Himmah Online – “Perubahan iklim menjadi consent bersama baik secara domestik maupun internasional,” ungkap Titi Muswati Putranti dalam webinar pajak karbon yang diadakan oleh Partai Indonesia Hijau dan Welfare.id. pada Kamis (31/03).
Pada webinar bertajuk “Pajak Karbon Sebagai Solusi Krisis Iklim: Rencana dan Tantangan di Indonesia”, Titi yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia tersebut mengungkapkan bahwa saat ini banyak industri masih menggunakan bahan bakar fosil—bahan bakar mineral dari sumber daya alam, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi.
Namun sayang, dampak negatif terhadap iklim tidak diperhitungkan dalam pasar produsen dan konsumen. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan pasar karena adanya keadaan yang tidak berimbang.
Maka dari itu, pemerintah perlu sebuah instrumen untuk mengintervensi sektor industri. Tujuannya agar ikut bertanggung jawab dalam perbaikan iklim melalui instrumen kebijakan fiskal atau kebijakan pajak yang disebut dengan “Pajak Karbon”. Harapannya, kebijakan ini dapat menimbulkan pergeseran aktivitas industri yang lebih ramah iklim.
Apa itu Pajak Karbon?
Berdasarkan IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Pajak ini dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang secara signifikan menghasilkan emisi karbondioksida dan gas lainnya yang menjadi polutan.
Sebagai instrumen kebijakan fiskal, kebijakan pajak karbon merupakan instrumen yang bersifat disinsentif yang dapat mengoreksi kegagalan pasar seperti timbulnya eksternalitas negatif terutama untuk meminimalisir dampak negatif dari high carbon industries.
“Pajak karbon diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan implementasinya disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Undang-Undang ini akan diterapkan mulai 1 Juli 2022 mendatang,” imbuh Titi.
Pentingnya Pajak Karbon
Menyambung penjelasan Titi, Andhyta Firselly Utami, perwakilan komunitas Think Policy Society mengungkapkan bahwa pajak karbon bisa memiliki kontribusi yang sangat luas.
Dimulai dari mendorong adanya investasi hijau—investasi yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan polutan udara tanpa menurunkan hasil produksi dan konsumsi barang non energi, mengatasi celah dalam pembiayaan perubahan iklim, serta mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung target Indonesia dalam Nationally Determined Contribution.
“Kita punya target menurunkan emisi 29% dengan upaya sendiri dan sampai 41% jika ada dukungan internasional,” tutur Andhyta.
Lebih lanjut, Andhyta menjelaskan bahwa pajak karbon cukup berhasil diterapkan oleh negara-negara maju. Namun, hal ini masih awam di Indonesia sehingga membutuhkan persiapan dan penanganan yang matang dan serius.
“Pajak karbon di Indonesia akan ditetapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor dan kondisi ekonomi,” ungkap Andhyta
Untuk tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara dengan tarif minimal Rp30.000,00 per ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Meski masih cukup murah dibanding dengan harga pasar dunia yang sudah di atas US$40.
Berikut adalah rincian harga pajak karbon di seluruh dunia. Harga tertinggi dimiliki oleh Swedia dengan tarif US$137, disusul Swiss dan Liechtenstein masing-masing senilai US$101, lalu Finlandia US$73, Norwegia US$69, Inggris US$25, Afrika Selatan US$9, Singapura US$3, dan Estonia yang sama dengan Indonesia senilai US$2.
Meskipun harga pajak karbon di Indonesia terhitung rendah, Andhyta mengungkapkan ini cukup menjadi awal yang baik bagi pajak karbon di Indonesia asalkan ada evaluasi yang berkala.
“Kita benar-benar perlu ada kerjasama dari semua sektor agar pajak karbon bisa berjalan dengan baik di Indonesia,” tutup Andhyta.
Reporter: Nawang Wulan, Ista Setia Pangestu
Visualisasi Data: Nawang Wulan
Editor: Nadia Tisha Nathania Putri