Satu dari lima tuntutan KM UII akhirnya disepakati pihak rektorat
Oleh: Ahmad Satria Budiman
Kampus Terpadu, Kobar
Sekitar 50 orang melakukan aksi di depan Gedung Kahar Muzakkir, Senin 18 Juni 2012 lalu. Aksi tersebut terkait sistem pengajaran yang selama ini ada di UII. Beberapa saat kemudian, massa bergerak ke Gedung GBPH Prabuningrat. Setelah menunggu sekitar setengah jam, massa diterima oleh para petinggi rektorat. Perwakilan massa yang berjumlah 30 orang dipersilakan ke Ruang Sidang di Lantai 4 Gedung GBPH Prabuningrat. Bersama para pejabat UII, mereka melakukan forum diskusi. Perwakilan massa mahasiswa berasal dari anggora Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) tingkat universitas dan fakultas, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), dan Lembaga Khusus (LK) seperti Mapala Unisi, Marching Band, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah.
Pukul 12.15 WIB, para petinggi rektorat memasuki ruangan audiensi. Petinggi tersebut seperti, Nandang Sutrisno, Wakil Rektor I (WR I), Neni Meidawati, Wakil Rektor II (WR II), dan Bachnas, Wakil Rektor III (WR III). Selain itu, ada pula Rusli Muhammad, Dekan Fakultas Hukum, dan A. F. Djunaidi, Direktur Direktorat Pengembangan Bakat/Minat dan Kesejahteraan Mahasiswa (DPBMKM).
Forum audiensi dibuka oleh Bachnas selaku WR III. Mula-mula, ia menyampaikan bahwa semua fakultas dikenakan peraturan yang sama terkait presensi 75%. Namun, dekan tiap fakultas memiliki wewenang masing-masing untuk menjalankannya. Bachnas mengatakan, informasi yang didapat saat pelaporan menunjukkan semua berjalan dengan baik.
Ananda Bangun Sujiwo, Sekretaris Jenderal DPM UII, kemudian mulai membuka permasalahan. “Kami berangkat dari DPM FH, dan setelah dirapatkan di tingkat KM (Keluarga Mahasiswa-red) UII, ternyata sama dengan fakultas-fakultas lain,” kata Bangun. Bangun mengungkapkan bahwa mahasiswa tidak mempermasalahkan aturan batas presensi 75%, tetapi dengan catatan harus disertai kejelasan sistem. Ia berpendapat, kebijakan ini hanya berorientasi kepada mahasiswa, tetapi dosen tidak diikutsertakan.
Rezky Dika Kurniaputri, Ketua DPM FH, memperkuat pernyataan Bangun disertai dengan bukti. Ia menguraikan satu per satu ketidakjelasan sistem yang dimaksud, yaitu batas perizinan perkuliahan yang tidak jelas, adanya absensi ganda atau manipulasi data di Unisys, dan pergantian kuliah tanpa kesepakatan antara dosen dan mahasiswa. Dika pun mengacungkan beberapa lembar kertas yang berisi daftar dosen yang tidak disiplin. “Ada lebih dari dua puluh orang dosen di FH yang tidak disiplin dan berakibat banyaknya mahasiswa FH yang tidak dapat mengikuti UAS,” ujar Dika.
Mico Yuhansyah, Ketua DPM UII, lalu melanjutkan bahwa pelaporan yang dilakukan dekan tidak sesuai dengan pelaporan yang dilakukan mahasiswa. Ketidaksesuaian tersebut terjadi karena dekan dinilai hanya duduk di dalam ruangan dan tidak terjun langsung sampai pada tataran praktis. “Karena yang menjalankan adalah dosen,” tandas Mico.
Denni Suhendra, perwakilan DPM FE, menyampaikan agar forum audiensi ini menjadi forum evaluasi terkait aturan presensi 75%. Pertama, mengenai mekanisme izin, keadaan yang seperti apa yang memperbolehkan mahasiswa izin. Kedua, agar terwujudnya kedisiplinan dosen sehingga menjadi teladan bagi mahasiswa. Denni berharap pihak rektorat dapat bersikap tegas agar mahasiswa tidak lagi menjadi korban.
Berbagai suara akhirnya membuat Nandang Sutrisno selaku WR I angkat bicara. Nandang mencoba memetakan masalah yang terjadi. Pertama, mengenai latar belakang kebijakan presensi. Ia mengatakan bahwa sistem perkuliahan bukan sekedar formalitas yang ditandai dengan absen, melainkan juga substansial. Ranah substansial yang dimaksudnya itu mengharuskan tatap muka di kelas sesuai dengan standar dunia yang mengacu pada study by course untuk S1 dan study by research untuk S2 dan S3.
Kedua, implementasi di tingkat operasional. Implementasi membuka ruang interpretasi dan ruang penyelewengan. Interpretasi membuat berbagai fakultas tidak memiliki keseragaman dalam pelaksanaan, sedangkan penyelewengan memunculkan kejahatan akademik seperti absensi ganda. Ketiga, permasalahan sumber daya manusia (SDM). Nandang mempertanyakan sanksi dosen, misalnya dengan tidak diberi kesempatan mengajar lagi tidak lantas menyelesaikan masalah, mengingat program studi masih membutuhkan tenaga dosen yang bersangkutan.
Pada keputusannya, Nandang menyatakan bahwa implementasi presensi 75% adalah tetap, namun terhadap kehadiran dosen, bukan terhadap jumlah seluruh pertemuan yang seharusnya dilakukan tatap muka. Masalah yang sifatnya kasuistis diselesaikan di fakultas masing-masing. Seolah ingin mendukung sejawatnya, Neni menambahkan bahwa setelah forum ini, pihak rektorat akan mengundang pimpinan fakultas dan prodi untuk mencermati kebenaran kasus-kasus yang sebelumnya diutarakan, termasuk kasus manipulasi data di Unisys.
Kurang lebih forum ditutup selama 1 jam. Menjelang pukul 14.50 WIB, audiensi dilanjutkan kembali. Semua petinggi rektorat masih hadir, terkecuali Neni. Audiensi sesi kedua ini lebih mempersoalkan bagaimana langkah mendata dosen-dosen yang tidak disiplin. Rusli sebagai Dekan FH lantas mengusulkan solusi agar mahasiswa yang merasa dirinya menjadi korban sistem diperbolehkan untuk mengkikuti UAS. Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana pembuktiannya.
Solusi konkret diutarakan Mico. Ia menyarankan agar WR I mengeluarkan surat edaran sebagai legalitas hukum yang jelas. Seolah mendukung ketuanya, Bangun mengingatkan bahwa apapun keputusannya nanti, semua harus sepakat. “Tidak ada asumsi dekanat tidak menerima surat edaran, termasuk Pak Rektor,” kata Bangun.
Di tengah audiensi, tiba-tiba Neni selaku WR II datang dan mengatakan bahwa keterangan soal manipulasi data di Unisys adalah tidak benar. Ia sudah membuktikan di Ruang Badan Sistem Informasi (BSI). Menanggapi perkataan Neni, Dika dari FH lalu mengikuti Neni ke Ruang BSI. Sesaat kemudian, Dika kembali dan mengatakan bahwa manipulasi itu benar. Petugas dari Ruang BSI lantas memasuki Ruang Sidang dan menampilkan data akun Unisys milik Dika melalui proyektor. Sambil menunjuk layar Bangun mengatakan, “Inilah bukti sistem kita yang belum siap.”
Ketika petugas BSI meminta mahasiswa lain untuk menampilkan akunnya, Deni dari FE pun maju. Namun, akun Deni menunjukkan hasil apa adanya bahwa tidak ada manipulasi data presensi, tetapi data milik Deni menunjukkan jumlah kehadiran dirinya tidak sama dengan jumlah presensi. Artinya, ada selisih ketidakhadiran cukup banyak antara jumlah pertemuan dan jumlah kehadiran Deni dalam perkuliahan. “Inilah tanda, fakultas tidak sepenuhnya mengakomodir izin mahasiswa,” sahut Mico.
Audiensi yang alot itu mulai menemui titik terang ketika Bachnas dan Nandang sepakat untuk menyetujui bahwa pengakuan mahasiswa dan dosen merupakan bukti mahasiswa yang bersangkutan menjadi korban. Namun sebagai catatan, bahwa pengakuan didasari oleh kejujuran dan akan ada pembuktian dari fakultas kelak. Kira-kira jam 4 sore, Djunaidi sebagai Direktur DPBMKM membacakan hasil keputusan audiensi. Hasil forum tersebut berbunyi, “Bagi mahasiswa yang merasa menjadi korban atau bermasalah, karena perilaku perkuliahan dosen, diperbolehkan mengikuti ujian akhir, dan dibuktikan dengan pengakuan secara jujur.”
Para petinggi rektorat dan perwakilan mahasiswa selanjutnya turun untuk menemui massa yang masih bertahan di sekitar Gedung GBPH Prabuningrat. Djunaidi pun kembali membacakan hasil audiensi yang disambut sorak sorai massa. Demikianlah, dialog pimpinan lembaga mahasiswa dan pimpinan rektorat berakhir di sore itu. Namun, keputusan yang baru saja dibacakan bukanlah akhir. Sebab setidaknya, ada lima tuntutan yang diajukan KM UII. Masalah presensi hanyalah satu dari lima tuntutan yang sifatnya jangka pendek. Masih ada audiensi lanjutan untuk membahas tuntutan-tuntutan berikutnya yang sifatnya jangka panjang. Kita tunggu saja!
Reportase bersama Metri Niken Larasati dan Muhammad Alfan Pratama