Himmah Online membuat survei seputar kekerasan seksual dan Satgas PPKS UII. Survei ini merupakan upaya untuk meninjau persepsi mahasiswa terhadap kekerasan seksual dan seberapa efektif Satgas PPKS UII dalam menjalankan tugasnya.
Kasus kekerasan seksual masih saja menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Institusi pendidikan sekelas pendidikan tinggi pun masih menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, akhirnya dihadirkan dengan membawa secercah harapan akan tuntasnya permasalahan tersebut.
Setiap tahun, mahasiswa baru datang untuk menempuh studi lanjut dengan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Kampus menjadi tempat pertemuan para pelajar dari berbagai daerah dengan satu tujuan sehingga kampus dianggap sebagai mediator yang baik untuk menimba ilmu, mencari pengalaman, dan membangun relasi demi masa depan kehidupan yang lebih cerah.
Niat baik tersebut sering terancam oleh kejadian tak terduga, terutama kekerasan seksual. Tempat yang seharusnya dihormati sebagai lembaga untuk menciptakan generasi unggul ini seringkali menjadi tempat tindakan tidak bertanggung jawab. Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan lain sebagainya.
Masalah menjadi kian rumit karena posisi sebagai korban membuat seseorang cenderung memilih untuk diam. Lebih sering, pelaporan adanya kasus dilakukan oleh pihak lain, seperti rekan atau orang tua korban.
Metodologi
Survei ini diadakan mulai tanggal 30 Oktober hingga 11 November 2023 dengan melibatkan 190 responden yang merupakan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, baik pada jenjang pendidikan S1, D3, maupun D4, angkatan 2019-2023. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner online yang dibagikan secara mandiri oleh Himmah Online. Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan tingkat margin of error sebesar 7,08 persen.
Profil Responden
Survei ini melibatkan partisipasi mahasiswa laki-laki dan perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 28 tahun. Mayoritas dari seluruh responden berada dalam kelompok usia 19 hingga 23 tahun.
Responden mahasiswa juga menempuh studi di berbagai fakultas. Mayoritas responden berada di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (30,00 persen) disusul oleh Fakultas Ilmu Agama Islam (17,37 persen), dan dari Fakultas Bisnis dan Ekonomika (14,74 persen).
Partisipasi responden mahasiswa didominasi dari angkatan tahun 2020 hingga 2022. Sekitar 48,95 persen dari kelompok mahasiswa yang masuk pada tahun 2021 menjadi mayoritas dalam survei ini.
Kekerasan Seksual Dapat Bersifat Verbal Maupun Non Verbal
Ketika diajukan pertanyaan mengenai kekerasan seksual, seluruh mahasiswa mengakui memahami sepenuhnya. Mereka kemudian mulai menjelaskan berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti tindakan pemerkosaan, pelecehan, catcalling, dan berbagai bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal yang merugikan. Respon khusus datang dari seorang responden, seperti komentar ini:
“Kekerasan seksual verbal (melibatkan komentar, lelucon, atau ucapan yang merendahkan, merendahkan, bahkan cabul) dan nonverbal atau fisik (melibatkan tindakan fisik yang tidak diinginkan dan memaksa korban secara fisik)”
Terdapat juga pandangan dari mahasiswa lain yang menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi baik secara fisik maupun non-fisik. Dia mengungkapkan pendapatnya, seperti komentar ini:
“Tindakan diskriminatif yang mengarah kepada hal-hal tidak senonoh, baik itu dilakukan secara oral maupun physical. Contoh kekerasan seksual secara oral, yaitu catcalling, mengatakan hal-hal diskriminatif terkait seksual. Contoh kekerasan seksual secara fisik seperti melakukan kontak langsung dengan korban terkait aksi-aksi kekerasan seksual”.
Lingkungan dan Kegiatan yang Rawan Terjadi Kekerasan Seksual
Dari survei ini, kita dapat melihat bahwa responden merasa peluang terjadinya kekerasan seksual cenderung lebih tinggi di lingkungan luar kampus dibandingkan dengan lingkungan dalam kampus. Kemudian, mereka memberikan tiga tempat dengan persepsi risiko tertinggi terhadap kekerasan seksual, di antaranya tempat/fasilitas umum (25,80 persen), tempat hiburan (25,62 persen) dan jalan (20,46 persen).
Kegiatan Kampus yang Membuat Merasa Tidak Aman dari Kekerasan Seksual
Mayoritas responden (75,26 persen) merasa aman dari kekerasan seksual yang terkait dengan kegiatan atau budaya di kampus. Meski begitu, ada seperempat responden yang masih merasa tidak aman dari kekerasan seksual ketika berkegiatan di kampus. Kegiatan yang membuat mereka merasa tidak aman dari kekerasan seksual, di antaranya makrab, kuliah kerja nyata (KKN), orientasi studi pengenalan kampus (ospek), dan konser.
Responden menyatakan terdapat kebiasaan catcalling di lingkungan kampus yang membuat mereka objek sasaran merasa tidak nyaman, seperti komentar ini:
“Masih maraknya catcalling, saya rasa catcalling masih sering dianggap sebagai ‘basa-basi’ atau hal yang lumrah di lingkungan kampus”.
Senada dengan pandangan mahasiswa tersebut, responden lainnya mengungkapkan candaan berbau seksual sebagai budaya kampus membuatnya merasa tidak aman dari kekerasan seksual, seperti komentar ini:
“Lelucon yang mengandung unsur seksual seperti ‘yang pria saja, wanita tak perlu tahu,’. Sebenarnya kami sebagai perempuan memahami maknanya dari konteks pembicaraan yang terkait dengan seksualitas”.
Ketika ditanyakan tentang jenis kekerasan seksual yang paling mungkin dialami di civitas akademik UII, hasil survei menunjukkan berbagai persepsi. Candaan berbau seksual menjadi sorotan utama dengan persentase tertinggi (28,80 persen), disusul kekerasan dalam hubungan pacaran (20,14 persen), dan kekerasan verbal (15,90 persen).
Dapat diketahui juga, mayoritas responden menganggap kasus kekerasan seksual sangat mempengaruhi performa akademik korban.
Tindakan Saksi/Korban/Penerima Informasi Kasus Kekerasan Seksual
Kami juga menanyakan apakah responden memiliki pengetahuan atau pengalaman terkait kekerasan seksual. Sebanyak 72 responden mengakui bahwa mereka tahu atau pernah menjadi saksi, korban, atau menerima informasi mengenai kekerasan seksual. Sementara 118 responden lainnya menyatakan tidak memiliki pengalaman tersebut.
Sebanyak 72 responden yang pernah terlibat, 20 di antaranya telah melakukan pelaporan. Sementara 51 responden lain memilih untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Satu responden memilih untuk tidak menjawab pertanyaan.
Responden memilih berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar kampus, sebagai tempat pelaporan, sumber dukungan, dan bantuan terkait kasus kekerasan seksual. Di dalam kampus, bimbingan konseling UII menjadi lembaga yang dihubungi oleh sebagian responden (20,00 persen). Satgas PPKS UII, yang dibentuk oleh kampus untuk menangani kasus kekerasan seksual, menjadi lembaga yang dihubungi oleh 17,14 persen responden.
Sementara sebagian responden yang tidak pernah menghubungi lembaga terkait dengan kekerasan seksual memberikan berbagai alasan, paling umum, yaitu tidak memiliki bukti yang cukup (18,32 persen).
Kemungkinan Intervensi pada Kasus Kekerasan Seksual
Mayoritas responden (55,79 persen) menunjukkan kesiapan yang tinggi untuk memberikan bantuan dan melakukan intervensi jika teman mereka mengalami kekerasan seksual. Dengan skor yang sama, sejumlah besar responden (45,26 persen) juga menunjukkan kesiapan yang tinggi untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.
Survei ini mencerminkan adanya tingkat kesediaan dan kesiapan sosial dalam membantu teman yang mengalami kekerasan seksual, dengan mayoritas responden menunjukkan sikap yang sangat positif dan siap untuk memberikan dukungan kepada korban.
Keterlibatan Pihak Kampus Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Melalui survei ini juga ditanyakan, sejauh mana pengetahuan responden terkait ketersediaan dukungan psikologis dari pihak kampus untuk mereka yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Sebanyak 100 responden mengetahui adanya bantuan psikologis terhadap korban atau saksi kekerasan seksual dari pihak kampus.
Namun, hanya sedikit responden (25,79 persen) yang menyatakan mereka mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pihak kampus. Ini menunjukkan tingkat kesadaran dan informasi yang terbatas terkait prosedur dan tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak kampus setelah menerima laporan kekerasan seksual.
Kemudian, responden ditanyai mengenai hukuman yang pantas diberikan oleh pihak kampus kepada pelaku kekerasan seksual. Mayoritas responden mengajukan agar pelaku dikeluarkan dari kampus. Senada dengan hal tersebut, responden menganggap keberadaan pelaku akan menyulitkan korban, seperti komentar ini:
“Drop Out, keberadaan predator seksual yang bebas berkeliaran di sekitar korban akan memberikan kesulitan yang besar bagi korban”.
Tak hanya itu, berbagai hukuman lainnya diajukan oleh responden sesuai dengan status pelaku kekerasan seksual tersebut, seperti komentar ini:
“Dikeluarkan dari lingkungan kampus apabila pelaku merupakan mahasiswa. Jika pelaku adalah tenaga kependidikan, pegawai, atau staf kampus, mereka harus dipecat. Tindakan tersebut merupakan bentuk hukuman yang sesuai karena tanpa hukuman yang tegas, efek jera tidak akan tercapai. Jika perlu, sebaiknya disertakan dengan hukuman penjara yang dijatuhkan hingga seumur hidup. (Maaf jika ada ungkapan yang terdengar kurang pantas, agak terbawa suasana, hehe)”.
Keterlibatan Organisasi Kemahasiswaan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Kami memberikan sejumlah pertanyaan terkait keterlibatan organisasi kemahasiswaan dalam menangani kekerasan seksual. Hasil survei menunjukkan tingginya dukungan dari responden terhadap peran organisasi kemahasiswaan dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Mayoritas responden (94,74 persen) mendukung organisasi kemahasiswaan, termasuk DPM, LEM, LK, HMJ, dan UKM, dalam menangani kekerasan seksual. Sebanyak 70,00 persen mendukung pembentukan hukuman bagi anggota yang menjadi pelaku kekerasan seksual dan sekitar 76,84 persen mendukung mekanisme bantuan bagi anggota yang menjadi korban kekerasan seksual.
Lebih lanjut, mayoritas responden merasa pihak kampus memiliki tingkat kepedulian yang signifikan terhadap kasus kekerasan seksual. Namun, masih ada sebagian kecil dari mereka yang merasa kepedulian tersebut kurang optimal.
Peningkatan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memicu pemerintah untuk menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini mendorong seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPKS).
Universitas Islam Indonesia merespons permendikbud tersebut dengan melantik tujuh anggota Satgas PPKS periode 2023-2025 pada 31 Maret 2023. Tim Satgas PPKS UII terdiri dari dua dosen, dua tenaga kependidikan, dan tiga mahasiswa.
Tingkat Pengetahuan Terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
Survei menunjukkan sekitar 62,63 persen responden menyatakan bahwa mereka mengetahui atau pernah mendengar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Sementara sekitar 37,37 persen responden mengaku tidak mengetahuinya. Dari total seluruh responden yang tahu, mayoritas (70,59 persen) sangat mendukung Permendikbud tersebut.
Tingkat Pengetahuan Terkait Satgas PPKS UII
Separuh responden (96) menyatakan bahwa mereka tahu atau pernah mendengar tentang Satgas PPKS UII. Mayoritas dari mereka mengetahui Satgas PPKS UII dari Instagram, teman, dan email.
Saat kuesioner ini disebarkan, Satgas PPKS UII juga melakukan survei “Upaya Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di UII” pada tanggal 1 November 2023, yang dikirim melalui email blast UII. Dengan batas waktu pengisian survei selama 15 hari.
Ketika diminta mendeskripsikan Satgas PPKS, mayoritas responden yang tahu menjawab Satgas PPKS adalah satuan yang bertugas dalam ranah pencegahan dan penangan kekerasan seksual. Sebanyak 17 responden menyatakan mereka hanya sekadar tahu.
Survei ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran responden terhadap keberadaan Satgas PPKS UII. Kampus perlu menyampaikan informasi yang lebih komprehensif tentang Satgas PPKS. Pemahaman yang mendalam terkait peran dan fungsi Satgas PPKS UII dapat berkontribusi pada peningkatan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat kampus terkait isu-isu yang diatasi oleh Satgas PPKS UII.
Kontribusi Satgas PPKS UII Dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual
Hanya sedikit responden (8,33 persen) yang mengaku pernah terlibat sebagai korban, saksi, atau pelapor kejadian kekerasan seksual dan telah menghubungi Satgas PPKS UII. Sebaliknya, sekitar 88,54 persen responden tidak pernah terlibat dalam peran tersebut dan tidak menghubungi Satgas PPKS UII.
Pada pertanyaan selanjutnya, sekitar 59,38 persen responden beranggapan bahwa Satgas PPKS UII memberikan dampak yang besar dalam menangani kasus kekerasan seksual. Namun, dalam hal pemberian edukasi mengenai kekerasan seksual, Satgas PPKS UII dirasa belum efektif.
Sejumlah besar responden, yakni sekitar 37,50 persen, memilih pelaksanaan kelas wajib sebagai metode edukasi terbaik dalam upaya pencegahan kekerasan seksual yang dapat diadakan oleh Satgas PPKS UII. Disusul seminar (19,79 persen) dan video/animasi (16,67 persen).
Profil responden dari berbagai fakultas dan angkatan dalam survei ini menambah keberagaman perspektif terkait kekerasan seksual di lingkungan akademik UII. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pemahaman yang baik tentang kekerasan seksual dan bersikap positif dalam memberikan dukungan kepada korban.
Tim Survei: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Nurhayati, R. Aria Chandra Prakosa, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Zalsa Satyo Putri Utomo, Magang Himmah/Septi Afifah
Narasi: Himmah/Nurhayati dan R. Aria Chandra Prakosa
Visualisasi Data: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri dan Qothrunnada Anindya Perwitasari
Editor: Jihan Nabilah