Mahasiswa, Pandemi, dan Gangguan Kecemasan

Himmah Online Pandemi virus corona (COVID-19) telah menyebar dengan cepat dan tak terkendali di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Dampak yang dirasakan masyarakat dan pemerintah pun tak dapat dihindari. Tidak hanya kondisi fisik, kondisi psikologis pun tidak luput dari permasalahan yang diterima masyarakat. Perubahan mendadak yang terjadi di berbagai sektor kehidupan membutuhkan kemampuan adaptasi yang cepat. 

Di sektor pendidikan, sistem belajar-mengajar berubah menjadi daring. Perguruan tinggi yang merupakan salah satu instansi penting sebagai penentu kualitas pendidikan di Indonesia ikut terkena dampaknya. Mahasiswa yang berada pada tahap masa dewasa awal ini dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan beragam perubahan tersebut. Hal ini memicu timbulnya gangguan kecemasan di kalangan mahasiswa.

Perasaan cemas (anxiety) merupakan hal mendasar yang menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan mental. Kecemasan dikatakan tidak baik dan berbahaya ketika rasa cemas yang timbul bersifat menetap, memburuk, hingga menganggu aktivitas sehari-hari. Kondisi itulah yang dikatakan sebagai gangguan kecemasan.

Dalam sebuah penelitian oleh Christianto, dkk yang berjudul Kecemasan Mahasiswa di Masa Pandemi COVID-19, diketahui 74,8% mahasiswa merasakan kecemasan dengan tingkat rendah, 20,7% mahasiswa merasakan kecemasan dengan tingkat sedang, dan 4,5% sisanya mengalami kecemasan dengan tingkat berat. 

Begitu pula penelitian lain dari Cou, dkk. berjudul The Psychology Impact of The COVID-19 Epidemic on College Students in China, menghasilkan data tingkat kecemasan mahasiswa di Changzhi Medical College selama pandemi COVID-19 yaitu 0,9% mahasiswanya mengalami kecemasan tingkat berat, 2,7% mahasiswa mengalami kecemasan tingkat sedang, dan 21,3% mahasiswa mengalami kecemasan tingkat rendah. 

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan bagi mahasiswa, mulai dari yang ringan hingga berat. Hasil survei berdasarkan penelitian yang sama dari Christianto dkk. menyebutkan kuliah daring menempati urutan pertama penyebab kecemasan. 

Proses perkuliahan secara daring dapat menimbulkan kurangnya fokus akibat distraksi dari lingkungan mahasiswa belajar, hilangnya semangat belajar karena mengantuk, hingga tidak dapat bertemu dengan teman-teman yang mampu meningkatkan semangat belajar. 

Relasi pertemanan merupakan faktor kedua yang dianggap mempengaruhi kecemasan mahasiswa. Ketakutan akan timbulnya konflik hingga kehilangan teman wajar terjadi, terlebih bagi mahasiswa baru. Faktor selanjutnya, ketakutan akan nilai buruk yang mana dipengaruhi oleh faktor keempat, yaitu sulitnya memahami materi kuliah.

Permasalahan tersebut menghantui mahasiswa selama pandemi. Kecemasan diperparah ketika mahasiswa harus merasakan kehilangan orang-orang terdekatnya akibat COVID-19. Ditambah lagi, perubahan sistem belajar mengajar yang sebelumnya luring menjadi daring membutuhkan proses adaptasi yang dianggap sulit bagi sebagian pelajar. 

Demi mengontrol kecemasan yang dialami, diperlukan kesadaran diri dari mahasiswa untuk menyaring berita dan informasi yang masuk agar sesuai dengan kapasitas diri. Dukungan orang-orang terdekat pun dibutuhkan demi memenuhi sumber daya eksternal (external resources) mahasiswa.

Berdasarkan dua data yang dipaparkan sebelumnya, secara keseluruhan tingkat kecemasan di kalangan mahasiswa tergolong rendah. Namun bukan berarti persoalan ini dianggap sebelah mata. 

Kecemasan yang terjadi dalam rentang waktu yang terlalu lama hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dapat berbuah menjadi gangguan kecemasan. Jika sudah mencapai tahap tersebut, kehidupan sehari-hari mahasiswa pun menjadi terhambat, mengganggu orang lain, dan menimbulkan gangguan psikologis yang lebih parah hingga berujung pada kematian.

Menurut Nelma (2017), fungsi pelayanan kesehatan mental di lingkungan kampus perlu diperhatikan lebih dalam sebagai langkah pencegahan maupun penanganan. Pelayanan ini termasuk di antaranya pengecekan kesehatan fisik dan mental terhadap mahasiswa agar gangguan dapat teridentifikasi lebih awal.

Mahasiswa juga sebaiknya memperhatikan kehidupan spiritual, menerapkan pola hidup sehat, dan selalu terhubung dengan social support. 

Dalam aspek spiritual, penting untuk mengetahui mana hal yang dapat dikendalikan dan yang tidak. Hal-hal di luar kendali seringkali dipikir terlalu dalam, hal ini dapat berujung pada kecemasan berkepanjangan. 

Dalam artikel yang sama juga disebutkan, olahraga dapat menjadi salah satu alternatif mengurangi jumlah hormon kortisol yang memicu stres. Selain itu, hubungan social support seperti keluarga, teman, hingga psikolog perlu dijalin demi meningkatkan upaya preventif maupun kuratif terhadap permasalahan yang menimbulkan kecemasan. 

Penulis: Firly Prestia Anggraeni

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Skip to content