HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu – Sabtu, 20 September 2014, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota (PPMI DK) Yogyakarta mengadakan Musyawarah Kerja Kota (MUSKERKOT) yang membahas program kerja PPMI DK Yogyakarta periode 2014-2016. Sebelum menginjak pada agenda utama yaitu pembahasan program kerja, diadakan terlebih dahulu talkshow yang bertemakan ‘Paradigma Birokrat Kampus terhadap Gerakan Pers Mahasiswa Saat Ini’. Bertempat di Auditorium Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (FTI UII), acara ini seharusnya diisi oleh 2 pemateri yaitu Prof.dr. Iwan Dwiprahasta. M.Med.Sc.Ph.D selaku Wakil Rektor (Warek) III Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan Tommy Apriando dari Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Namun, Warek III UGM berhalangan hadir dalam acara ini.
Dimoderatori oleh Abdus Somad yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) PPMI DK Yogyakarta, talkshow dibuka dengan latar belakang keresahan yang terjadi terhadap kemunduran Pergerakan Pers Mahasiswa (Persma) saat ini. Dimana banyak sekali aktivitas pembredelan persma oleh beberapa birokrat kampus yang terjadi. Talkshow ini sendiri ditujukan untuk memetakan kembali seperti apa dinamika idealnya lembaga persma di kampus masing-masing.
Tommy Apriando berpendapat bahwa kehadiran persma ialah sebagai gerakan mahasiswa yang berfungsi mengkontrol birokrasi kampus dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Selain itu, persma juga berfungsi sebagai pengadilan. Fungsi tersebut terlihat saat terjadi pergantian kader. Hal ini dikarenakan pengkaderan di persma tidak mempunyai kestabilan yang baik. Tidak sedikit konflik dalam lembaga pers yang membuat para pengurusnya keluar dari lembaga pers tersebut padahal sebenarnya solusi bisa dicari apabila dikomunikasikan dengan pengurus yang lain. “Maka jangan hanya terfokus pada kegiatan semata tapi pengkaderan juga harus baik,” imbuh Tommy.
Menurut Tommy, pers adalah media alternatif bukan media mainstream. Harus ada keseimbangan antara organisasi dan keahlian jurnalistik. Namun yang terjadi ialah, seringkali gerakan pers berjalan dengan baik tetapi jurnalistik dinomor dua kan. Pembredelanpun ada karena kontrol persma terlalu kritis dimana lebih banyak bad news daripada good news dan membuat birokrasi kampus tidak senang. Untuk mengantisipasinya, biasakan untuk tidak memakai 1 narasumber saja tapi juga narasumber lain (cover both side) dan berita tidak terkesan menghakimi atau memfitnah.
“Tetapi selama persma mengikuti mekanisme jurnalistik yang benar, birokrasi kampus seharusnya menjamin kebebasan pers. Karena kedudukan keduanya adalah sama rata, bukan seperti ibu dan anak dimana anak akan dihukum jika melawan ibunya.” tambah Tommy.
Namun jika tetap ada pembredelan, maka jangan takut terhadap birokrasi kampus. Alumni Fakultas Hukum UII ini menyatakan bahwa AJI siap membantu untuk mengadakan audiensi dengan pihak kampus untuk memberi pengertian bahwa tidak boleh ada pembredelan karena itu bagian dari ancaman kebebasan pers.
Tidak hanya pembredelan, perilaku sensoring dimana setiap pemberitaan yang ada harus dicek melalui rektorat dulu juga menganggu kebebasan pers. “Buat apa teman-teman reportase jika pada nantinya berita kalian tidak boleh terbit?” ungkap Tommy.
Tommy juga menganjurkan setiap lembaga persma mempunyai media pemberitaan online agar setiap pengurus dapat belajar secara intens. Setiap hari kader dapat bertugas liputan tentang berita apapun asal berkoordinasi dengan Pimpinan Redaksi (Pimred). “Online lebih efektif daripada majalah karena akan lebih terlihat bagaimana sosial media berperan di sana. Jika majalah, belum tentu semua terihat aktif. ” katanya. (Dian Indriyani)