Oleh : Maya Indah C. Putri
Yogyakarta, HIMMAH ONLINE
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar acara Festival Media dalam rangka ulang tahun AJI ke-19, bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (PKKH UGM). Kegiatan yang diselenggarakan sejak tanggal 28 hingga 29 September 2013 salah satunya diisi dengan talkshow bertajuk “Bedah Berita TV” dengan dibumbui acara launching buku “Penumpang Gelap Demokrasi” pada (28/09). Hadirnya tiga pembicara turut berdialektika, mengkaji akan transisi struktur kekuasaan media dari dominasi politik menjadi dominasi ekonomi. Mereka adalah R. Kristiawan sebagai penulis buku “Penumpang Gelap Demokrasi”, Nurjaman Mochtar selaku Pemimpin Redaksi stasiun televisi SCTV dan Indosiar, dan Rahmat Arifin, wakil dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (KPID) dengan dipandu moderator Sunudyantoro.
R. Kristiawan menyinggung tentang kepemilikan media di Indonesia yang hanya dikuasai oleh sejumlah golongan konglomerat. Dalam bukunya, ia menyebutkan salah satu contoh pemilik media Indonesia, yaitu Dahlan Iskan dan Azrul Ananda dengan Jawa Pos Group-nya. Mereka telah memiliki 20 saluran stasiun televisi, 88 media cetak, dan 2 media online. Ia menyingkap, fenomena kepemilikan media seperti ini tidak sehat karena dikhawatirkan akan memengaruhi isi berita yang hanya untuk kepentingan politik.
Rahmat Arifin sendiri berbicara mengenai acara televisi yang banyak melanggar kode etik penyiaran. Ia memberi salah satu contoh kasus penayangan Konvensi Partai Demokrat oleh TVRI 15 september 2013 lalu. Kasus ini berdampak pada terancam dicopotnya 4 direktur TVRI dari jabatannya. Ia mensinyalir, pemilik kekuasaan turut campur tangan dalam masalah ini. Arifin menyebutnya sebagai perintah dari Cikeas.
Tidak kalah menariknya adalah terkait rating televisi oleh ACNielsen yang disampaikan oleh Nurjaman. Dimana diketahui bahwa ACNielsen merupakan satu-satunya perusahaan Amerika yang menyediakan jasa rating di Indonesia. Ia mengatakan, rating suatu acara televisi yang tinggi akan berpengaruh pula terhadap tingginya pemasang iklan. Hal ini menjadi rawan ketika terjadi penyimpangan di kalangan konglomerat. Lalu, siapa yang dirugikan atas fenomena ini? Menurutnya, publik dan kru media lah yang menjadi korban para konglomerat ini.