18 Tahun RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan, Bagaimana Nasib PRT Kini?

Himmah OnlineDalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang jatuh pada tanggal 15 Februari mendatang, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menggelar kampanye di 7 kota berbeda untuk mendesak pengesahan RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).

Pada Kamis (10/02), kampanye bertajuk “Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga: Gerak Bersama Mendesak Segera Disahkannya RUU PPRT” digelar melalui saluran Zoom dengan latar cerita PRT di Yogyakarta.

Ririn Sulastri, salah satu PRT menjelaskan jika pekerjaannya dirasa berat, tetapi itu sudah menjadi pilihan hidup untuk membantu suami agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Namun sayang, pekerjaan tersebut tidak sebanding dengan upah yang didapatkan. Ririn juga mengeluhkan iuran bulanan kesehatan mandiri yang harus dibayarkan agar ia dan keluarganya mendapat jaminan kesehatan.

Melanjutkan pengalamannya, Ririn mengungkapkan bahwa rata-rata PRT tidak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan berupa empat manfaat, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan tidak adanya peraturan atau undang-undang yang mengakui keberadaan PRT dan melindunginya.

“Dalam masa pandemi Covid-19 ini, PRT mayoritas itu sebagai pekerja dan mayoritas urban yang tidak dihitung, dikecualikan dari semua jenis program subsidi pemerintah, atau kaya saya yang bekerja di luar daerah maka tentu saja tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari pemerintah setempat,” tambahnya.

Ririn juga menambahkan jika selama pandemi, banyak PRT harus rela di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan dirumahkan dengan pemotongan upah sebesar 50-75%. 

“Saya sendiri, saya pribadi saat itu sampai diusir dari kos-kosan sendiri karena lebih dari tiga bulan tidak mendapatkan kerja, kerja tapi untuk makan saja tidak cukup,” papar Ririn.

Tak kalah meringisnya dari kisah Ririn, Yuni Maheni, salah satu PRT yang telah memulai pekerjaannya sejak usia 16 tahun harus mengorbankan masa remajanya. Ia juga menceritakan pengalaman buruk yang menimpa kesehatannya pada tahun 1995 di mana penglihatan matanya kabur dan tidak jelas sehingga ia harus menggunakan kacamata.

“Majikan saya mengatakan, ‘ko bergaya banget si ini PRT, ko pake kacamata?’ sejak saat itu saya sering disindir karena memakai kacamata,” keluhnya. 

Tanggapan Atas Keluhan Para PRT

Damairia Pakpahan dari komunitas Rumpun menanggapi keluhan Ririn dan Yuni sebagai salah satu PRT yang berperan penting dalam membantu majikan atau keluarga di dalamnya. Damairia juga berpendapat jika jaminan sosial merupakan kebutuhan mendasar bagi PRT supaya tidak terpuruk dalam kemiskinan struktural.

“Kita sebenarnya saling membutuhkan, karena ini yang kita sedang kerjakan adalah mendorong atas undang-undang PRT itu sebenarnya kita sedang memformalkan pekerjaan PRT. Karena kalo nggak ada yang care terhadap rumah tangga, nggak ada yang care terhadap orang sakit, gaada yang care terhadap, apa, bayi kecil itu gimana? Itu kan pekerjaan merawat rumah tangga, kehidupan. Digerakkan buruh masih terpinggirkan,” keluh Damairia.

Di akhir tanggapannya, Damairia berharap agar masa depan PRT menjadi lebih baik dari hari ini. Ia juga memohon kepada para PRT untuk tetap bertahan dan terus memperjuangkan haknya hingga tuntas, menyelesaikan 18 tahun lamanya menunggu disahkan RUU PPRT.

“Paling tidak, kawan-kawan PRT diakui bahwa ini adalah pekerjaan dan dipastikan mendapat perlindungannya (red-negara), ini yang saat ini kita kejar. Ini adalah dua hal yang sangat penting,” pungkasnya.

Reporter: Kemal Al Kautsar Mabruri

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Skip to content