Himmah Online – Pameran Arsip Museum Pers Yogyakarta resmi dibuka oleh Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat (KR), Octo Lampito, pada Selasa (25/06) di Perpustakaan Kampus Mohammad Hatta, Universitas Islam Indonesia (UII). Pembukaan tersebut dihadiri oleh seratus orang lebih, yang terdiri dari jajaran sivitas akademika UII, tamu undangan, serta mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pameran ini diinisiasi oleh tiga orang, yakni Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Anang Saptoto seorang seniman, serta Sinta Maharani dari jurnalis Tempo.
“Kalau awalnya saya bagian dari yang inisiator karena inisiatornya waktu itu tiga orang: saya, Prof. Ading (Masduki) sama mbak Sinta Maharani,” ucap Anang Saptoto (42).
Masduki (51), selaku inisiator menjelaskan bahwa ide ini berawal dari keprihatinan terhadap jurnalisme masa kini yang mengalami kemunduran. Kemunduran jurnalisme yang dimaksud adalah kurangnya data, konteks, dan analisis dalam tradisinya. Selain itu, jurnalisme masa kini juga memprioritaskan konten yang asal viral saja.
Masduki menambahkan bahwa pameran ini ingin menunjukkan karya-karya jurnalisme di masa lalu yang dekat dengan sejarah politik besar. “Jurnalisme yang baik itu pasti dikenang terus,” ujar Masduki.
Anang menambahkan bahwa ide ini lahir karena belum adanya museum pers di Yogyakarta. “Tujuan dasarnya ini kan sebenarnya berawal dari pertanyaan mengapa di Jogja itu tidak ada museum pers? Basic-nya itu. Itulah kenapa dari kami menginisiasi supaya ada (museum pers),” ucap Anang.
Anang juga menjelaskan bahwa dalam penelusuran dokumen pameran ini, ia diberi rekomendasi untuk menggaet media Kedaulatan Rakyat (KR) oleh Masduki dan bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
Anang menyebut ide museum ini diselenggarakan dengan konsep yang berbeda dibandingkan museum lainnya di Yogyakarta. Ia menginginkan konsep yang dinamis, yakni dari konsep pemerannya dapat menyesuaikan kondisi dan bentuknya dapat berupa apa saja sehingga dapat dilaksanakan di tempat dan waktu kapanpun.
“Kami ga mau memproduksi museum-museum seperti yang kalian kenal di Jogja yang statis, mau datang sekarang, mau 10 tahun lagi, sama. Kami tidak mau, sehingga kami merasa penting untuk memproduksi satu museum tapi dinamis–yang bergerak,” ungkap Anang.
Menurut Dito (20), salah satu pengunjung, pameran ini unik karena diselenggarakan di ruangan yang melengkung. Ia menambahkan pameran ini dieksekusi dengan bagus, terutama dari segi layout-nya yang ditata dan dikelola dengan baik.
“Pun eksekusinya juga bagus, jadi pertama kali masuk itu memang sudah langsung disuguhi oleh pamerannya. Pamerannya ditata dan dikelola dengan baik dari layout-nya dan seterusnya,” pungkas Dito.
Reporter: Himmah/Agil Hafiz, Ibrahim, Siti Zahra Sore, Magang Himmah/Zahrah Ibnu Salim, Mochamad Farhan Mumtaz
Editor: Abraham Kindi