Kekerasan seksual di UII belum selesai dan kian mencuat ke publik, keseriusan dan komitmen UII dipertanyakan oleh Aliansi UII Bergerak dalam konferensi persnya. Tidak ada transparansi dan regulasi hingga saat ini membuat para penyintas tidak mendapatkan payung hukum yang jelas.
Himmah Online, Yogyakarta – Kelanjutan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII) hingga saat ini belum menemui titik terang. Menurut UII Bergerak, UII sampai sekarang belum juga memiliki regulasi dan tidak memberikan transparansi mengenai penanganan penyintas kasus kekerasan seksual IM. Hal itu dibacakan dalam Konferensi Pers UII Bergerak pada Senin, 10 Agustus 2020 di Rumah Gerakan RODE 610.
“Tidak transparansinya kampus itu sebenarnya menunjukan wajah asli dari birokrat UII. UII sebagai lembaga institusi pendidikan harusnya memberi contoh terhadap mahasiswa dan institusi lainnya dalam menangani (red- kekerasan seksual). Karena ini kasus sudah diketahui oleh khalayak dan dikonsumsi publik, publik punya hal mengetahui perkembangannya,” ujar Fakhrurrozi, perwakilan dari UII Bergerak.
Penanganan penyintas kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM sendiri dilimpahkan UII kepada kepada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII. UII kemudian membentuk tim pencari fakta. Dari tim yang dibentuk tersebut, UII Bergerak menyayangkan tim pencari fakta yang dibentuk oleh UII tidak transparan.
Kelanjutan dari proses IM sebagai terduga pelaku pun mendapatkan hasil nihil. Perkembangan terbaru dari Melbourne University, yang turut mengidentifikasi kasus IM di kampusnya menyatakan IM tidak bersalah karena tidak memiliki cukup bukti. Pada kasus dugaan pelecehan IM di Melbourne University, pelecehan yang dilakukan salah satunya berbentuk kontak non fisik. Sehingga menurut kampusnya sulit untuk diidentifikasi.
Hal ini kemudian membuat para penyintas kaget dan kecewa atas kabar tersebut. Berkaca dari penyelesaian kasus tersebut, penyintas yang didampingi UII Bergerak merasa khawatir akan mendapatkan risiko yang sama jika melapor pada pihak berwajib.
“Belum adanya penyintas yang melaporkan ke pihak berwajib hingga saat ini, bukan berarti tidak ada korban. Kekhawatiran penyintas yang belum melaporkan kasus kekerasan seksual tanpa kontak fisik salah satunya karena merasa akan sulit diproses karena tidak ada payung hukum yang jelas,” tulis UII Bergerak dalam siaran persnya.
UII Bergerak menuntut UII perlu transparan terkait perkembangan kasus yang ditangani dan segera membentuk payung hukum di kampus. Karena menurutnya, kasus kekerasan seksual bukan hanya kasus IM saja, tetapi mereka pun mendapat aduan dugaan kekerasan seksual lainnya.
Beberapa di antaranya dilakukan oleh mahasiswa aktif UII dalam Pesona Ta’aruf (PESTA) 2019 serta dugaan kasus kekerasan seksual yang masuk ke Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM UII) tanggal 5 Mei 2020.
“Pada tahun 2019 terjadi juga kekerasan seksual terhadap mahasiswa baru yang dilakukan oleh wali jamaah, dan kabarnya informasi ini sudah menjadi rahasia umum di kepanitiaan PESTA 2019. Kedua, kemarin teman-teman KAHAM UII merilis laporan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa aktif UII yang korbannya juga mahasiswa aktif UII,” jelasnya.
Di sisi lain, perkembangan kasus yang didampingi oleh KAHAM UII juga tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Dalam siaran pers KAHAM UII yang dibagikan melalui media sosial Instagram, penyintas memilih untuk mengakhiri kasus sebab belum adanya regulasi kampus yang jelas menangani kekerasan seksual. UII Bergerak juga KAHAM UII mengakui tidak memiliki kredibilitas apa pun guna menuntaskan kasus tersebut.
Terakhir, UII Bergerak berharap seharusnya UII bersikap tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual dan memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual agar tidak menjadi hal yang tabu.
“Ayo dong kita adakan regulasi kekerasan seksual di UII! Ayo dong persoalan materi-materi tentang edukasi kekerasan seksual ini di ajarin di UII. Jangan jadikan masalah ini hal yang tabu, (red- tapi ini) pengetahuan yang kita perlu tahu,” pungkas Fakhrurrozi di akhir wawancara.
Penulis dan Reporter: Muhammad Kholiqul Iqmal
Editor: Armarizki Khoirunnisa D.