Mengkritisi Pemilihan Rektor UII

Rektorat telah membentuk sebuah tim investigasi terkait kabar yang menyebutkan bahwa ada calon rektor Universitas Islam Indonesia yang dicurigai menyalahgunakan dana dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) berupa Beasiswa Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN). Tim ini dibentuk bersamaan dengan waktu penetapan rektor periode 2014-2018, yaitu 28 Februari 2014, tepatnya pagi hari sebelum Hadri Kusuma resmi dinyatakan sebagai rektor terpilih. Tugas utama tim investigasi adalah untuk menelusuri benar atau tidaknya penyalahgunaan dana beasiswa BPKLN.

Selanjutnya, tanggal 26 Maret 2014, senat universitas menyelenggarakan rapat untuk membahas hasil tim investigasi. Bersamaan dengan itu, Keluarga Mahasiswa (KM) UII berdemonstrasi di depan Gedung Kuliah Umum (GKU) Sardjito, tempat terselenggaranya rapat senat tersebut. Aksi unjuk rasa ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, pihak Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII telah mengirimkan surat kepada tim investigasi untuk meminta hasil penyelidikannya. Mereka juga telah menyurati rektorat melalui direktorat kemahasiswaan dan wakil rektor III-nya. Tetapi, mereka tidak mendapatkan respons.

Saat jamuan makan malam bersama antara rektorat dan lembaga mahasiswa pada tanggal 21 Maret 2014, pihak rektorat pun belum memberikan keterangan terkait hasil penelusuran tim investigasi.

Pada saat aksi unjuk rasa tersebut, Edy Suandi Hamid yang ketika itu bertindak sebagai ketua senat mengatakan bahwa pihaknya akan menginformasikan hasil rapat senat kepada mahasiswa beberapa hari lagi. Namun selang beberapa hari, mahasiswa belum menerima rilis info resmi dari pihak kampus terkait hasil rapat senat.

Beberapa minggu setelah aksi di depan GKU Sardjito, Yayasan Badan Wakaf UII melantik rektor presidium beserta wakilnya di Gedung Pascasarjana Hukum UII. Rektor Presidium dijabat oleh Harsoyo dari FTSP, sedangkan Wakil Presidium dijabat oleh Mustaqim dari FH dan Kumala Hadi dari FE. Lagi-lagi tidak ada info resmi terkait hal ini. Kampus seolah-olah memagari warga UII, khususnya mahasiswa agar tidak mengetahui hal tersebut. Padahal, pembatalan hasil pilrek dan pelantikan rektor presidium berimbas pada banyak hal, termasuk penundaan wisuda mahasiswa. Karena UII belum memiliki rektor definitif, wisuda yang semestinya diadakan pada bulan Mei 2014 diundur menjadi bulan Agustus 2014.

Terkait penyelesaian masalah pilrek, hasil rapat senat yang diketuai oleh Harsoyo selaku Ketua Senat Universitas adalah mereka memutuskan untuk mengulang pemilihan rektor. Selain itu, dekan yang terindikasi positif melakukan pemotongan dana beasiswa BPKLN akan dikenai sanksi sedang dan berat. Sanksinya adalah orang tersebut tidak boleh menjabat jabatan struktural di UII yang sifatnya pemilihan (misalnya: dekan dan rektor) dan gelar profesornya akan dicopot selama enam bulan. Selanjutnya, hasil rapat senat ini akan diserahkan kepada Yayasan Badan Wakaf UII. Senat juga mempersilakan pihak-pihak yang ingin mengajukan banding agar menghadap ke Yayasan Badan Wakaf UII.

Hal-hal yang telah saya paparkan tersebut hanya sebatas timeline perjalanan pemilihan rektor UII yang penuh dinamika. Di sini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama,soal sumber isu pemotongan dana itu. Kira-kira siapakah orang yang mencuatkan info itu? Menurut hemat saya, sumber yang mampu menggerakkan rektorat untuk membentuk sebuah tim investigasi hingga berimbas pada batalnya hasil pemilihan rektor terpilih ini bukan meluncur dari sembarang orang.

Kedua, soal beasiswa BPKLN. Sejak kapan beasiswa ini ada? Bagaimana mekanisme beasiswa? Sejak kapan pemotongan dana beasiswa seperti ini mulai terjadi, apakah termasuk di tahun-tahun sebelumnya? Misalnya hal ini terjadi di tahun sebelumnya, apakah itu diusut juga? Pun soal dana yang dipotong itu, kemana larinya?

Ketiga, soal pertimbangan dan penyeleksian panitia pilrek sebelumnya dalam memilih kandidat bakal calon rektor. Apakah panitia tidak memiliki uji kelayakan dan kepatutan ( fit and proper test)? Apakah panitia tidak mempertimbangkan riwayat dosen yang akan mereka undang untuk menjadi bakal calon rektor? Sekadar info, sistem pemilihan rektor UII adalah bukan dosen yang mengajukan diri untuk menjadi bakal calon rektor, melainkan pihak panitia mengirimkan surat undangan kepada dosen untuk dimintai kesanggupannya menjadi bakal calon rektor. Menurut saya, peran panitia dalam mempertimbangkan dan menyeleksi dosen yang diundang sangatlah penting. Alasannya, ketika panitia sudah mengecek rekam jejak bakal calon rektor, kasus yang terjadi seperti sekarang ini dapat dihindari atau bahkan tidak ada. Saya memandang, kasus ini cenderung mengarah ke arah politis karena mencuat bertepatan pada saat tahap akhir pilrek. Kalau pilrek ulang ini tidak memiliki perubahan sistem, maka tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terulang lagi. Hal ini tentu akan berimbas pada kerugian mahasiswa.

Keempat, soal pihak-pihak yang terindikasi melakukan pemotongan dana beasiswa. Jujur, saya masih skeptis, kok bisa orang-orang yang berkedudukan tinggi dengan gelar akademik yang mentereng-bahkan bergelar profesor-melakukan hal ceroboh seperti itu. Pasti ada yang janggal di belakang itu semua. Jika mahasiswa Strata 1 (S1) yang belum lulus saja bisa mengatakan bahwa perbuatan itu menyalahi aturan, maka orang-orang sekelas doktor atau profesor juga semestinya lebih tahu.

Kelima, soal kerugian atas lamanya transisi proses kepemimpinan ini. Apa saja kerugian materil maupun nonmaterilnya?

Keenam, soal transparansi informasi kepada mahasiswa yang sangat minim, bahkan seolah ditutup-tutupi. Hal itu terbukti dengan sulitnya pers mahasiswa yang ada di UII untuk meminta klarifikasi kepada pihak-pihak terkait, baik itu kepada Yayasan Badan Wakaf UII, presidium, dekan, panitia, dan tim investigasi. Tak hanya itu saja, media milik UII pun terkesan tidak berani memberitakannya. Mereka hanya memberitakan berita informatif yang sifatnya positif saja. UII seolah-olah membuat agar mahasiswanya tidak tahu, membodohi mahasiswa agar tidak kritis, dan membuat agar mereka memikirkan urusan akademik saja. Mahasiswa dibuat acuh tak acuh dengan persoalan sepenting ini, yang mana jika kasus ini diketahui pihak luar, nama besar UII di tataran nasional bisa runtuh. Universitas yang selama ini terkenal menghasilkan praktisi dan akademisi yang berkompeten di bidang hukum malah menjadi pelaku pelanggaran hukum.

Ketujuh, soal sanksi kepada pihak yang terindikasi melakukan pemotongan dana beasiswa. Kenapa UII memilih menyelesaikannya di ranah internal saja, bukan malah membawa kasus ini ke ranah hukum yang berlaku di negara? Setahu saya, pemotongan dana uang negara itu dinamakan korupsi. Jika alasannya adalah untuk menjaga nama baik UII, apakah tidak sia-sia saja? Bukankah cepat atau lambat hal ini akan terdeteksi oleh negara? Pastinya beasiswa itu memiliki semacam laporan pertanggungjawaban kepada negara. Bagaimana UII ‘menyembunyikannya’? Lantas, apa sikap kita sebagai mahasiswa UII yang melihat kampus melakukan pembohongan kepada negara? Diam atau mendukung?

Tujuh poin di atas tak lebih dari analisis kasar saya pribadi. Mungkin Anda mempunyai analisis lain yang lebih tajam. Perlu diingat, kasus kampus  yang melibatkan korupsi dana tidak terjadi sekali ini saja. Pada tahun 80’an pernah terjadi kasus penggelapan dana pembangunan Kampus Antara-sekarang menjadi Fakultas Ekonomi. Kala itu ada pemuda bernama Slamet Saroyo yang mesti merenggang nyawa karena berusaha mengekspos kasus itu. Ia dibunuh oleh pendukung pembantu rektor II periode 1985-1989 bernama Effendi Ari. Ia disebut-sebut sebagai aktor yang menggelapkan dana tersebut. Lebih lengkapnya silakan baca buku ‘Api Putih di Kampus Hijau’. Hal yang mesti patut kita tiru dari kisah tersebut adalah semangat mahasiswa dulu yang tidak tinggal diam ketika melihat ketidakberesan di dalam kampusnya. Sekarang, semangat mahasiswa yang seperti itu terlihat hilang.

*) Mahasiswa Teknik Informatika Angkatan 2010

Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH UII

Skip to content