahasiswi untuk terjun ke organisasi dan lingkungan sosial. “Ah, ngapain sih ikut-ikutan kaya’ gitu. Cape’. Rapatnya nyampe shubuh, terus bolak-balik ke bawah kaya’ gitu,” tutur Agri tentang persepsi legislatif di mata mahasiswi lain. Memang, Agri mengakui ia lebih berminat ke lapangan dibandingkan mahasiswi lain yang menonjol di akademik.

Perempuan di legislatif adalah mereka yang punya tekad kuat. Seperti yang dikatakannya, “Makanya, untuk perempuan, sih, saya lihat lebih ke yang punya fighting, ya. Soalnya di sana banting tulang. Banyak yang dikorbankan, kan.”

KERAS TAPI PUNYA RASA

Dinamika kerja legislatif itu sendiri tidak lepas dari konflik dan tantangan. Ini pun sempat menjadi tekanan untuk Agri. Tapi, dengan karakter kerasnya, ia mampu menghadapi tekanan itu. Ia berani melawan arus argumentasi dari pihak-pihak yang terkadang ingin mendahulukan kepentingannya semata. “Apa yang menurut saya benar, ya harus saya pertahankan. Walaupun saya mesti ngotot di sana,” jawabnya lantang. Menurutnya, perempuan pasti lebih memikirkan pada perasaan dan meyakini kebenaran hati kecilnya. Berbeda dengan laki-laki yang mengandalkan logika.

Ia tidak merasa ada ketimpangan proporsi antara suara laki-laki dan perempuan di legislatif. Meskipun itu pendapat perempuan, selama itu masuk akal pasti akan diterima.

Permasalahan yang terjadi di legislatif pun ia sikapi dengan tenang. “Saya cari dulu penyebabnya kenapa bisa terjadi, terus alasan dari pihak-pihak yang berkonflik. Baru kemudian di-rembugin. Setiap yang dipilih kan ada baik-buruknya. Nanti dipikirkan mana yang baiknya. Jadi, walaupun ada yang dirugikan, tetap bisa mengepentingkan yang banyak,” tutur darah Bengkulu ini.

BUKAN LAGI PATRIARKI

Mahasiswi dengan senyum ramahnya ini mengatakan bahwa di kampus ini tidak ada batasan untuk jumlah keterwakilan perempuan di kursi legislatif. Ia pun menolak jika ada pembatasan politik bagi perempuan. “Disini, siapa saja berhak bersuara. Soalnya kan kita ngga’ di zaman orde lama, ya. Lebih ke demokrasi. Jadi siapa bisa, siapa layak, kenapa ngga’,” tuturnya tegas.

Keprihatinannya akan keengganan perempuan untuk duduk di legislatif masih tercermin kala mendengar pengakuan mahasiswi-mahasiswi lain, “Ngapain, saya punya tugas sendiri sebagai seorang wanita. Saya ngga’ muluk-muluk. Biarlah mereka aja yang cowok-cowok kaya’ gitu,” ungkapnya menirukan pengakuan rekan-rekannya.

Agri tidak setuju dengan pandangan perempuan yang terkesan acuh tak acuh itu. Menurutnya, apa yang ingin perempuan sampaikan, sebaiknya disampaikan saja tanpa membedakan gender. Ia memaklumi, hal itu bisa terjadi sebagai dampak sulitnya persaingan politik yang terjadi.

Berbeda dengan Agri, Sekjend DPM FPSB, Inneke Sachiko Hening Sangrilla Pinem atau yang biasa dipanggil Inne ini maju ke legislatif atas dorongan rekan-rekannya. Keinginannya untuk mencoba hal baru dan ingin lebih dekat dengan mahasiswa lain semakin membuatnya yakin untuk bersaing duduk di kursi legislatif.

PIONEER TANPA LUPA ESENSI

Inne menyadari bahwa jika dipandang dari sisi islam, perempuan memang tidak ditakdirkan menjadi leader. “Tapi kalau kita lihat sekarang di zaman emansipasi wanita, sudah banyak wanita yang maju menjadi seorang pioneer. Saya rasa perempuan memang harus lebih tap dibandingkan laki-laki,” tandasnya. Seperti pepatah yang ia bilang, hancur tidaknya negara itu berdasarkan perempuannya seperti apa.

Melihat masih banyaknya mahasiswi yang kurang berperan aktif dalam legislatif, ia menganggap kekhawatiran lah yang menjadi alasannya, baik dari ketidaksiapan mereka, malas, atau takut ditekan secara emosional oleh laki-laki.

Satu-satunya perempuan di legislatif DPM FPSB ini menentang paradigma dominasi laki-laki di kancah politik. Baginya, perempuan memiliki kesempatan yang sama. “Jadi cewek sendiri itu ngga’ harus jadi kalah, kok. Tapi, juga tidak melupakan esensinya sebagai perempuan,” ungkapnya.

AKTIF MENDENGAR

Pernah suatu ketika, ia merasa dirinya sebagai perempuan tidak didengar suaranya oleh rekan-rekan DPM lainnya. “Itu juga kenapa aku mengambil langkah banyak mendengar daripada berbicara. Makanya, aku juga lebih suka bergabung dengan mahasiswa lain ketimbang sama lembaga itu sendiri,” cerita mahasiswi psikologi ini.

Menurutnya, suara perempuan bisa didengar karena tiga hal, yaitu cara berbicara, tingkah laku, dan wawasan mereka. Meskipun begitu, seperti yang ia akui, “Kalau saya cerewet di otak, tapi tidak dalam hal orasinya.” Hal itulah yang membuat Inne merasa kesulitan menemukan rekan yang bisa diajak untuk berbicara.

Memotivasi rekan-rekannya adalah kegemarannya. Mempermudah urusan surat-menyurat adalah siasatnya untuk mengayomi kebutuhan mahasiswa.

WIN-WIN SOLUTION

Mahasiswi asal Jakarta ini lebih sering menjadi penengah bagi rekan-rekan legislatifnya saat terjadi konflik. Sistematika dari mendengarkan, menarik kesimpulan, dan menengahi mereka yang adu pendapat adalah taktiknya selama ini.

Selain itu, Inne juga mengaku jarang berkonflik di DPM. Sekalipun terjadi konflik, ia memandang dengan siapa dia berhadapan. “Kalau dia nyampein pesannya ngotot, aku harus lebih rasional. Ngga’ balik ngotot. Tapi, kalau secara halus dan pelan, nah, itu aku harus berpikir keras. Kita harus tahu kondisi lawan bicara kita  siapa,” tuturnya.

Sebagai orang yang sudah dipercaya untuk menjadi wakil mahasiswa, ia tidak berminat untuk mementingkan urusan pribadi. Tidak ada ketimpangan sosial karena kepentingan mahasiswa lah yang utama. “Dalam mengambil keputusan, sebisa mungkin saya mengambil sikap win-win solution,” kata ine meyakinkan.

LAYAKNYA IBU

Ine punya cerita sendiri dalam membawakan sikap kesehariannya di kampus. Sapaan akrab ‘Ibu’ yang dikenakan pada dirinya itu secara otomatis menjadi mindset, sehingga dalam kesehariannya di kampus, ia lebih suka mengayomi hal-hal terutama keluhan mahasiswa layaknya seorang ibu.

Ia berani keluar dari zona pekerjaannya sebagai sekjend tanpa harus menyalahi aturan. “Kalau kita bisa melakukan lebih dari itu alangkah lebih baik karena yang dinilai bukanlah janji-janji,” ungkap ine dengan percaya diri.

Sayangnya, tidak banyak mahasiswi yang berminat mengikuti jejak perempuan seperti dirinya untuk masuk ke legislatif. Menurutnya, perempuan sekarang lebih mengikuti lifestyle daripada peka terhadap lingkungan. Ia bilang, “Antara mau ngga’ mau, siap ngga’ siap, atau malas menghadapi konflik.”

 

Reportase Bersama Revangga Twin T.

 

 

 

 

 

Skip to content