Himmah Online – Komite Persiapan Sindikasi Wilayah Jogja menyelenggarakan diskusi terbuka tentang ketenagakerjaan pada Sabtu sore (15/07). Diskusi berjudul “Mengapa Upah Layak di Jogja Sulit Didapatkan Seperti Hidden Gems?” ini bertempat di Yayasan LKiS, Jomblangan, Banguntapan, Kec Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY. Diskusi terbuka kali ini diadakan untuk melihat realita yang sebenarnya dibalik sebutan kota Jogja yang “Serba Murah”.
Tiga pembicara turut meramaikan acara ini. Mereka adalah Amalinda Savirani selaku dosen FISIPOL UGM, Prima Sulistya selaku penulis dan pekerja media, serta Prabu Yudianto selaku penulis dan warga KTP Yogya.
Prima, mengatakan bahwa tingginya inflasi menjadi salah satu penyebab kecilnya upah pekerja di Yogyakarta.
“Setelah aku bertanya ke orang-orang yang belajar ekonomi dan tokoh serikat buruh, alasan-alasannya adalah inflasi tinggi, produktivitas tenaga kerja yang rendah, dan tidak adanya political will”, terang Prima.
Ia juga menjelaskan bahwa inflasi yang tinggi terlihat dari harga kos-kosan di Jogja yang memiliki harga termahal ke-3 di Indonesia dan harga pangan di Yogya nyatanya tak semurah itu. “Kalau kalian pernah tinggal di kota kecil kayak Kediri, Purwokerto, makanan di Jogja ga semurah itu lho”, ungkap Prima.
Sementara itu, pekerja manufaktur yang merupakan bagian dari sektor formal ternyata memiliki peminat yang lebih sedikit dibanding pekerja di sektor informal. Hal ini menjadi alasan lain dari rendahnya upah pekerja di Yogya, sekaligus mempengaruhi status negara kita, negara berkembang.
“Kalau negara-negara yang maju itu manufaktur nya kuat dulu baru kemudian geser ke jasa, tapi manufaktur kita terus menurun secara makroekonomi”, terang Amalinda.
Faktor lainnya ialah karakteristik masyarakat Jogja yang cenderung sulit menerima perubahan dan tidak menyukai pengaruh luar karena dianggap tidak mencerminkan Jogja. “Orang Jogja itu, meskipun ada perubahan yang sangat kecil, mereka itu sangat takut karena sudah merasa nyaman Jogja seperti ini”, ungkap Prabu.
Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan Prima terhadap pekerja Jogja dengan upah pas-pasan, bahkan di bawah UMP.
Berdasarkan survei yang dilakukan, didapatkan bahwa warga Jogja akan memilih untuk mencari pekerjaan sampingan dibanding membuat tuntutan bagi pemerintah agar dapat menaikkan upah mereka demi memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja.
“Aku pernah nanya ke salah satu temanku, kamu tahu gaji kamu rendah, terus kenapa nggak keluar? Dia menjawab bahwa dia tahu sektor ini memang profitnya rendah, jadi dia memilih untuk menambah pekerjaan dibanding keluar dari sektor dengan gaji rendah ini”, ungkap Prima.
Prima juga berharap fenomena tersebut menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan pemerintah untuk lebih bijak dalam hal ketenagakerjaan, lebih manusiawi, dan tidak membuat pekerja diperlakukan seperti budak.
“Teman-teman yang nanti punya kesempatan jadi pemberi kerja, tolong bayar mereka itu bukan lihat harga pasaran, tapi yang menurut kalian manusiawi”, tutur Prima sebagai penutup pemaparannya.
Diskusi terbuka ini membawa harapan bahwa masyarakat akan dapat lebih peduli terhadap hak-hak pekerja dengan menjadikan Serikat Buruh sebagai wadah mewujudkan hak-hak pekerja Jogja.
Reporter: Himmah/Jihan Nabilah dan Magang Himmah/Nurul Wahidah
Editor: R. Aria Chandra Prakosa