HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu – Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia mengadakan kajian dengan tema “Harmonisasi Nilai-nilai Sumpah Pemuda Guna Meningkatkan Peran dan Fungsi Mahasiswa sebagai Agent Of Change”. Diskusi yang diselenggarakan pada tanggal 27 November 2015 tersebut dipantik oleh Daris Purba, alumni Fakultas Hukum UII tahun 1974 yang kini berprofesi sebagai Advokat Konsultan Hukum, dan Melki A. S. selaku Koordinator Jaringan dan Pendidikan Social Movement Institute (SMI).
Daris Purba memandang bahwa nilai-nilai dalam Sumpah Pemuda sebenarnya sudah tidak ada dikarenakan rentang yang panjang. Dia membandingkan dengan zaman saat ia masih berkuliah yang memuat mata kuliah civic atau pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum. “Dalam civic, kita dapat mempelajari berbagai macam sejarah seperti serikat Islam, serikat dagang, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Namun, sekarang civic sudah tidak ada,” paparnya. Jika berbicara soal nilai-nilai kepemudaan, maka erat kaitannya dengan sistem pendidikan yang ada dalam kampus. Pada dasarnya nilai-nilai tersebut tak pernah kering, namun sistem pendidikan saat ini lebih banyak mengajarkan mahasiswa cara memperoleh pekerjaan. “Kampus kita pendidik, tapi semakin lama semakin tidak memiliki nilai.”
Daris memaparkan bahwa dengan budaya, nilai dapat ditanamkan melalui dialog-dialog yang terjadi antara budayawan dengan mahasiswa. Budayawan seperti Rendra, Umar Kayam ataupun Ashadi Siregar kerap masuk kampus untuk berdialog dengan mahasiswa. Daris bercerita bahwa karya sastra pada tahun 70-an tidak hanya membicarakan cinta, namun juga menyebarluaskan nilai-nilai, misalnya novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Tetapi, memasuki tahun 2015 situasinya berubah sehingga ada kesenjangan yang terjadi, seperti kesenjangan pemahaman. Dia menambahkan pula bahwa perubahan kurikulum yang dilakukan sekarang pun karena pesanan proyek, di mana anak didik diproyekkan untuk mencari uang. Sistem itulah yang menyebabkan nilai-nilai tergerus.
Melki juga memiliki pandangan yang serupa mengenai makna memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dia beranggapan bahwa peringatan Hari Sumpah Pemuda sekarang ini hanya sekadar seremonial yang tidak berkesan, hanya berpanas-panasan di lapangan terbuka dan membuat perlombaan-perlombaan. “Perlu adanya peninjauan ulang mengenai spirit dan semangat para pendahulu dalam merancang Sumpah Pemuda,” tuturnya.
Melki menyampaikan bahwa makna dari Sumpah Pemuda menjadi bias karena penerjemahannya ternyata berbeda dengan apa yang diimpikan di awal. Hal tersebut disebabkan oleh semangat persatuan yang diinginkan dalam berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia, dan berbahasa Indonesia hanya dimaknai secara simbolis. Pemaknaan Sumpah Pemuda sudah bergeser dari makna sesungguhnya, yaitu mengedepankan pergerakan mahasiswa yang independen tanpa ada ikatan dengan siapa pun, kecuali kebenaran dan kemanusiaan.
Melki berujar kemudian, “Mari kita jadikan spirit Sumpah Pemuda sebagai refleksi kritis, terutama untuk kalangan intelektual mahasiswa dalam turut dan ikut meyelesaikan persoalan bangsa.” (Rabiatul Adawiyah)