Sejarah Harapan

Tidak bisa kubayangkan, bagaimana jika nanti Liza benar-benar berangkat. Semalam kami berdebat hebat, mempermasalahkan keinginannya, ia belum kuberi lampu hijau. Setelah perselisihan itu Liza tidur bersama Azka, anakku satu-satunya. Aku sendirian di kamar dan baru bisa terpejam pukul tiga pagi.  

“Tentu aku tahu apa yang harus kulakukan, sebagai seorang tenaga medis,” kata Liza. Ucapannya seakan-akan mengandung makna kalau aku ini bodoh dalam melihat statusnya yang sebagai seorang perawat. “Kalau bukan tenaga medis, siapa lagi yang mau menangani?”

“Tapi tidak harus kamu! Tolong pikirkan lagi. Azka masih enam tahun, peran seorang ibu terhadap anak lebih krusial daripada ayahnya,” kataku merendahkan nada suara di akhir ucapan dan menatapnya lekat.

“Tapi aku juga merasa terpanggil. Kalau aku menutup mata dengan keadaan ini, aku berdosa karena jelas-jelas aku mampu untuk mengambil andil,” Suara Liza hampir tidak terdengar di akhir perkataannya. “Mas sendiri bilang, kalau kita harus menolong jika ada yang membutuhkan uluran tangan kita?” 

“Iya, masalahnya yang ini harus berhadapan dengan maut, bercerminlah pada bukti-bukti yang ada, banyak tenaga medis yang gugur, itu artinya apa? Mereka tidak bisa memberikan jaminan terhadap diri sendiri kalau mereka aman,” ucapku.

“Justru berhadapan dengan maut itulah aku harus di sana!”

Liza sempat bersimpuh kepadaku, sembari menangis, ia berkata jika aku mengizinkannya dengan ikhlas, keadaan akan baik-baik saja. Ia berjanji pasti akan pulang. Beberapa saat kemudian aku mendengar tangisan anakku. Rupanya suara kami membangunkannya, entah perasaan semacam apa yang menyelimutinya, hingga ia menangis. Selama kami menikah, pertengkaran paling dahsyat ialah pertengkaran semalam.

Agaknya Liza tidak bisa memahami pengertianku. Ia berlalu ke kamar Azka, setelah merasa tidak mampu melawanku. Gerah menghinggapiku–kubuka jendela, dalam sekejap angin malam langsung menusuk tulang, aku mencoba bertahan, hingga gerahku hilang. 

Sejujurnya hati kecilku berat melepaskannya pergi. Maksudku, aku menyuruhnya memikirkan secara matang keinginan itu, bukan semerta-merta karena Azka. Anak itu hanya kugunakan sebagai topeng alasan saja, sejatinya yang takut akan kenyataan pahit itu aku sendiri. Usia pernikahan kami baru delapan tahun, waktu yang masih terlampau singkat untuk ukuran sebuah hubungan rumah tangga. 

Wajar jika pikiranku bermuara kepada hal yang sama sekali tidak kuinginkan. Setiap hari aku mengikuti berita virus Covid-19 yang telah menyebar di berbagai negara. Di negara lain misalnya di negeri Piza, tenaga-tenaga medis banyak yang tumbang, mereka terpapar, dan bahkan tidak hanya satu dua orang saja yang mati. 

Keadaan itu membuat beberapa negara mengambil kebijakan lockdown, sebagai langkah untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Bagaimana dengan negeri ini?

Kurasakan sekujur tubuhku pegal-pegal ketika mataku mulai menerang. Aku bangkit dari telentang–dengan pandangan yang belum sempurna, kubuka jendela. Aku kembali duduk di tepi ranjang, lalu mengarahkan kepala ke jam dinding, pukul setengah tujuh. Tidak biasa aku bangun kesiangan, aku segera teringat dengan pertengkaran semalam. Keributan itu yang menyebabkan aku kesiangan.

Saat aku keluar, tidak tampak istri dan anakku di ruang tamu, dapur juga tidak ada oran, agaknya Liza telah berangkat mengantarkan Azka ke sekolah.

Kemarin Azka berkata kalau besok ia harus ke sekolah untuk menyerahkan tugas yang dikirim gurunya via whatsapp. Aku mencium bau makanan, kubuka tudung saji. Terlihat sebakul nasi, semangkuk sayur sup, dan sepiring buah melon yang telah dipotong kecil-kecil. 

Aku duduk dan memerhatikan hidangan kesukaanku itu, aku sudah lupa kapan bilang ke Liza kalau aku menginginkan hidangan itu, dan ia tidak kunjung menurutiku. Kini setelah sekian lama penantianku, Liza memasakkan untukku. Padahal kami sedang….

Aku salut dan memujinya dalam hati. Perempuan itu memang pantas kupuji. Kasih sayangnya tidak luntur sedikit pun walau kami sedang bertengkar. Mungkin istri-istri temanku tidak akan mau memasak jika mereka sedang marahan. Tapi Liza luar biasa, ahh, romantis sekali rasanya, menaruh perhatian dalam keadaan hati tidak kondusif. 

Sungguh, tiba-tiba saja aku berdiri. Berlalu ke kamar. Aku tidak akan menikmati masakan itu. Jelas, ada semacam perasaan gengsi menguasai. Di sisi lain, biar aku terlihat tidak main-main dalam menghadapi masalah ini di hadapan Liza. 

Namun aku tidak menyadari. Tindakan ini justru memerlihatkan kebodohanku. Liza baru menampakkan diri saat aku asyik bermain hp, membalas pesan rekan kerja—keasyikan dengan hp membuatku tidak mendengar suara motornya. Ia menanyaiku, mengapa tidak makan.

“Memangnya kamu masak?” tanyaku dengan dingin tanpa melempar pandang ke arahnya.

Lho, Mas ini gimana? Kok lucu?”

“Apanya yang gimana?”

“Mengapa bertanya seperti itu? Mas sudah tahu kan kalau aku masak? Makanan di dapur dalam keadaan tidak tertutup oleh tudung. Siapa yang membuka kalau bukan, Mas?”

Ibarat catur, aku terkena skakmat! Seharusnya aku mengembalikan letak tudung itu pada semula, aku malu tidak berhasil dalam berpura-pura. Perempuan itu mendekatkan diri padaku, tangan kirinya melingkar di leherku, ia tersenyum.

“Baru kali ini Mas tidak berkata terus terang. Setahuku, Mas tidak pernah begitu sekalipun sedang marah.”

Liza pun meminta maaf kepadaku atas apa yang terjadi semalam, aku tidak langsung menanggapinya. Kuresapi setiap ucapannya. Ia beberapa kali menyebut Azka, kemudian menyangkut-pautkan dengan apa yang terjadi pada hari-harinya bila ia pergi. Dalam ujarannya, Liza bisa memahami apa yang menjadi kegelisahanku. 

Hanya saja, aku merasa kalau di sela-sela setiap katanya, ada harapan kecil yang ia sematkan, ia masih berharap supaya aku mengizinkannya pergi.

Permintaan maafnya mengundang kebimbangan, aku tidak pernah tidak mengabulkan apa yang diinginkan Liza, jika ia sudah merendah begitu, ia berbicara seakan-akan sudah kalah dan menyerah, kami kembali tidur bersama. 

Saat Liza sudah terpejam, aku tidak dapat terpejam. Aku baru bisa terpejam sekitar dua jam kemudian, hal itu terulang hingga seminggu lamanya, Liza tidak pernah mengetahuinya, dan aku juga tidak bercerita padanya mengenai apa yang terjadi padaku. 

Semenjak pertengkaran itu hingga kini, aku terus terbayang-bayang akan keinginan Liza untuk pergi ke ibukota—ke rumah sakit yang baru saja didirikan khusus untuk menangani pasien terpapar korona.

Selama itu pula, aku tidak menyentuhnya. Keyakinanku akan harapan Liza yang masih ada, semakin kuat, karena ia tidak berusaha menggodaku atau merajuk, mungkin untuk ukuran suami-istri ini dianggap aneh, tapi itulah kenyataannya. 

Liza melewati hari-hari tanpa beban. Ia semakin khusyuk menyimak berita penyebaran virus Covid-19 yang telah dinyatakan sebagai pandemi. Sementara aku seperti berada di sebuah ruangan sempit tanpa pintu, di mana di situ aku disiksa cambuk oleh Liza, dan Azka menyaksikannya tanpa daya.

Haruskah aku melepaskan?

Azka pernah kutanya apabila Liza pergi, kuterangkan segala hal tentang virus yang telah banyak memakan korban itu. Tidak luput juga kupaparkan dunia rumah sakit, tenaga medis, dan segala tetekbengeknya. Tentu obrolan itu tidak diketahui oleh Liza, jawaban bocah itu di luar dugaanku, bahkan aku berulang kali memastikan.

“Sekarang Azka memang bisa bilang kalau bunda boleh pergi. Tapi besok? Azka tidak kangen? Bunda lama lho perginya, kalau diperbolehkan oleh Azka.” Aku memang sengaja menerornya, dengan harap Azka mengubah isi kepalanya.

Anak kecil sering berubah pikiran, apalagi melihat situasi lapangan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Apalagi ini menyangkut hari-harinya yang tidak berdampingan dengan ibunya, paling-paling baru dua hari ditinggal, Azka sudah rindu. 

Rasanya aku belum siap untuk itu; menghadapi tangisannya dengan penuh kesabaran. Liza, mengapa rasa ingin menolongmu begitu menggebu-gebu?

Jiwa Liza memang demikian, saat masih berjibaku di bangku sekolah dan kuliah, Liza terlibat banyak dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kemanusiaan. Keterangan itu kudapatkan saat kami masih berpacaran. Hal itu pula yang kemudian semakin membuatku mengaguminya. Bahkan saat kami sudah berumah tangga, Liza masih menyempatkan diri di tengah kesibukannya, aku sering tidak habis pikir, perempuan itu seperti tidak punya lelah.

Terlepas dari keinginannya, sempat juga terbersit dalam benak, apa Liza tidak takut akan suatu hal yang dapat menjerumuskannya pada jurang kekecewaan? Sebegitu besarkah rasa kemanusiaannya, hingga membutakan hatinya? Kepergian Liza bisa memberiku sebuah kebebasan. Aku bisa saja menyeleweng dengan rapi dan bebas, Azka sangat mudah diatasi, jika ketahuan? Mungkin aku tidak akan mengelak, aku bisa saja menyalahkan Liza telah mengambil keputusan itu.

Tiba-tiba saja aku merasa bersalah dan segera cepat-cepat menyebut nama Tuhan. Selama ini aku tidak pernah mempunyai pikiran macam itu, aku mengambil air wudu dan segera beribadah, aku sudah mengambil keputusan. 

Segala kemungkinan buruk akan kuhadapi, termasuk yang terjadi pada diri Azka nantinya. Sebelum kami tidur, aku memperhatikan istriku dengan bibir tersenyum. Kusibak sebagian rambutnya yang ada di depan wajah. Di atas ranjang, kami terbaring miring dan berhadap-hadapan.

Sebagaimana yang telah kuduga, ia heran dan menanyaiku, mengapa menatapku seperti itu? Aku tidak menjawab dan mengalihkan pada apa yang akan kubicarakan padanya. Mula-mula aku menanyakan kabar rumah sakit di mana ia bekerja—rumah sakitnya tidak digunakan sebagai rujukan pasien terpapar korona. Lalu setelah panjang lebar, aku mengingatkan akan keinginannya yang terdahulu.

“Berangkatlah, doaku akan selalu menyertaimu,” kataku dengan penuh kemantapan.

Liza berkaca-kaca tidak percaya, aku memeluknya, ada semacam getaran kurasakan. Barangkali inilah kebahagiaan. Liza begitu bahagia dan terus mengucap terima kasih, ia sama sekali tidak menyinggung Azka usai kuberi izin untuk pergi ke ibukota.

“Rumah sakit itu sangat membutuhkan tenaga medis dan kurasa tepat jika kamu datang ke sana,” ucapku menyeka air matanya.

Aku berdoa, supaya perjalanan Liza dan apa yang hendak dilakukannya dihitung sebagai amal ibadah oleh Tuhan. Jelang kepergiannya, Liza sempat murung. Aku terus mendorongnya untuk menghilangkan keraguan itu, aku juga menguatkan diriku sendiri. Akhirnya Liza benar-benar pergi, di tempat kerja barunya, ia mempertaruhkan nyawanya.

Komunikasi terus terjalin. Liza selalu menyempatkan diri menelpon ataupun video call sebelum beristirahat dengan penuh. Pada bulan pertama Azka tidak terlalu rewel. Pada bulan kedua setelah kepergian Liza, bocah itu mulai menanyakan kapan Liza pulang. 

Pada bulan ketiga pertanyaan kapan istriku pulang masih menghiasi, bulan keempat Azka mulai menangis, bulan kelima pun juga. Liza ikut-ikutan menangis, Liza mulai mengeluhkan keadaan, yang mana jumlah pasien terus berdatangan, waktu istirahatnya sering kepotong, Rindu menggunung. 

Hingga bulan ke delapan Liza belum juga pulang, ia takut jika pulang akan membawa hal buruk  bagi aku dan Azka. Sementara selama pandemi, aku menghabiskan waktu lebih banyak di rumah, pembelajaran kuliah dilakukan secara online; aku mengajar dari rumah. 

Hal baiknya pula, aku jadi lebih mudah dalam mengawasi Azka. Sebelum Liza pergi, kakakku bilang jika aku sedang ada urusan yang mengharuskan aku keluar rumah, aku diperbolehkan menitipkan Azka padanya. 

Tidak jarang, setiap aku komunikasi, Liza menyesali keputusannya meninggalkan rumah, ia tidak kunjung mempunyai kesempatan untuk pulang. Berulang Kali ia meminta maaf padaku atas apa yang telah diputuskan, tidak perlu ada yang dimaafkan, kataku.

Pada akhirnya ia tidak berdaya di hadapan rindu, termasuk aku dan Azka. Suatu kali ia pernah akan nekad untuk pulang, aku melarangnya, itu bukan solusi yang tepat untuk mengatasi rindu. 

Lagi pula sudah terlanjur basah, kusuruh ia menuntaskan tugasnya, mungkin hingga pandemi selesai. Ahh, apa aku sanggup menghadapinya jika benar begitu? Aku tidak bisa membohongi diri, bahwa aku sebetulnya juga rapuh.

Jumlah pasien terus bertambah, dan akhirnya Presiden telah mengumumkan adanya vaksin dan tenaga medis merupakan sasaran utama penerima vaksin. Mendengar berita itu, aku bak musafir yang menemukan mata air di tengah gurun padang pasir, peluang Liza terpapar akan mengecil dengan adanya vaksin, artinya keselamatan Liza semakin terjamin, ia bisa pulang suatu saat. 

Aku mengangan-angankan kepulangannya. Terbayang, begitu pintu terbuka, Liza langsung memelukku, tangisnya menjadi-jadi, seakan masing-masing dari kami tidak mau melepaskan, dan Azka? Ia tidak akan bisa membuat Liza tidur, sebab ia terus mengajaknya bicara, saling berpelukan, bermain, atau mengajarinya belajar.

Puncaknya, siang ini Liza mengabariku kalau ia sudah disuntik vaksin. Sebelum itu ia juga melakukan tes swab dan hasilnya negatif, aku gembira sekali, barangkali kegembiraan itu setara dengan rasa gembira atas kelahiran Azka. Kepulangan Liza tinggal menunggu waktu saja, harapan itu terus membesar.

Kuberitahukan hal itu pada Azka; kalau bunda akan baik-baik saja, ia tidak akan terpapar virus Covid-19. Aku tidak menyampaikan padanya kapan Liza akan pulang, tapi kemudian yang terjadi adalah di luar dugaanku, sebulan setelah Liza divaksin. 

Harapan yang kupupuk selama ini sirna begitu saja. Malam ini gerah menguasaiku, aku duduk di teras rumah sembari mengoreksi pekerjaan mahasiswa. Azka sudah terlelap. 

Aku tidak menyangka, saat mataku tidak sengaja melihat ke arah gerbang rumah. Di sana telah berdiri Liza, ia tersenyum. Spontan aku langsung saja berdiri dan meneriakkan namanya, saat aku hendak melangkah, tiada siapa-siapa di depan gerbang.

Aku membuka gerbang dan terus menoleh ke sana-sini. Tidak ada orang. Pintu rumah-rumah tetanggaku semua sudah tertutup, jadi aku tidak dapat menanyakan.

“Mungkin hanya halusinasi,” pikirku, setelah aku menunggu di depan gerbang tetap tidak ada siapa-siapa. Aku ke dalam, Liza video call, dengan gemetar aku mengangkatnya, Liza sudah dalam keadaan sesenggukan.

“Aku terpapar korona, Mas.”

Ucapan yang singkat, tapi sudah cukup membuat telingaku sakit, jantungku berdegup dengan sangat hebat. Aku pastikan lagi kata-katanya, Liza sedang tidak main-main, “Aku sendiri awalnya juga tidak percaya, walaupun aku sudah divaksin aku terus menerapkan protokol kesehatan tenaga medis.”

Liza mau tidak mau harus mendapatkan perawatan, ia sudah meminta tolong rekannya agar memberi kabar mengenai perkembangannya. Sepanjang malam aku terus menggelar sajadah dan salat tahajud, aku memohon ampun atas segala dosa-dosaku. Kemudian mendoakan Liza agar ia diberi kelancaran dalam perawatannya sehingga ia bisa sembuh seperti sedia kala. Ponselku berdering, di layar ponsel tertulis nama Fitri, rekan Liza.

“Bagaimana, Mbak?”

“Keadaan Liza semakin menurun, Pak.”

Lemaslah sekujur tubuhku, harapan yang kurawat, perlahan terkikis oleh kenyataan yang ada. Kali ini air mataku tidak dapat kubendung, aku langsung menutup telepon tanpa berkata-kata. 

Senyum Liza terlukis, bagaimana caranya aku mengatakan ini kepada Azka? Padahal aku telah membesarkan harapannya, aku tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Aku hanya bisa duduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dengan hati yang perih.

Skip to content