HIMMAH Online, Yogyakarta – Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) yang berjumlah sekitar 50 masa menggelar aksi. Aksi tersebut membahas masalah pertanahan yang terjadi di Yogyakarta pada hari Sabtu, 10 Desember 2016 lalu. Aksi diawali dengan berjalan dari parkiran Abu Bakar Ali di Utara Malioboro lalu menyusuri jalan Malioboro, dan sampai di Titik Nol Kilometer.
Sebelum aksi diadakan, Indra Putra Nugraha selaku ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII memaparkan bahwa mereka sudah melakukan dua kali kajian. Pertama, kajian secara komprehensif yaitu kajian yang membahas masalah agraria secara luas. Kedua, kajian secara terkhusus yaitu kajian menitik beratkan permasalahan agraria yang ada di Yogyakarta. “Kami bekerja sama dengan teman-teman dari Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM) untuk kajian tersebut,” tutur Indra.
Erwin Suryaprayogo selaku direktur KAHAM menambahkan pernyataan dari Indra bahwa kajian dilakukan dengan mendatangkan pembicara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kajian tersebut membahas tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masalah agraria di Yogyakarta, khususnya masalah dualisme hukum pertanahan di Jogja.
Erwin juga mengungkapkan bahwa hari Hak Asasi Manusia (HAM) ini adalah waktu yang tepat untuk mengadakan aksi yang mengangkat isu-isu pelanggaran HAM seperti permasalahan agraria. “Ketika berbicara masalah HAM, maka kita akan melihat banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik pertanahan.”
Menurut Indra aksi ini dilakukan sebagai bentuk tuntutan dan desakan kepada pemerintah agar segera menyelesaikan kasus-kasus agraria yang banyak terjadi di Yogyakarta. Pemerintah daerah seakan-akan lambat dalam menangani kasus-kasus pertanahan yang terjadi seperti di Kulon Progo dan Parangkusumo.
Bertepatan dengan hari HAM sedunia ini, KM UII ingin memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa dualisme hukum tentang pertanahan yang ada di Yogyakarta memberikan dampak buruk bagi masyarakat. “Saat ini, masyarakat hanya mengetahui bahwa Undang-Undang Keistimewaan (UUK) berdampak pada kelembagaan di pemerintahan, padahal ini juga sangat berdampak pada tata kelola di Yogyakarta sendiri, khususnya pada pengelolaan lahan produktif,” jelas Indra.
Indra mengatakan bahwa adanya dualisme hukum pertanahan yang awalnya hanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, kemudian ditambah lagi dengan UUK membuat keraton mempunyai otoritas dalam merebut lahan-lahan produktif. Sebagai contoh di Kulon Progo terdapat lahan milik kesultanan dan masyarakat, akan tetapi pihak keraton mengambil keuntungan untuk para elit politik dari lahan produktif milik masyarakat dengan alasan untuk kepentingan bersama.
Mawardi selaku wakil ketua Dewan Permusywaratan Mahasiswa (DPM) UII menambahkan bahwa dengan adanya pemberlakuan UUK pada hukum pertanahan di Yogyakarta membuat adanya Sultan Ground (SG) untuk lahan-lahan yang ada. Jika dilihat terdapat sekitar 80% tanah di Yogyakarta merupakan SG. Hal itu membuat pihak keraton dapat melakukan penggusuran terhadap warga yang ada di beberapa lahan tersebut. “Ya dalihnya SG tadi,” kata Mawardi.
Aksi ini memiliki enam tuntutan kepada pemerintah. Pertama,menolak penerapan UUK sebagai hukum pertanahan di Yogyakarta. Kedua, menolak dualisme hukum pertanahan di Yogyakarta. Ketiga, menerapkan UUPA sebagai hukum pertanahan di Yogyakarta sepenuhnya. Keempat, menolak segala tindakan represif pemerintah terhadap hak atas tanah masyarakat. Kelima, mengecam segala peristiwa konflik pertanahan yang ada di Yogyakarta, dan yang terakhir menuntut penegakan perlindungan HAM sebagai perwujudan reformasi agraria.
Sayangnya, pihak pemerintah tidak memberikan tanggapan pada aksi yang dilakukan oleh KM UII ini. “Jadi, karena sekarang hari Sabtu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bisa menanggapi aksi ini. Akan tetapi, ini adalah langkah awal bagi kami untuk melakukan gerakan, nantinya kami akan terus tuntut.” Indra berharap gerakan ini bisa sustain dan terus mendapat dukungan dari berbagai pihak di KM UII. (Muhammad Gibran)
RALAT
Karena di dalam berita sebelumnya terdapat kesalahan penulisan, kami menerbitkan kembali tulisan yang telah diralat. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.