Himmah Online, Yogyakarta – Sabtu, 8 Oktober 2016 diadakan diskusi yang bertemakan Persma Menghadapi Arus Zaman di Rumah Persma Yogyakarta. Diskusi tersebut dihadiri oleh Nezar Patria sebagai pembicara, Ia adalah salah satu anggota Dewan Pers. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa pers mahasiswa (Persma) seperti, Poros dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Himmah dari Universitas Islam Indonesia (UII), Arena dari Universitas Islam Negeri, dan Ekspresi dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Nezar Patria menjelaskan bahwa hampir semua dewan mahasiswa di setiap kampus memiliki media yang dekat dengan organisasi mahasiswa. Sehingga, distribusi gagasan, informasi, debat, dan diskusi memiliki tempat mendarat, yaitu organisasi. Pada tahun 80-an terjadi normalisasi kehidupan kampus yang berakibat pada pembubaran dewan mahasiswa sehingga, mahasiswa menjadi apolitis. Pada masa ini kita menikmati space demokrasi yang luar biasa tetapi, kesadaran kritis di kampus tidak muncul.
Nezar melanjutkan bahwa terdapat beberapa paradigma terkait Persma setelah rezim pengendali kampus berusaha mengendalikan Persma. Pertama, Persma sebagai pers alternatif dan pengusung ideologi mahasiswa dan kedua, Persma mencoba meniru langgam pers profesional pada masa 90-an. Setelah tahun 90-an, mahasiswa kembali dalam gerakan mahasiswa yang menerbitkan wacana-wacana politik dan kritis. Mereka menggunakan kebebasan berakademik dalam berekspresi. Tahun 1998 reformasi terjadi, banyak perubahan fundamental yang terjadi seperti, kebebasan berpolitik dengan sistem undang undang yang baru, hilangnya dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di kemiliteran, muncul Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 bahwa tidak ada lagi pengontrolan dalam pers.
Nezar menjelaskan bahwa undang-undang pers sendiri merupakan undang-undang tunggal yang mengatur tentang kebijakan dan kerja pers. Undang-undang ini diamanahkan kepada dewan pers yang saat ini beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Yosep Adi Prasetyo. Kemudain, dilanjut dengan munculnya undang-undang penyiaran pada tahun 2002. Saat ini, terdapat 13 stasiun televisi swasta yang menggunakan frekuensi publik, 15 televisi kabel, lebih dari 2000 radio, dan 50 media online sebagai media mainstream. Hal ini sangat berbahaya, ditamba lagi dengan perkembangan media sosial sebagai media penyebaran informasi, karena tidak semua orang paham tentang kebenaran dari informasi yang tersebar.
Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan oleh pers mahasiswa yaitu, bagaimana menghidupkan nalar atau pemikiran kritis sehingga menimbulkan gagasan yang kreatif, adaptasi dengan penyebaran media yang mulai berkembang. Melihat kondisi saat ini Nezar mengatakan, “Persma saat ini, seperti organisasi yang hidup segan, mati tak mau”.
Diskusi ini disertai sesi tanya jawab dan bertukar pendapat antar peserta dan pemateri. Hakim salah satu peserta diskusi mengajukan pertanyaan terkait ada tidaknya media di Eropa yang dapat dicontoh untuk media di Indonesia dan persma. Kemudian, terkait bagaimana kontroling pemeritah untuk media-media yang ada di Indonesia, dikarenakan sangat susah untuk melakukan hal tersebut, sehingga lebih didominasi oleh televisi swasta dan TVRI sebagai televisi nasional seperti tidak berguna.
Nezar menjawab bahwa mengenai masalah TVRI sudah dari masa orde baru karena TVRI digunakan untuk alat propaganda pemerintah, setelah reformasi banyak hal yang dilakukan seperti memperbaiki undang-undang yang mengatur TVRI tapi masih belum sempurna. “Merupakan kegagalan dari reformasi, yaitu membentuk TVRI sebagai televisi publik,” ucap Nezar.
Kemudian Nezar menjelaskan salah satu contoh media di eropa, yaitu BBC. BBC adalah salah satu televisi nasional di Inggris yang dibiayai oleh negara dan pemerintah yang berkuasa, tetapi mereka memiliki prinsip bahwa konten tidak bisa diinterfensi politik karena mereka memihak pada rakyat. Sehingga, interfensi politik ini tidak mungkin sampai ke meja redaksi. Sedangkan, TVRI beberapa siarannya masih sesuai namun masih kalah dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV dan yang lainnya “Tidak ada jalan lain selain membubarkan TVRI yang saat ini ada untuk kemudian membangun TVRI yang baru dengan konten-konten yang memihak publik atau membiarkan TVRI yang saat ini dengan konten yang tidak bisa dijadikan sebagai jurnalisme publik,” jelas Nezar.
Bintang salah satu peserta dikusi yang berasal dari Persma Poros UAD menanyakan, “Identitas media online Persma untuk saat ini seperti apa? Apakah harus serba cepat seperti media online yang lain atau mengedepankan kualitas?” Nezar menjawab bahwa persma tidak dituntut untuk suatu berita dan informasi yang serba cepat, karena itu akan kalah saing dengan media mainstream. Dalam sejarah, persma tidak bersaing dengan koran-koran media yang selalu serba cepat. Persma dalam media memuat gagasan kreatif dan kritis.
Arci peserta dari Persma Ekspresi UNY menanyakan terkait fungsi dewan pers dalam mengedukasi universitas terkait pers dan jurnalistik serta perlindungan dari dewan pers untuk Persma. Nezar menjelaskan bahwa dalam undang-undang pers, dewan pers tidak ada mandat terkait dengan Persma, karena Persma tidak dilindungi oleh undang-undang pers melainkan oleh universitas. Mengedukasi universitas dilakukan dalam artian leterasi media.